Panik

1414 Words
Saat Dion berbalik karena mendengar panggilan gadis itu, saat itu juga gadis itu berhambur ke pelukannya dan mengatakan hal yang membuatnya terkejut. “Gue suka sama lo Dion. Gue suka sama lo, gue gak bisa move on dari lo.” Dion masih terkejut, dia belum bereaksi apa-apa. Sampai pada saat kesadarannya sudah terkumpul, ia langsung melepas pelukan itu. “Terus kenapa lo jadian sama Ardan?” “Itu cuma cara gue biar bisa deket lagi sama lo.” “Dion, gue masih suka sama lo, gue mau kita balikan lagi,” “Ya, gue mau pacaran ama lo,” Mendengar jawaban itu gadis ini tersenyum, tetapi tidak dengan sesosok anak laki-laki yang berada di ambang pintu cafe sedang menatap mereka berdua dengan tatapan kecewa. Setelah itu ia langsung pergi, dengan tangan yang mengepal. “Tapi dulu, bukan sekarang,” ucap Dion melanjutkan. “Maksud lo?” tanya gadis itu. “Iya, gue mau pacaran sama lo itu dulu, bukan sekarang. Untuk saat ini gue nggak ada punya perasaan apa-apa lagi sama lo, jadi berhenti ngedeketin gue dan inget lo pacar sahabat gue. Gue nggak mau ngecewain dia untuk itu jangan sampai lo yang ngecewain dia,” tutur Dion lalu berlalu pergi. Sedangkan gadis itu hanya dapat memandang nanar punggung yang sudah pergi menjauh. *** Ardan salah satu siswa yang tidak pintar juga tidak bodoh, tidak pernah melanggar. Karena prinsipnya adalah "jika tidak bisa berprestasi setidaknya jangan melanggar". Berbanding terbalik dengan Dion, ia salah satu anak nakal yang suka bolos, tidak pernah mengerjakan PR, selalu cabut saat jam pelajaran. Langganan keluar masuk ruang BK karena pelanggaran yang ia kerjakan. Mereka bersahabat dari kecil, dengan prinsip yang berbeda, tetapi bisa menyatukan mereka. Dan persahabatan itu kini harus kandas lantaran satu masalah, masalah yang kerap kali orang hadapi. Perempuan. Dan itu karena kesalahpahaman. Dan kini murid yang memiliki prinsip 'kalo nggak bisa berprestasi setidaknya jangan melanggar', untuk pertama kalinya ia melakukan pelanggaran, yaitu bolos jam pelajaran. Sampai pada puncaknya adalah di saat ia menduduki bangku SMA. Dan untuk pertama kalinya ia terlibat tawuran yang pada saat itu masih kelas 10. Tepatnya setelah pertandingan basket yang diakhiri kericuhan. Tawuran pertamanya, dan dari situlah kehidupan bad-nya dimulai. *** Sekali lagi ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia mulai menarikan jari-jarinya di atas tuts piano. Permainan baru dimulai, tetapi sepertinya para penonton sudah mulai terpukau dengan penampilan pianis muda itu. Ataukah lantaran rindu? Sudah hampir sebulan lebih pengunjung kafe Cendana tidak melihat penampilan istimewa dari sang pianis bertopeng. Sungguh membingungkan setelah sekian lama menghilang dan tiba-tiba saja pianis bertopeng itu datang dengan membawakan sebuah lagu yang siapa pun dapat menebak bagaimana perasaan yg sedang dirasakan pianis itu. Karena bahagiaku, ketika dia bisa tersenyum. Lirik terakhir dari lagu yang ia bawakan menggunakan piano. Permainan selesai, pengunjung tak henti-henti memberikan tepukan tangan yang cukup meriah, bahkan setelah pianis itu turun dari panggung menuju belakang. “Kalau boleh Tante tau–” Mendengar suara itu lantas pianis yang sekarang tengah membaca tabloid harian mengangkat kepalanya. “–sebenernya ada apa?” Pianis itu masih tak paham tentang apa yang sedang dibicarakan wanita paruh baya di depannya ini. “Jangan pasang tampang polosmu itu Adel.” Pianis yang dipanggil namanya itu langsung memasang wajah mengerut tak suka. “Jangan panggil aku dengan namaku, Tan, kalo ada temen aku yang denger gimana?” “Oke, Sweety, sekarang ceritain, kenapa selama hampir sebulan lebih ini kamu nggak pernah dateng sekali pun ke kafe ini? Kamu tau? Kafe ini banyak mengalami perubahan sejak kamu nggak pernah dateng lagi ke sini.” “Tapi kayaknya.” Adel menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru kafe. “Sama sekali nggak ada yang berubah,” lanjutnya yang dihadiahi teriakan lengking. “What?! Apa kamu bilang? Nggak ada yang berubah?” Adel reflek menutup kedua gendang telinganya dengan telapak tangan. “Keliatannya emang kayak gitu, enggak ada yang berubah, Tante Rosa.” “Sweety, pengunjungku jadi berkurang karena ketidakhadiran kamu, kamu itu sesuatu yang dapat memikat hati pelanggan.” Adel meringis mendengar pernyataan itu, sebegitu berpengaruhnyakah dia? Padahal dalam kehidupan sekolahnya sepertinya ketidakhadiran dia justru lebih baik. “Bahkan ada yang sampe nanyain kamu.” “Ya, Tan, maaf, kemaren aku sibuk sama tugas sekolah, jadi–” “Ya, ya, ya Tante paham, ya sudahlah yang penting sekarang ini kamu udah mau rutin dateng ke sini lagi kan?” “Ya, aku usahakan.” *** Tidak ada yang mengetahui bakat bermain piano yang dimiliki Adel. Hanya Bunda, dan Tante Larosa ... dan Tuhan pastinya. Setiap Sabtu malam dan Minggu sore seperti saat ini Adel selalu tampil bermain piano di salah satu kafe tempat tongkrongan mahasiswa. Seperti saat ini. Sudah setengah jam Adel menunggu angkutan umum, tetapi tak kunjung datang. Dari mulai duduk, berdiri, jongkok, berdiri lagi. “Huh, mana sih angkotnya?” Menunggu memang sangat melelahkan, angkot yang berada di sekitar kafe ini memang terkenal sedikit dan jarang melintas. Grukk Adel mendengar suara barang yang jatuh, kepalanya celingak celinguk ke sekitar. Perempuan dengan blouse selutut dan bandana polkadot di kepalanya, tampaknya ia sedang kesulitan membawa begitu banyak barang di tangannya. “Biar aku bantu,” ucap Adel seraya memungut barang-barang yang sudah tergeletak di aspal. Perempuan itu memasang senyum lega, mungkin dia merasa lega karena ada seseorang baik hati yang mau membantunya. “Terima kasih." “Kamu mau nunggu angkot juga?” tanya Adel mengakrabkan. “I-iya,” jawab gadis itu kikuk. “Angkot di sini lewatnya lama, aku aja udah nunggu hampir setengah jam,” keluh Adel. Gadis itu hanya mengangguk mendengar perkataan Adel. “Rumah kamu di mana?” “Di perumahan Santika." Sedikit terkejut, tetapi kemudian sangat antusias. “Aku juga tinggal di situ, kamu baru pindahan ya?” “Iya, baru kemaren.” “Wah ternyata kita tetanggaan, nah tuh angkotnya, kita lanjutin di dalem angkot aja ya, sini aku bantu,” ucapnya girang. Gadis itu tersenyum. “Terima kasih sekali lagi.” *** “Bun, kita punya tetangga baru loh,” ujar Adel antusias. Bunda yang tengah merapikan meja makan berkata tanpa menoleh. “Bunda udah tau.” “Oh, ya, bunda udah tau? Kok bisa? Aku kan baru cerita,” ucapnya seraya meraih gelas berisikan air di atas meja. “Tadi pagi Bunda baru ngobrol-ngobrol bareng tetangga kita itu.” Adel mengangguk. “Tadi Tante Rosa nelpon Bunda.” Adel yang sedang meneguk minumannya melirik dibalik gelas yang berada di depan wajahnya. “Kedengerannya dia seneng banget karna kamu udah mau main lagi ke sana.” Adel tersenyum, dia sudah menduganya. Dan detik setelahnya terdengar dering ponsel miliknya. Matanya sukses membulat ketika ia melihat sesuatu pada ponsel itu. “Bun, Adel ijin keluar ya.” Adel sangat tergesa-gesa. Belum sempat bunda menjawab Adel sudah bergegas pergi keluar rumah. Hanya satu yang berada di benaknya saat ini. Ardan. *** Rasa panik serta khawatir telah membawa Adel untuk mendatangi suatu tempat. Dan kini ia berada di tempat yang membuatnya merasakan keduanya. Namun, langkahnya berhenti di depan pintu besar itu. Ia mulai ragu untuk melakukannya, tetapi sepertinya rasa yang sebelumnya telah melanda perasaannya jauh lebih besar dibanding keraguannya saat ini. Dengan keberanian yang berusaha ia bangun, Adel berhasil menekan bel rumah itu. Sesosok wanita paruh baya dengan tubuh yang sedikit dibungkukan menyambut kehadiran Adel. Wanita itu mempersilakan masuk. "Terima kasih, Bi," ucap sopan Adel ketika diberitahu letak tempat yang dia tanyakan. Adel kembali dilanda keraguan antara melanjutkan niatnya atau berbalik pulang. Dilihatnya keadaan ruangan itu dari luar, tampak sunyi dan tenang. Dan ketika ia memutuskan untuk pulang. "Arghh!" "Ardan." Adel berbalik dan dengan cepat membuka pintu itu. Hening. "Ardan kamu nggak apa-apa?" Sontak semua yang berada di ruangan itu menoleh ke arah Adel yang kini memasang wajah super cemas. Adel yang menyadari kondisi ruangan itu yang tak lain adalah kamar Ardan berdeham pelan. "Maaf, ak-aku cuma em itu tadi, aku mau ngetuk tapi, eum." Adel melirik Ardan yang kini menatapnya. "Aku cuma khawatir, maaf kalo ganggu." Adel tersenyum kikuk. "Ta-tapi kayaknya kamu udah nggak apa-apa." Ardan baru saja ingin membuka mulutnya, tetapi Adel langsung memotongnya "Ya udah aku pulang dulu, cepet sembuh ya." Lalu Adel segera keluar dari kamar itu dan menutup pintunya rapat-rapat. *** Adel terdiam di depan portal komplek Ardan. Ia memukul kepalanya pelan kala menyadari tingkah bodohnya. Pasalnya ia mendapat pesan itu dari Ryan. Picture Udah waktunya mereka berdamai From: Ryan Cowok itu mengirimi foto Ardan yang tengah dipapah oleh Dion. Sepertinya itu foto yang diambil diam-diam karena sangat ngeblur. Namun, bukan itu fokus Adel. Ia malah terfokus dengan kondisi Ardan yang terlihat babak belur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD