Couple-an

1112 Words
Adel memasuki pelataran rumahnya. Ia melihat sebuah mobil toyota keluaran terbaru berada tepat di depan gerbang masuk rumahnya. Di dalam rumah, bunda sedang menunggu Adel bersama seseorang yang belum cewe itu kenal. Adel melihat sepasang sepatu kulit di depan rumahnya. Dengan langkah ragu ia melangkah masuk ke dalam rumah. "Assalamualaikum." Bunda dan laki-laki itu menoleh kepadanya. Ia melirik kepada bunda dan memberikan isyarat mata 'ini siapa?' kepada bundanya itu. "Ini Adel?" Itu adalah suara berat laki-laki itu. Adel memperhatikan penampilannya celana hitam bahan, dan kemeja garis-garis biru yang ia kenakan serta bulu-bulu halus di sekitar dagunya. Ia memperkirakan umur laki-laki dewasa ini sekitar 40 tahunan, kurang lebih seperti bundanya. Pandangan Adel bertubrukan dengan laki-laki itu ia tampak menunggu jawabannya. Ah, ya, Adel lupa menjawab saking fokusnya mengira-ngira siapakah laki-laki itu. Adel mengangguk dan tersenyum sopan. Tanpa disangka-sangka laki-laki itu berjalan cepat ke arahnya lalu memeluknya erat. Ia berkata lirih yang membuat tubuh Adel seketika menegang. "Ini Papa." Kedua tangan itu bukannya balas memeluk justru mengepal kuat. Giginya bergemelatuk menahan sesuatu di hatinya. "Aku nggak pernah punya papa," desis Adel tajam. Kalimatnya mampu membuat kedua orang dewasa itu terpaku. Bunda tak bisa berkata apa-apa hanya dapat meneteskan air mata. Sedangkan pria itu, yang ia lakukan hanyalah menguraikan pelukannya dengan pandangan kosong ke depan. Ucapan gadis di depannya ini mampu membuat aliran darahnya bahkan berhenti mengalir. Meruntuhkan dunianya seketika, mengantarkannya ke sesuatu yang menjadi mimpi buruknya selama ini. Dan kesadarannya mulai kembali ketika Adel berlari keluar lalu terdengar denyit pagar terbuka. Pria itu melihat kepergian anak gadisnya dengan tatapan nanar. Setetes cairan bening yang sedari tadi ia tahan akhirnya keluar begitu saja. Ia telah pergi, dan entah akan kembali atau tidak. *** "Bunda kamu terus yang jemput, ayah kamu mana?" "Aku nggak pernah ngeliat ayah kamu." "Kamu nggak punya ayah, ya?" "Bun, ayah mana?" Bunda tak menjawab hanya menangis tersedu-sedu, suara tangisnya memilukan di telinganya. Sungguh Adel ingin mengakhirkan ini semua. Ia peluk erat tubuh rapuh bundanya saat itu. Dan dia mulai saat itu juga bertekad untuk tak lagi menanyakan hal itu lagi dan menganggapnya tak memiliki ayah. Yang ia tahu mulai saat itu juga, ia hanya memiliki satu orangtua. Hanya bunda, orangtuanya hanya bunda tak ada lagi yang lain. Kenangan itu kembali berputar dalam memorinya bagai kaset rusak. Ia menutup kedua telinganya. Menarik rambutnya sambil berlari kencang. Berlari mengikuti arah kakinya melangkah. Takdir seakan mempermainkannya. Di mana keberadaan ayahnya dulu di saat ia membutuhkannya, di saat ia membutuhkan dekapannya, di saat ia merasa tidak aman dan membutuhkan perlindungan. Ketika kakinya sudah lelah ia terduduk lemas di pinggir jalan. Air matanya luruh, ia membutuhkan seseorang saat ini. Ia sungguh tak dapat berpikir. Adel mendongak dan melihat sekelilingnya. Ia baru menyadari di mana ia berada ketika ia melihat pohon besar dengan bangunan di atasnya. Dengan langkah tertatih ia menaiki pohon itu. Adel tak dapat menahan tangisnya lagi kala ia sudah sampai di atas sana dan mendapati Ardan yang tengah duduk dengan gitar di pangkuannya. Cowo itu menatap Adel dengan tatapan khawatir. "Lo kenapa?" Ardan beranjak mendekati Adel dan langsung mendekapnya. Inilah yang selalu Adel cari, kenyamanan dan kehangatan yang tak pernah ia rasakan. Ia tenggelamkan wajahnya yang lusuh ke d**a bidang cowo itu. Ardan kini hanya mengusap belakang rambut dan punggung cewe di dekapannya itu. Perasaan yang berbeda kala ia berada di dekat cewe itu. Perasaan yang tak pernah ia rasakan ketika bersama perempuan lain. *** "Udah malem, kapan mau pulang?" Adel mengembuskan napasnya kasar. "Kira-kira dia masih ada nggak?" Cowo itu mengulurkan tangannya dan mengusap pucuk kepala cewe itu. "Bagaimana pun dia kan bokap lo, mungkin ada alesannya. Lo harus tau alesannya dulu baru bisa mutusin lo benci dia atau bahkan sebaliknya." Adel memilih bungkam. Ia hanya mengarahkan pandangannya ke atas langit. "Aku nggak yakin bakal bisa nerima semua alesannya itu." "Cukup denger alesannya dan lo bisa milih terima atau nolak kehadirannya lagi. Semua orang punya alesan yang harus kita dengar 'kan? Gue aja...." Ardan memutus perkataannya, membuat Adel menolehkan kepalanya menghadap laki-laki itu. "Gue aja mutusin untuk benci ibu gue karena sebuah alesan. Andai aja alesannya itu baik buat gue, gue nggak akan mungkin benci dia." Adel menunduk mendengar ucapan Ardan memilih untuk memperhatikan tangannya yang bertautan. Lalu sebuah tangan menggenggam tangannya melepas tautan itu. "Pulang, ya." Setelah itu Ardan menarik lembut tangan Adel dan membawanya pulang. *** Ketika Adel dan Ardan sampai di depan rumah cewe itu mereka tak melihat keberadaan mobil dan sesosok pria yang menjadi ayah Adel. Adel menghela napas lega. Ia turun dari motor besar itu. "Inget, Del, denger alesannya dulu." Adel mengangguk lalu tersenyum tulus. "Makasih, ya." Ardan balas tersenyum seraya mengusap sayang pucuk kepala cewe itu. "Masuk sana, gue tunggu di sini sampe lo masuk ke rumah pintu di tutup dengan rapat baru gue pulang." Adel terkekeh lalu mengangguk nurut. Ia membuka gerbang itu, berjalan masuk ke dalam rumah. Sebelum ia menutup rapat pintu kayu itu, Adel menyempatkan diri melambaikan tangan kepada Ardan yang malah mengibaskan tangannya. "Sana cepet masuk woy!" Adel memberenggut lalu menutup pintu itu. Ardan terkekeh sambil menyalakan mesin motornya. Sebelum menggas ia melihat kembali pintu yang tertutup rapat itu. "Good night, my girl." *** Tadi malam saat Adel pulang, Bunda tak lagi berkata-kata, ia hanya memeluk erat anak gadisnya. Dan ketika Adel hendak memasuki kamarnya barulah bunda membuka mulutnya. "Bunda mau cerita semua yang selama ini belum kamu tau." Adel yang tengah memegang kenop pintu kamarnya terdiam. "Kalo kamu ngasih kesempatan itu," sambung Bunda. Adel berbalik, ia menelan salivanya dan mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdetak tak beraturan. "Apa?" Setelah itu, cerita yang tak pernah ia dengar sebelumnya barulah terdengar. Cerita yang selama ini tak pernah ia bayangkan terjadi dalam hidupnya. Dengan perasaan yang sudah ia tata sebelumnya, hati yang sudah ia siapkan, dan keyakinan yang sudah ia bangun. Adel memutuskan satu hal. Yaitu untuk menerima semua yang ditakdirkan untuknya. Ia menerima kehadiran ayahnya kembali dalam hidupnya. *** Lamunan Adel terhenti kala Kevin berlari menghampiri meja kantin mereka dengan selembar poster. "Ada hhh bherita bhagus," ucapnya ngos-ngosan. "Apa sih?" Galang merebut poster itu. "Buset, belum juga UN udah ada pengumuman makrab aja." "Acara makrabnya pas banget h+2 UN, makanya udah ada pengumumannya." Ardan mengambil poster itu dan melihatnya bersama Adel. "DC-nya putih cokelat. Kapelan yuk, Del." Adel melihat poster itu, di dalamnya terdapat tulisan DC, waktu, tempat, dan hal-hal apa saja di acara itu nanti. "Jadi nanti pas photobooth kita kapel gitu." Adel menunjuk tulisan warna dress code di poster itu. "Kan warnanya udah ditentuin. Samaanlah kita semua." "Modelnya kek, coraknya gitu, Del. Ayo dong." Adel mengerutkan dahinya lalu bergeleng kepala. "Makin aneh aja kamu, Dan." Ardan tak lagi membalas ucapan Adel dengan decakan kesal. Ia justru mengacak rambut cewe itu seraya terkekeh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD