Perubahan Ardan

1005 Words
"Ditaro ke dalem aja, Mas." Dinda memberikan interupsi kepada dua laki-laki yang tengah menurunkan barang dagangan dari mobil box. "Din!" panggil Ardan dari belakang. Dinda memutar wajahnya. "Ya?" "Lo ke meja kasir aja ini biar gue urus, kebetulan gue masih nyari partner lo lagi belum dapet." Dinda menuruti perintah cowok itu. Ia balik kembali ke mejanya untuk mencatat jumlah produk cacat untuk dilaporkan. Sesekali matanya menangkap Ardan yang tengah sibuk menata produk makanan hingga minuman. Dinda sempat kegeeran dengan berpikir kalau Ardan mengikuti semua keluhannya. Walau pun itu ucapan di saat Dinda tidak sadar, tetap saja semua itu berasal dari lubuk hatinya sendiri. Makin hari sikap cowok itu lebih baik dan perhatian kepadanya. Meskipun perhatian yang diberikan Ardan hanyalah perhatian atasan ke bawahannya. Seperti mengingatkan jam istirahat tiba padahal sebelumnya Ardan selalu cuek kalau Dinda tetap bekerja di saat jam istirahat. Tidak memberikan banyak pekerjaan seperti yang sebelum-sebelumya. Bahkan, Ardan berencana mencari satu sampai dua orang lagi pegawai toko untuk membantu pekerjaan Dinda. "Selamat berbelanja!" ucap salam Dinda kala seseorang masuk ke dalam toko. "Dinda?" "Shela?" Perempuan berambut ikal dan tinggi semampai itu menutup mulutnya. "Wow!" Matanya membulat terkejut. "Lo kerja di sini?" Nadanya terdengar merendahkan. Dinda yang awalnya sudah senang bertemu lagi teman SMA-nya, berubah menjadi perasaan kesal. "I-iya," jawab Dinda sambil berusaha tersenyum. "Oh, iya nggak apa-apa lah ya. Nanti kalau udah ngumpulin uang bisa merintis buat usaha sendiri." Apa maksud ucapan dia? Padahal Dinda belum ngomong apa-apa, tetapi temannya itu sudah menebak kalau ini pekerjaan hasil keterpaksaan. "Dulu kuliah jurusan apa?" "Manajemen," jawab Dinda singkat. "Owh, kalau gue dokter gigi. Ini klinik gue." Shella memberikan kartu namanya. "Kalau ada kenalan yang mau periksa gigi bisa ke klinik gue, ya." "Oh, siap, Shel." Shella menunjuk rak. "Gue ke sana dulu, ya." Dinda mengangguk mempersilakan. Setelah melayani pembelian Shella. Dinda terduduk dan menatap kembali kartu nama temannya itu. Shella pasti sudah menilainya rendah. Karena Dinda tidak bisa bekerja sesuai bidangnya. Pun karena dirinya tidak bisa sesukses teman-temannya yang lain. "Adel jadi desainer di paris." Suara Ardan menyentak lamunan cewek itu. "Sedangkan gue cuma ngurus minimarket. Pemberian dari bokap lagi. Lulus kuliah telat." Dinda menoleh ke arah Ardan. Dahinya mengerut karena belum paham maksud dari omongan lelaki berkaus hitam itu. "Dia kembaran gue. Sering banget gue kena perbandingan." Ardan mendekati Dinda. Mengambil kartu nama di tangan Dinda. "Emang berat. Rasanya kayak orang paling gagal aja. Tapi kalo gue terus-terusan berpikir gitu, gue akan makin tertinggal." Cowok itu memberikan kartu nama itu lagi kepada Dinda. "Gue emang nggak bisa ngelampauin Adel, tapi gue bisa nunjukin kemampuan terbaik dari diri gue. Intinya itu sih. Lo cuma perlu apresiasi diri lo sendiri terlebih dahulu sebelum lo berharap orang akan mengapresiasi kerja keras lo." Dinda tak bergeming. Setiap kata yang dikeluarkan cowok itu dapat menenangkan segaligus memotivasinya. Mata cewek itu melirik Ardan yang berjalan ke ruang kerjanya. "Thanks, Dan. Udah ngembaliin kepercayaan gue lagi," guman Dinda. *** Hari ini kita ke rumah lu @Ardan From: Galang Ardan mengurut keningnya kala membaca isi chat grup sahabatnya. Gue nggak bisa. Masih ada kerjaan From: Ryan Dan, lu punya jas kan? Awas aja lu ke kencan buta pake kemeja kotak-kotak From: Aldi Di, lo jangan ke sini dulu From: Kevin Tau lu, nyusahin kita kalau lu ke sini From: Galang Sialan lu pada Giliran gue susah, gue dicampakin Yang kalian lakukan ini jahat From: Aldi Najis, Al From: Ardan Cie yang mau kencan nongol juga From: Kevin Gue masih kerja, nanti gue chat lagi kalo udah di rumah From: Ardan Apani rame-rame From: Anton Ada syaiTon bubar yok From: Kevin Anjim From: Anton Ardan tergelak. Membaca chat dari teman-temannya membuat ia tidak sadar kalau pintu ruang kerjanya sudah diketuk berkali-kali. "Dan?" "Eh, iya?" "Sorry gue buka, lo tadi gue ketok nggak denger-denger." Cowok itu mengusap tengkuknya. "Iya, lagi nggak fokus. Ada apa?" Dinda menunjuk ke arah luar dengan matanya. "Ada mas-mas dari produk ice." Ardan menegapkan tubuhnya. "Oh, iya suruh masuk." Ck! Karena obrolan tidak jelas teman-temannya, Ardan jadi lupa kalau dia ada ketemuan dengan sales dari produk es itu. "Silakan duduk, Mas," kata Ardan mempersilakan lelaki berumur tiga puluh tahunan itu duduk. Waktu berbincang mereka menghabiskan waktu setengah jam lebih. Usai sales itu pulang, Ardan kembali mengecek laporan keuangan yang sudah ia buat. Sesekali mengecek jam dipergelangan tangannya. Saat jarum panjang menunjuk angka enam, Ardan lantas mematikan laptop dan merapikan mejanya. Ardan pikir Dinda sudah pulang duluan. Ternyata cewek itu tengah menelungkupkan wajahnya di atas meja. Terdengar dengkuran halus tanda cewek itu tertidur. "Din," panggil Ardan. Dinda masih terdiam. "Dinda sekarang udah waktunya pulang," panggil Ardan lagi. Ardan ingin menepuk bahu Dinda. Namun, urung. "Dinda." Ardan pada akhirnya memilih untuk mengetuk meja. "Din!" Dinda terlonjak. Setetes air liur keluar dari ujung bibirnya. Cewek itu mengelap liurnya yang menyembul. Matanya mengerjap cepat. Tangannya terangkat untuk mengucek mata. "Udah jam berapa?" "Setengah sepuluh." Ardan membuka layar ponselnya. "Udah hampir jam sepuluh malah." Tersadar dengan kondisi bangun tidurnya yang memalukan, Dinda berbalik memunggungi Ardan sambil memperbaiki keadaan wajahnya. "Ah, iya aku ketiduran. Udah waktunya pulang, ya." Dinda buru-buru bangun. Namun, kepalanya terasa berputar sehingga ia terduduk lagi. "Jangan langsung bangun," kata Ardan sambil memgambil air putih. "Duduk dulu sampe sepuluh menit. Nih, minum air putih." Dinda mengangguk sembari meraih air putih yang disodorkan lelaki itu. "Makasih, Dan." Setelah Dinda merasa benar-benar sadar. Ia beranjak dan meraih tas selempangnya. Mereka berdua keluar. Ardan mengunci toko. Dinda berjalan ke depan sambil membuka aplikasi ojek di ponselnya. "Din." Dinda menoleh. "Ada apa?" "Pulang bareng aja. Sekalian. Udah jam sepuluh soalnya." Dinda mengerjap pelan. Apa dia masih berada dalam mimpi? Ardan mengajaknya pulang bersama. "Itu juga kalau lo mau." "Mau!" jawab Dinda spontan. Ardan membuka kunci pintu mobilnya. Dinda yang bingung harus duduk di mana memilih duduk di bangku belakang. "Ck! Gue bukan supir lo." Alis Dinda naik satu. "Duduk di depan," perintah Ardan sebelum cowok itu masuk ke balik kemudinya. Apa Dinda tidak salah dengar? Cewek itu ragu membuka pintu depan mobil. Ia masuk dan duduk di samping Ardan. Sepertinya Ardan memang mendengar semua racauannya malam itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD