Awal Mula Semuanya

1099 Words
Rooftop. Tempat yang sekarang tengah dipijak oleh 2 orang itu. Hawa gugup menyelimuti seluruh tubuh tinggi tegap itu. Ia masih menerka-nerka kemungkinan terburuk apa yang akan dikatakan perempuan yang sudah mengambil posisi berdiri membelakanginya. "Kalo aku minta sesuatu ke kamu, apa kamu mau melakukannya?" "Apa?" "Aku nggak tau apa arti pertemanan kita, tapi–" "Ya, gue mau melakukan apa aja," selanya dengan nada penuh kesungguhan. "Kamu belum tau apa yang aku minta." "Del, gue cuma mau menebus kesalahan gue sebelumnya ... ke elo." Perempuan itu membalikkan tubuhnya menghadap temannya. "Yakin?" "Ya, Adel. Gue nggak pernah seyakin ini." Ardan masih berusaha meyakinkan, dan dia sangat bersungguh-sungguh atas ucapannya itu. Adel memejamkan matanya, menghirup udara dari atas sini. Merasakan kenyaman yang hanya dapat dirasakan di tempat ini. Angin yang berhembus di sekitarnya menerbangkan beberapa helai rambut pendeknya. "Del," panggil Ardan. Adel membuka matanya. "Kembali seperti Ardan yang dulu." Ardan memicingkan matanya. "Apa maksud lo?" "Kembali menjadi Ardan yang rajin, yang nggak pernah bolos, dan yang memiliki prinsip setidaknya jika tidak bisa menjadi siswa berprestasi, janganlah jadi siswa yang nakal." Kini raut wajah Ardan berubah. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam, tampak ia sedang menahan sesuatu yang ada dalam dirinya. "Siapa yang cerita itu semua ke elo? Dion?" "Dion? Dion nggak ada hubungannya dengan ini." "Gue akan tetap menjadi gue yang saat ini. Terima atau tidak, inilah gue." Ardan dengan langkah lebarnya berbalik meninggalkan Adel. "Ardan!" Ardan terus berjalan menghiraukan panggilan perempuan di belakangnya. "Gue dah bilangkan." Sesulit itukah? Mungkin apa yang orang itu katakan ada benarnya, setidaknya untuk saat ini. "Hati dia udah jadi batu, susah dihancurinnya," sambung orang itu. "Batu hancur dengan air, kan? Aku bisa jadi airnya," ucapnya mantab. "Silakan mencoba, Del." *** "Terima kasih," ucap Adel setelah turun dari motor besar itu. "Sama-sama." Ketika Adel baru saja ingin berbalik. Suara itu menghentikan niatnya. "Gimana mau jadi air, kalo batunya aja menghindar," ucap laki-laki itu. Menghindar. Ya, batu itu menghindar darinya. Bahkan ia tidak lagi diantar pulang oleh Ardan. Adel masih bergeming. "Aku, aku jadi bingung harus ngapain." Laki-laki itu terkekeh. "Udahlah, gue nggak yakin lo bakal berhasil." Adel memicingkan mata. "Kamu menyepelekanku? Oke, aku buktikan kalo aku akan berhasil." Melihat gadis di depannyq ini memiliki keyakinan yang tinggi ia hanya dapat menghela napas. "Oke. Semoga sukses, Del." "Terima kasih, Yan." Dan laki-laki berkacamata itu langsung menutup kaca helmnya dan melesat pergi dari perkarangan rumah Adel. Kini, Adel kembali ditinggal sendiri. Bukannya dia memang terbiasa sendiri? Ia jadi ingat percakapannya dengan Ryan kemarin. Ketika dia ingin pergi ke perpustakaan dan sempat menguping pembicaraan yang tidak mengenakan itu. "Lo jangan terpengaruh sama ucapan mereka ya." "Kamu denger juga?" "Dulu Ardan nggak kayak gini. Gue satu SMP sama dia, dia mulai nakal pas deket-deket kelulusan. Dan gue baru deket ama dia pas masuk kelas 10. Ada sesuatu yang buat dia berubah ...," kata Ryan menggantung ucapannya. "Apa?" "Ketika dia udah nggak keliatan lagi main bareng sahabat deketnya. Gue cuma," ujar Ryan. "Apa?" "Cuma ngerasa kalo yang dilakukan Ardan itu salah tapi gue nggak tau harus ngapain," lanjut cowok itu. "Dia belum tau betapa menyakitkannya ketika benar-benar ditinggal sama sahabat sendiri." Kalau Adel tidak salah lihat, mata Ryan terlihat berbeda saat itu. Tatapan penyesalan? Memiliki makna yang dalam ketika Ryan mengatakan benar-benar. Lalu bel berbunyi tanda jam pelajaran akan segera dimulai. *** "Del, kok diem aja sih, kenapa? Lo marah sama gue?" "Iya aku marah karena aku bodoh," ucap Adel dan berlalu meninggalkan Ardan yang sedang berdiri mematung. Apa yang barusan Adel katakan? Dalam hati ia meneruskan. "Bodoh karena nggak tau harus berbuat apa setelah ucapan Ryan tadi." Sementara itu di balik pintu, Adel menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata. "Kamu udah berbohong, Ardan." Adel menghela napasnya dalam. "Bohong sama diri kamu sendiri," katanya sebelum menenggelamkan wajahnya di antara dua lutut. *** Flashback 3 tahun yang lalu. “Din, aku anter pulang ya?” Ardan berusaha menyejajarkan jalannya dengan Dinda yang sudah berjalan duluan. “Nggak usah, Dan." Dinda menoleh ke belakang sekilas. "Aku mau mampir ke rumah temen dulu.” Wajahnya dilempar ke arah lain saat Ardan hendak menatapnya. "Ke siapa?" Pasalnya hampir seluruh teman Dinda, Ardan kenal. Awalnya cowok itu hanya penasaran saja dengan teman siapa. Namun, melihat tingkah mencurigakan Dinda membuatnya semakin gencar bertanya. "Temen kecil aku. Temen SD dulu," kata Dinda sedikit bergetar. Ardan memicingkan matanya. "Kamu nggak percaya?" Dinda kini berani menatap Ardan balik. Ardan melihat kedua mata itu yang menyorot serius. Tanpa mau berpikiran aneh-aneh, Ardan bergeleng. "Percaya kok, yaudah. Hati-hati ya.” “Ok, bye!” seru Dinda lalu buru berjalan cepat meraih angkutan umum yang sudah mengetem di pinggir jalan. “Bye!” Setelah melihat kepergian pacarnya itu, Ardan mengeluarkan ponselnya. Sebulan yang lalu ia berhasil mengungkapkan isi hatinya, dan tanpa disangka-sangka Dinda menerima Ardan menjadi pacarnya. Ardan menghubungi kontak Dion, tetapi tak kunjung diangkat. “Ke mana sih ni anak? Gue samper aja lah ke rumahnya,” ucapnya memutuskan. *** Saat ini motor besar itu sudah bertengger di halaman rumah yang memiliki pekarangan yang luas. Ting ... Ting ... Ting ... Tak lama kemudian, pintu besar itu terbuka menampilkan seorang wanita paruh baya yang diketahui adalah salah satu pembantu Dion. “Eh, den Ardan. Masuk dulu den,” ucapnya mempersilakan. “Terima kasih, Bi. Dionnya ada?” “Yah, den Dionnya baru aja pergi tadi." “Bibi tau ke mana?” “Kurang tau den. Tapi tadi bibi sempet denger den Dion ngomong ditelpon dia mau ke cafe Vanilofe." “Oh, oke. Makasih bi, saya pamit dulu. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” *** Gadis berambut panjang yang digerai itu sedang duduk manis di salah satu cafe terkenal di daerah itu. Ia sedang menunggu seseorang, seseorang yang masih ia sukai. Sudah 30 menit ia berada di cafe itu. Ditunggunya orang tersebut dengan sabar, meskipun sebenarnya dia sangat gugup saat ini. Bagaimana tidak, setelah dia menemui orang tersebut dia akan mengatakan suatu kebenaran mengenai hatinya. Kling Bunyi lonceng pintu cafe tanda bahwa ada pengunjung yang masuk, reflek gadis ini menolehkan kepalanya. Orang yang sedari ia tunggu kini sudah duduk dihadapannya. “Lo mo ngomong apa? Cepetan gue masih ada urusan," ucapnya tegas. “Dion, sebelumnya gue mau minta maaf, karena sikap buruk gue selama ini.” “Hmm, terus? Dah cuma itu doang?” Gadis ini menggelengkan kepala. Dan terdiam, kediamannya ini membuat laki-laki berambut acak-acakan ini tampak kesal. “Kalo emang nggak ada yang dibacarakan lagi gue balik.” Lalu beranjak dari duduknya, gadis itu panik dan langsung saja beranjak. “Dion tunggu!” Laki-laki itu tidak berhenti malah tetap saja berjalan. “Dion!” “Ap—“ “Gue masih suka sama lo.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD