Kebingungan

1016 Words
"Tuh orang ngapa dah?" ucap Kevin memecahkan keheningan. "Aduh!" Kini suara aduhan Galang karena mendapat toyoran spesial dari Ardan. "Lo niat ngobatin gue nggak sih?" Galang hanya meringis sembari mengusap kepala belakangnya bekas toyoran Ardan. "Dah dibantuin malah digeplak," keluhnya. "Ya pelan-pelan kek, ngobatinnya." Karena tak mau lagi merasakan super sakit akibat tekanan yang diberikan Galang terhadap lukanya, Ardan memutuskan mengobati lukanya sendiri. "Lo kenapa bisa ketemu bocahnya si Bara sih?" tanya Galang. Yang ditanya hanya mengedikan bahunya acuh. Anton yang melihat itu hanya memutar malas matanya. *** Beberapa menit yang lalu teman-temannya sudah keluar dari pintu kamarnya itu. Ardan kini sedang merebahkan badannya yang terasa sakit sambil menatap langit-langit kamarnya. Ia sedang memutar kembali memorinya beberapa menit lalu, ketika keempat temannya sudah keluar ada satu yang masih tinggal. "Lo mau nginep?" Ardan menaikkan satu alisnya sambil terkekeh. "Terbukti, dia masih peduli sama lo," ucap Ryan dengan suara rendah dan menusuk. Ya, memang, dia, dia yang pernah menjadi sahabatnya. Dia yang pernah menjadi orang terdekatnya. Dan dia pula yang pernah mengkhianatinya. Ardan berusaha mengenyahkan perasaan gundahnya itu. Ia beranjak dari tidurnya, terduduk, dan menatap semua luka yang berada di sekujur tubuhnya. Keterdiaman Ardan membuat Ryan mengacak rambutnya kesal. "Jangan batu jadi orang. Pikirin lagi ini, cuma gara-gara cewek lo ngerusak hubungan pertemanan?" kata Ryan kesal. Ia langsung berbalik ke luar, tanpa mau mendengar pembelaan Ardan. "Ck, sialan tuh Nobita!" *** Beberapa jam yang lalu Entah sudah berapa lama Ardan duduk di dalam kafe, kenangan itu kembali terlintas di benaknya. Kenangan 3 tahun yang lalu, yang berhasil membuatnya seperti ini. Semua yang ia lakukan saat ini semata-mata hanya sebuah pengalihan. Pengalihan atas sakit yang ia rasakan sebelumnya. Dia memejamkan mata berusaha mengenyahkan pikiran itu. Kemudian ia beranjak keluar dari kafe itu menuju parkiran untuk segera menyalakan motor kesayangannya. Di tengah perjalanan entah dari mana segerombolan geng mencegatnya. Sial! Mereka adalah teman-temannya Bara, musuh Ardan dari sekolah lain. "Ardan, sendirian aja, Dan." Laki-laki berambut keriwil itu berjalan mengelilingi Ardan diikuti beberapa teman-temannya yang lain. Mereka membentuk lingkaran tak terputus mengepung Ardan yang kini sedang mengawasi gerak-gerik kedua belas lawan di depannya. Ardan mematikan mesin motornya dan turun dari motor besar itu. "Kalian mo apa?" Bukannya dijawab mereka hanya tertawa meledek. "Nggak usah panik dulu lah, santai." "Ngadepin orang kayak lo pada nggak bisa santai." Dengan gerak cepat Ardan menarik salah satu dari mereka hingga terjatuh dari motor yang sedang dinaiki. Melihat serangan Ardan itu dalam sekejap jalanan itu berubah menjadi arena gelut antara 1 orang melawan 12 orang. Untungnya, pada saat itu Dion datang dan langsung menghubungi teman-teman Ardan yang lain. Setelah itu, Dion menghampiri segerombolan itu dan mencoba membantu Ardan. Dion yang memang memiliki kemampuan bela diri dapat menghadapi 3 orang di hadapannya sekaligus. Tak berapa lama terdengar deru motor dari arah belakang yang dikenali adalah motor teman-temannya Ardan. Melihat bala bantuan datang, segerombolan itu mundur dan melarikan diri. Dapat ditebak bagaimana keadaan Ardan saat ini, sedangkan Dion hanya mengalami luka robek di pelipisnya. Setelah itu Dion berbalik arah meninggalkan Ardan yang kini sedang dipapah teman-temannya. Ryan yang melihat itu hanya menyunggingkan senyum tipis. *** Keringat dingin mulai bercucuran di dahinya. Kini ia sedang berada di depan dewi kematian. Penghapus papan tulis yang sedang dewi itu ketuk-ketukan di atas meja hanya membuatnya tambah menundukan kepala. "Jadi, kamu tidak mengumpulkan PR?" Adel menggelengkan kepalanya. "Saya udah ngerjain, bu, tapi lupa dibawa." Apa Adel bisa menyalahkan Ardan sekarang? Karena sedari malam ia terlalu memikirkan cowok itu sampai-sampai tugasnya belum sempat ia taruh di dalam tas. Sang guru beranjak dari tempat duduknya dan menggeram kesal "Adelina!" Adel segera menegakkan kepalanya. " Ya?" Bu Beti--guru geografinya--hanya bisa menghela napas, bukannya tidak mengerjakan dengan tidak membawa sama saja tidak mengumpulkan. Namun, jawaban Adel lagi-lagi hanya membuat geram. Akhirnya, jalan satu-satunya adalah menghukum Adel untuk berdiri di depan tiang bendera dengan sikap hormat. Adel melirik jam di tangannya. Menunjukkan pukul sembilan. Adel menghela napas pasrah, jam pertama pelajaran sudah harus dihukum seperti ini. Matahari pagi menyorot lurus ke arah wajah Adel. Membuat kedua mata cewek itu menyipit. Satu persatu bulir air timbul, mengalir melalui lekukan wajahnya. Hingga ia merasa sorotan itu menghilang. Cewek itu cukup terkejut ketika ia menyadari seseorang datang menghampirinya lalu melakukan hal yang sedang ia lakukan saat ini. "Dion?" "Gue lupa ngerjain PR." Iyakah? Seorang Dion tidak mengerjakan tugas? *** Bel istirahat pun berbunyi, bunyi itu sangat dinantikan bukan karena waktu istirahatnya, tetapi karena itu pertanda hukuman yang ia terima berakhir. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju kelas, ketika ia sudah berada dekat dengan kelasnya Adel melihat Ardan dari kejauhan. Wajahnya masih dipenuhi luka-luka memar. "Badung banget sih jadi anak." "Udah kelas 12 juga masih aja blangsak." "Nggak mikir masa depan apa tuh anak, kerjaannya berantem mulu." Omongan-omongan itu tak ayal membuat telinga Adel gerah. Namun, jika dilihat dari kenyataannya memang itu yang terjadi, tetapi seperti ada sebagian hatinya yang tak terima. Di tempat yang berbeda Ardan yang sedang bersama teman-temannya diam-diam memperhatikan seorang cewe yang kini dilihatnya seperti sedang berbicara dengan 3 orang siswi lain. Namun, seperti ada yang aneh dari percakapan itu. Mereka seperti sedang ... bertengkar. "Heh, lo bocah cupu nggak usah songong jadi orang!" "Nggak punya temen aja belagu lu!" Adel menampilkan senyum miringnya. "Kalian pikir aku bakalan ciut dibentak gitu?" "Tapi kayaknya bentakan kalian udah buat keberanian aku jadi tambah besar buat ngelaporin kalian ke Bu Wati." Adel meneliti penampilan ketiga cewe di hadapannya ini. "Pake rok ketat, baju dikecilin, dan wow lipstick-nya tebel banget." Setelah ia mengatakan itu tiba-tiba salah satu dari cewe itu mendorong Adel sangat kencang. Adel limbung dan hampir saja terjatuh jika tubuhnya tidak disanggah oleh tubuh tegap laki-laki di belakangnya. Melihat keadaan laki-laki itu ketiga cewe yang berada di depannya menunduk ketakutan. Ardan menatap tajam ke arah 3 cewe itu. Dan sejurus kemudian mereka berlari menghindari Ardan dan Adel. "Makasih," gumam Adel pelan yang dibalas deheman. Melihat itu Adel berjalan ke arah kelasnya melanjutkan niatnya yang tertunda. Namun, langkahnya terhenti oleh suara yang mengintrupsi. "Kita masih jadi teman, 'kan?" Adel membalikan badannya. Ia masih bingung dengan pertanyaan itu. "Kita masih temenan kayak kemaren-kemaren lagi 'kan?" Seketika senyum gadis itu terbit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD