Jawaban dari Keraguan

1089 Words
"Terima kasih, Bu." Ardan memberikan sejumlah uang kepada ibu warung. Lalu membawa dua botol minuman dingin itu. Dinda tengah duduk di pinggir lapangan dengan meluruskan kakinya. "Ini," ucap Ardan. Perempuan itu mendongak. Menerima satu botol minuman yang diserahkan Ardan lalu meneguknya. "Makasih." Kini lapangan yang beberapa menit lalu dipakai Ardan dan Dinda bermain badminton sudah diambil oleh anak-anak kecil di komplek itu. "Dulu aku seumur mereka lagi galau-galaunya." Dinda menoleh, ekspresinya menuntut penjelasan atas ucapan Ardan. "Aku liat anak-anak lain keluarganya lengkap sedangkan aku enggak. Kalau main sama mereka pikiran aku nggak fokus ke permainan, malah mikir seandainya ada Bunda. Seandainya ada adek aku, mungkin aku nggak kesepian." Dinda meremas tangan Ardan. Perempuan itu tak berkata apa pun. Hanya menyalurkan kekuatannya melalui remasan itu. Seakan mengingatkan Ardan kalau saat ini, lelaki itu tak sendiri. Ardan melihat jemari lentik itu bertaut di jarinya. "Ayo, balik." Lelaki itu balik menggenggam tangan Dinda. Bangun dari duduknya dan bersisian mengayunkan kaki menuju rumah. *** "Makasih, ya, Din. Udah mau repot." Adel menarik tubuh Dinda dan memeluknya. "Iya, Del. Yang sehat, ya, bumil." Tangan Dinda terangkat untuk mengelus punggung itu. Setelah pelukan mereka terlepas. Adel kembali menatap Dinda dengan tatapan yang tak bisa Dinda artikan. "Apa?" tanya Dinda kemudian. "Aku pengen denger cerita kamu kayak dulu." Adel mengambil satu tangan Dinda. "Din, keraguan itu akan selalu ada. Bahkan kegiatan sepele kayak beli barang pun ragu akan terselip di situ. Kita nggak bisa menghilangkan itu, tapi kita bisa mengatasinya. Kamu cukup buat satu alasan kuat untuk jawab rasa ragu itu." Dinda mengerjap cepat. Adel tiba-tiba terkekeh. "Ah, aku ngomong apa, sih!" katanya sambil memukul dahinya. "Bumil pulang dulu, ya!" Terlihat Dion sudah berada di mobil. Ia mengangkat satu tangannya ke arah Dinda. Mulutnya mengisyaratkan kalimat, "Balik dulu!" "Iya, Del. Hati-hati!" Dinda mengangkat tangannya ke arah Dion dan berkata seperti itu juga. Adel dan Dion memutuskan tinggal di Indonesia saat mereka menikah. Dion masih menjalani kafenya di Paris. Sependengaran Dinda, Dion juga akan membuka coffe shop di sini. Melihat kedua sahabatnya itu sudah memiliki kehidupan yang bagus membuat Dinda jadi bangga sendiri. Sebuah tepukan ringan mendarat di bahunya. "Kamu pulang kapan?" Suara bariton Ardan menyapa pendengaran Dinda. "Kamu siapnya kapan? Aku sih, udah siap." "Sekarang?" Alis Ardan terangkat satu. "Pamit dulu sama Bunda," kata Ardan yang dibalas anggukan oleh Dinda. *** Ucapan Adel beberapa hari lalu terngiang di pikiran Dinda. Dalam diam, perempuan itu melirik Ardan yang tengah fokus menyetir. Saat ini mereka berada dalam perjalanan ke toko kue Dinda Ban mobil itu memutar semakin pelan hingga berhenti. Dinda keluar mobil. Dan disusul oleh Ardan. Usaha perempuan itu berawal dari online. Ia akan membuat kue yang sudah di pesan oleh customer. Kemudian Ardan mencarikannya toko kue. Dinda hanya menjual kue di etalase tanpa menyediakan makan di tempat seperti Liliana Bakery. Waktu buka toko kue Dinda dari jam sepuluh. Dinda sudah memiliki satu pegawai yang membantunya. "Pagi, Mba Dinda," sapa Nurul, pegawainya. "Pagi, Nurul. Kue udah dihias?" "Sebagian udah, yang sebagian belum," katanya sambil menampilkan cengir kuda. Dinda hanya bergeleng sambil berlalu ke dapur lalu ikut menolong Nurul yang tengah membuat adonan kue brownis. "Din, di sini perlu pakai bell nggak sih?" Ardan menunjuk meja kasir. "Siapa tau kamu atau Nurul nggak ada yang di sini, terus mau manggil gimana kadang ada aja pelayan yang males teriak. Soalnya kalian cuma berdua." Dinda berdeham. "Boleh. Oh, iya, kamu jadi beli lampu gantung?" Ardan mengeluarkan ponselnya, ia mengangguk menjawab pertanyaa Dinda. "Udah kemaren aku pesen." Bisa dibilang, isi toko Dinda memang belum lengkap. Mereka menyicil untuk membeli barang-barang. Dinda bersyukur, Ardan membantunya. Jika tidak, mungkin saat ini Dinda sudah kepusingan mengurus semuanya. "Kamu cuma butuh satu alasan buat jawab keraguanmu itu." *** Dinda keluar dari mobil Ardan. "Makasih, Dan." Saat Dinda ingin menutup pintu itu, sebuah pemikiran memasuki otaknya. Membuat gerakan tangannya terperintah untuk berhenti. "Ada apa?" tanya Ardan melihat Dinda malah terdiam. "Nanti malam kita jalan, ya. Ke puncak. Mau?" "Mendadak banget," gumam Ardan. "Kamu ada acara?" Ardan lantas bergeleng. "Acara biasa. Ngumpul sama yang lain." Mulut Dinda membulat. "Ya udah nanti kabarin aja kalau nggak bisa kita ganti hari." Setelah Ardan mengatakan oke, Dinda menutup pintu mobil Ardan. Melihat mobil Ardan yang menjauh dan mengecil, Dinda menghirup napas dalam lalu mengembuskannya. Ia sudah siap. *** Dinda langsung bersiap mencari baju, tas, celana, aksesoris, sepatu dan segala outfit pendukung yang akan ia pakai hari ini. Beberapa baju ia keluarkan untuk dilihat di kaca. Berulang kali kepalanya bergeleng merasa tidak cocok dipakai ke puncak. Ardan mengechatnya tadi saat Dinda tengah berleha-leha di ruang tamu. Mengatakan bahwa hari ini ia akan menjemput Dinda dan pergi ke puncak seperti keinginan cewek itu. Pilihannya jatuh pada baju overall sebetis. Tas hitam, dan sepatu kets putih. Suara mobil Ardan terdengar di luar rumahnya. Membuat Dinda berlari ke luar. "Ngapain lari-lari, sih," kata Ardan saat Dinda memasuki mobilnya. "Nggak apa-apa." Dinda tersenyum lebar. "Puncak kata Galang lagi nggak macet soalnya." Dinda memasang sabuk pengamannya. "Makanya aku ajak sekarang." Ardan menginjak pedal gasnya. Menjalankan roda empatnya berbaur dengan kendaraan lain di jalanan ibukota. Saat sampai puncak, Ardan dan Dinda memasuki salah satu warung kopi di pinggir jalan. Sambil menikmati mi instan panas di tengah udara dingin puncak Dinda sedang mempersiapkan diri untuk mengatakan sesuatu. "Mau jagung nggak?" Dinda menoleh ke penjual jagung bakar di warung depannya. "Iya, mau." "Oke, sebentar." Ardan beranjak dan berlari kecil menuju penjual jagung bakar. Jantung Dinda berdegup tak karuan. Perkataan itu sudah ada di tenggorokannya, tetapi tak mudah untuk ia sampaikan. Lelaki itu melambaikan tangan kepadanya. Mulutnya berkomat-kamit mengucapkan kalimat, "Sabar, ya." Dinda mengangguk membalas Ardan. Semakin melihat Ardan. Yakin itu semakin ada. "Lama banget, ya," kata Ardan saat jagung yang ia pesan sudah di tangannya. Lelaki itu menaruh jagung Dinda di depan perempuan itu. "Ar," panggil Dinda saat Ardan tengah meniup jagungnya. "Aku mau ngomong." "Ngomong aja, itu udah ngomong," kata Ardan sambil menggigit bagian jagung yang sudah ia tiup. "Terima kasih udah bantu aku pagi tadi." "Masama," jawab santai Ardan. Ingin rasanya Dinda memukul kepala itu. Namun, perempuan itu menahan. "Terima kasih udah sayang aku." "Hmm." "Maafin aku kalau suka buat kamu kesel." Ardan memutar kepalanya. Mengangkat satu tangannya dan menempelkan di dahi perempuan itu. "Rada anget." "Ardan, ih!" sembur Dinda. Ardan tergelak dan mengangkat dua jarinya. "Peace! Lagi kamu aneh tiba-tiba ngomong gitu." "Nggak aneh!" "Aneh!" "Nggak!" Dinda berdecak kesal. "Itu kalimat pembuka." Ardan tercenung. "Isinya?" tanya Ardan pelan. "Kamu mau jadi bagian dari hidup aku secara sah?" Kelopak mata Ardan bergerak pelan. "Kamu ngelamar aku?" Ardan tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan dilamar oleh perempuan duluan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD