Yang Sudah Rusak

1119 Words
Kini ia berdiri menghadang segerombolan anak yang beberapa menit yang lalu ia lihat. "Topi," katanya singkat tetapi tampaknya mereka memahami maksud laki-laki itu. "Bukannya gue nggak mau ngasih, Yon. Masalahnya gue baru aja dapetin ini topi." "Lo bisa ngelakuin lagi, kan?" "Kalo pertanyaan itu gue balikin. Kenapa nggak lo usaha sendiri?" "Nggak." Dion kembali menjawab singkat dengan tatapan tajam andalannya. Roni—pentolan segerombolan itu—menampilkan senyum miring. "Oke, cuma topi aja itung-itung balas budi." Kemudian menepuk pelan bahu Dion seraya meletakkan asal topi itu di kepala laki-laki itu. Sewaktu SMP, Dion pernah menyelamatkan Roni ketika laki-laki itu diserang oleh murid dari sekolah lain. Hal itu yang menyebabkan Roni merasa memiliki hutang budi kepada Dion, selain dari rasa segannya ia kepada laki-laki itu. Dion berlalu dengan memakai topi dengan benar. Aroma khas dari empunya topi menyeruak ke dalam rongga hidungnya. Hal yang sama dilakukan oleh siswi itu. Ia sangat yakin bahwa itu bukan topinya. Dilepasnya topi itu dari kepalanya lalu ia melihat coretan tinta yang membentuk dua huruf. "D.A," gumam perempuan itu lalu kembali memakai topi itu bertepatan dengan suara speaker yang menandakan apel akan segera dimulai. Flashback off *** Yang Ardan tidak tau, yang orang lain tidak tau adalah bahwa selama ini dia menyukai seseorang yang berhasil mencuri perhatiannya sejak pertama kali ia menginjakan kaki di dunia putih abu-abu. Langkah kakinya terhenti ketika ia melihat seorang gadis yang tengah duduk di pinggir jalan. Selanjutnya ia melangkah cepat menghampiri gadis itu. "Adel! Lo ngapain di sini?" Gadis itu menengadahkan kepala tampak terkejut. "Dion?" Ia tampak sedang mengusap-usap pergelangan kakinya. "Eungh, itu tadi aku abis dari supermarket tapi udah tutup." "Ngapain ke supermarket malem-malem gini? Ini udah jam sebelas malam, terlalu bahaya buat lo!" Dion meninggikan suaranya di akhir kalimat. "Ma-maf." Sebenarnya Adel bingung kenapa ia harus meminta maaf, tetapi ia merasa harus melakukannya. "Bunda sakit, aku nggak punya persediaan obat." Dion memejamkan matanya lalu menghela napas, ia berusaha meredam emosinya saat ini. Kali ini ia merasa sangat khawatir. Rasa yang terlalu berlebihan. Apa itu bisa dikatakan berlebihan? Ketika ada seorang perempuan keluar rumah di hampir tengah malam, ditambah lagi kondisi jalan yang sudah sangat sepi. "Kaki lo kenapa?" "Keseleo kayaknya." Dion membungkukan tubuhnya. Meraih pergelangan kaki Adel dan berusaha memijatnya. Ini seperti cedera kaki yang pernah dialami teman-temannya atau dirinya ketika sedang turnamen basket. "Bunda lo sakit apa?" tanyanya seraya memberikan pijatan di pergelangan kaki Adel. "Kayaknya masuk angin, soalnya muntah-muntah terus." Adel meringis tertahan. "Masih bisa jalan?" Adel berusaha berdiri, tetapi pada akhirnya ia limbung. Dengan sigap Dion menangkap tubuh Adel lalu menuntunnya untuk ia gendong di belakang. Ia membungkukan tubuhnya lagi. "Ayo, cepetan!" seru Dion ketika melihat Adel yang terdiam ragu. Sontak Adel mengalungkan kedua tangannya di leher Dion dan dengan sigap Dion menegakkan tubuhnya mengangkat tubuh gadis itu. Harum aroma rambut laki-laki itu menerobos masuk ke rongga hidungnya. Aroma yang sama yang pernah ia rasakan ketika mendapatkan topi itu. Dion berjalan ke arah asal ia berjalan tadi. "Kita mau ke mana?" "Gue tadi bawa mobil." Ketika mereka sudah sampai di sisi kiri mobil, laki-laki itu menurunkan Adel dan membukakan pintu untuk membiarkannya masuk. Tidak banyak bicara, cukup tindakan. Hanya itu yang dapat dilakukan Dion, prinsipnya selama ini. Keheningan menyelimuti kedua insan yang berada dalam mobil itu. Dion menjalankan mobilnya menuju jalan besar menuju supermarket 24 jam. "Biar gue aja yang turun," katanya ketika mobil itu sudah berhenti. Beberapa menit kemudian pintu mobil itu kembali terbuka. Dion masuk dengan sekantong plastik kecil dengan logo supermarket yang tertera pada plastik itu lalu menyodorkannya kepada Adel. "Ini." "Makasih." Setelah itu keadaan kembali sunyi. Mobil itu melaju dengan tenang, hanya deru mesin yang menemani perjalanan mereka. Tidak ada yang membuka pembicaraan karena sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali Dion melirik Adel yang tengah merapatkan tubuhnya yang sedikit menggigil. Dion mengecilkan AC mobilnya, dan kembali memfokuskan diri melihat jalanan ia sudah melihat jalanan rumah Adel. "Biar gue gendong," ucapnya seraya membuka seatbelt ketika mobil itu sudah berhenti tepat di depan rumah Adel. "Nggak...." Pintu mobil terbuka sementara Dion keluar. "...usah." Adel menghela napas, ia tidak bisa menolak kalimat Dion barusan bukan penawaran. Seperti yang dilakukan sebelumnya, Dion kembali menggendong Adel di punggungnya. Ketika mereka sudah sampai teras. "Sampai sini aja, Yon." Adel berucap. "Aku udah nggak pa-pa kok, emang masih terasa sakit tapi masih bisa dipake jalan." Dion terdiam sebentar lalu mengangguk lemah. Ia menurunkan Adel perlahan. "Gue balik dulu, oh iya, gue mau ngucapin terima kasih karena udah memperbaiki hubungan gue sama Ardan." Adel tersenyum. "Sama-sama. Hubungan kalian emang harus baik. Aku harap usahaku hari ini nggak sia-sia." Dion tersentak, tetapi selanjutnya ia hanya mengangguk pelan. "Gue pamit." Setelah mengatakan itu ia langsung berbalik menuju mobilnya terparkir. Dion termenung di depan kemudi, memikirkan perkataan terakhir Adel. Apa mungkin hubungannya akan tetap baik-baik saja jika dia dan Ardan sama-sama suka dengan satu perempuan, ditambah lagi perempuan itu sama-sama menjadi cinta pertama mereka di SMA? *** Hari ini adalah hari yang paling dinantikan pelajar ketika sebagian waktunya selama tujuh hari hanya diisi oleh buku dan hapalan. Hari terakhir ujian, menjadi salah satu hari di mana sebagian murid merasa bebas. Bebas nonton, bebas main, bebas main hp dan masih banyak kebebasan yang dapat dirasakan. Seusainya merapikan beberapa peralatan tulis yang berserakan di atas meja, matanya bergerak mencari keberadaan seseorang. Senyumnya terukir ketika berhasil menemukan orang itu. Namun, ia harus membulatkan bola matanya ketika orang tersebut sedang melangkah keluar kelas. "Dion!" Dengan tergesa-gesa ia menyampirkan ranselnya dan berlari menyusul seseorang yang dipanggilnya. Adel menambah kecepatan berlarinya ketika orang yang ia panggil tak kunjung berhenti. Langkah kaki itu berhasil membawanya mendekati orang tersebut lantas ia meraih pergelangan tangan orang itu. "Dion!" Ketika ia berhasil melakukan usahanya, dengan napas yang masih tersengal-sengal, ia kembali berkata, "Dion ... tunggu ... sebentar aja." Dion berbalik, dahinya mengerut. "Maaf, gue pake earphone." Sambil melepas earphone yang terpasang di telinganya. 'Pantesan,' batin Adel menggerutu. "Ada apa?" Dion kembali bertanya. Adel menegakkan tubuhnya setelah berhasil menormalkan detakan jantungnya. "Ada waktu luang nggak?" Dion mengerutkan dahinya lalu bergeleng. "Nggak ada. Kenapa?" "Itu ... aku mau ngajak kamu ngumpul bareng kami." "..." "Itung-itung refreshing abis ujian, 'kan?" Dion menghela napas pendek. "Gimana?" Adel berharap-harap cemas. "Del, mungkin hubungan gue sama dia udah baik sekarang. Tapi bukan berarti gue sama dia bisa bersikap kayak dulu lagi. Semua udah berbeda sekarang." "Kamu ... masih belum bisa nerima Ardan, ya?" "Bukan! Jelas bukan itu. Del, lo harus paham, waktu, ya waktu yang buat semua berubah bahkan walau kami udah berdamai sekalipun." Adel baru hendak berkata sebelum pada akhirnya Dion kembali berkata. "Gue sangat berterima kasih karena udah mendamaikan gue sama Ardan. Tapi bukan berarti kita bisa sama-sama kayak dulu lagi. Semua udah berubah, gue harap lo ngerti itu." Lantas Dion pergi meninggalkan Adel dalam keadaan nelangsa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD