Kisah yang terlontar

1037 Words
Suasana kantin selalu ramai ketika istirahat tiba. Gelak tawa yang terdengar dari meja panjang salah satu meja di kantin menambah kegaduhan kantin pada saat itu. "Eh, eh!" Anton menghampiri teman-temannya dengan napas tersengal-sengal seperti habis lari marathon. "Waduh, bocah napasnya tinggal separo," ucap asal Kevin yang langsung ditoyor oleh Anton. "Enak aja lo ngomong! Gue mau ngasih tau kalo Ardan dicariin Bu Wati di kantor." Sontak mereka langsung mengarahkan pandangannya kepada Ardan. Ardan yang melihat itu menghela napas malas. "Palingan masalah gue bolos kemaren." "Lagian lo bolos nggak ngajak-ngajak," cibir Galang. "Lo pada diajak nggak bener mau-mau aja!" Setelah itu Ardan beranjak dari tempat duduknya *** Bel pulang berbunyi serempak murid-murid keluar dari kelasnya masing-masing, macam-macam tujuan mereka. Ada yang langsung pulang, menunggu jemputan di lobby, atau sekedar bersenda gurau dahulu dengan keliling sekolah bersama teman satu gengnya. Bahkan ada yang berlari dengan tergesa-gesa sambil mengecek keadaan ruang kelas untuk mencari sesuatu seperti yang sedang dilakukan Adel saat ini. "Ardan ke mana ya?" Dan langkahnya terhenti di aula sekolahnya, ia melihat pintu aula terbuka dan mencoba mengecek ke dalamnya. Dia sangat bersyukur ketika dilihat, orang yang sedari tadi ia cari ditemukan juga. "Ardan!" Yang dipanggil namanya menoleh, kerutan di dahinya tergantikan senyuman yang lebar. "Di sini ternyata." Ardan menaikkan sebelah alisnya. "Lo nyariin gue? Ngapain? Bukannya tadi gue nyuruh Ryan nganter lo pulang." "Iya, tapi kita kan udah nggak pernah pulang bareng lagi." "Baru 2 hari, kangen lo yak?" Ardan menyengir lalu mengeluarkan suara gelak tawanya memenuhi isi aula itu. "Nggak juga sih." Seketika Ardan menghentikan tawanya, dan menatap sebal Adel. Adel melihat penjuru ruangan ini, sangat kotor, tidak seperti hukuman-hukuman sebelumnya. Kali ini Ardan disuruh membersihkan aula. "Mau aku bantu?" "Nggak usah, lo duduk aja. Gue yang ngelakuin kesalahan, ini hukuman gue." Kemudian Ardan kembali menyapu lantai ruangan itu dimulai dari pojok ruangan. Ruangan ini sangat luas Adel mulai ragu kalau Ardan bisa menyelesaikannya sendirian. "Del," Adel masih sibuk memperhatikan isi ruangan itu. "Perkedel!" Mendengar teriakan Ardan, Adel menengok dan memasang wajah bingung. "Ardan laper?" Ardan memutar bola matanya malas. "Perkedel itu elo! Lagian dari tadi dipanggil Adel nggak nengok-nengok." "Nih, elo duduk di sini sambil nunggu gue. Dari pada lo diri di situ, yang ada lo keram kaki, kan yang repot gue juga." Adel pun duduk di tempat yang sudah disediakan Ardan untuknya. Ia melihat Ardan yang kini sedang sibuk menggeser kursi-kursi dan menyapu lantainya yang sangat kotor. Ia senang jika Ardan sungguh ingin berubah. Dan selanjutnya tanpa ia sadari, ia tertidur. *** "Woy! Kebok!" Sedangkan Adel yang sudah sejam lebih tertidur di kursi tidak menampakan pertanda dirinya akan terbangun. "Ya ampun, ni anak abis ngeronda kali yak." Bukan Ardan namanya jika tidak jail. Ia mengambil kemoceng yang tadi sempat digunakan. Diarahkannya bulu kemoceng ke hidung Adel. Ardan mulai terkikik ketika melihat Adel yang mengembang kempiskan hidungnya. "Haachih!" Bersin Adel kemudian. Dan Ardan tidak bisa menahan gelak tawanya. "Yang tadi apa ya?" tanya Adel sembari mengusap-usap hidungnya yang gatal. "Au dah, gue udah selesai, yuk pulang." "Eh, udah selesai?" Dan tanpa menjawab Ardan berjalan keluar aula, Adel membelalakan matanya ketika menyadari Ardan hendak meninggalkannya. "Ardan tunggu! Ish, kebiasaan," gerutu Adel. "Udah?" tanya Ardan ketika Adel menaiki motor besarnya. "Udah!" jawab Adel dengan penuh semangat. Ia terlihat senang karena masalahnya dengan Ardan berakhir. Setelah kejadian pada saat istirahat itu Adel dan Ardan kembali bersama. "Del, kita mampir dulu ya." "Ke mana?" "Ada lah." *** Ardan membawa motornya ke suatu tempat yang belum pernah Adel kunjungi, ya itupun karena memang Adel tidak pernah bermain jauh. "Ayok turun," titah Ardan. "Kita mau ke mana sih?" Ardan menatap Adel, Adel memgernyitkan dahinya. Lalu wajah datar Ardan berubah menjadi cengiran lebar. "Kejutan!" Adel hanya dapat melongo tidak paham. "Kejutan?" Ardan mengangguk. "Iya kejutan, liat dong pohon di belakang gue." "Pohon di belakang kamu kenapa?" "Ah elah Del, ini kan yang elo mau?" "Pohon besar? Aku nggak pernah ngomong mau pohon besar." "Ya ampun Del. Bukan pohon besar tapi rumah pohon!" "Rumah pohon? Mana mana?" "Ya itu," ucap Ardan seraya membalikkan badannya menghadap pohon yang ia maksud. "Mana Ardan?" Ardan membelalakan matanya, rupanya ia salah menunjukan pohon, bukan itu pohon yang ia maksud. "Hehe, salah, Del." Ketika Ardan membalikan badannya kembali menghadap Adel. Adel sudah tak ada lagi di tempatnya berdiri. "Wah, Ardan! Sini ada rumah pohon! Ih, bagus banget!" sorak Adel kegirangan ketika dilihatnya rumah pohon tepat di belakang pohon besar yang sebelumnya ditunjuk Ardan. Ardan tersenyum lalu melangkahkan kakinya menuju Adel. "Suka?" Adel menganggukan kepalanya. "Ini rumah pohon yang gue maksud." Ardan tersenyum puas ketika melihat antusiasnya Adel untuk menaiki rumah pohon itu. Dia jadi teringat beberapa hari yang lalu ia rela tidak masuk sekolah alias bolos hanya karena ingin mempersiapkan kejutan rumah pohon ini. Sesuatu yang dimimpi-mimpikan oleh Adel sejak lama. "Ardan! Ayo sini naik!" teriak Adel dari atas sana. Ardan mengangguk. "Tunggu, gue naik!" Ardan berlari kecil menghampiri pohon besar itu dan menaiki tangga-tangga berupa kayu yang berada pada batang pohon itu untuk mencapai ke atas. Setelah sampai di atas Adel menyambut kedatangan Ardan dengan senyum yang sangat lebar. "Makasih," ucapnya singkat yang dibalas senyuman hangat dari Ardan. "Sama-sama." Adel berjalan ke arah luar dan duduk di pinggir rumah pohon itu. Ardan mengikuti apa yang dilakukan cewe itu. "Udara di atas sini seger banget kan?" Adel memejamkan matanya dan menghirup dalam-dalam udara sejuk itu. "Iya." "Gue mau cerita tentang masa lalu gue." Adel membuka matanya dan memandang Ardan lekat-lekat. "Gue tau lo nggak bakal nanya, tapi gue mau ngasih tau." Adel masih menatap Ardan yang kini terdiam sesaat. Dan pada akhirnya ia menceritakan kisah itu. *** "Ya, gitulah ceritanya, " ucap Ardan di akhir cerita. "Eum, Ardan sebenernya aku bingung mau ngomong apa. Pertama, aku nggak pernah ngerasain yang kayak gitu, ternyata sakit hati bisa menghancurkan segalanya ya." Mendengar ucapan Adel itu, Ardan hanya terkekeh. "Dan yang kedua, aku bukan tipe orang yang bisa ngasih solusi. Huh, harusnya kamu nggak usah ceritain itu ke aku, percuma aja." Adel menundukan kepala dia merasa seperti orang yang tidak bisa diandalkan. Ardan mengusap lembut pucuk kepala cewe itu. "Terkadang orang curhat bukan untuk minta solusi, bisa juga karena nyaman." Adel mengangkat kepalanya dan menatap Ardan yang kini sedang tersenyum kepadanya. "Udah sore, pulang yuk." Adel mengerjapkan matanya. "E-eh iya, ayok!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD