Guru Baru

1394 Words
Sesampainya di depan rumah, Adel turun dari motor besar itu. Lalu Ardan segera pamit pulang. "Hati-hati, Dan!" ucap Adel yang dibalas anggukan kepala. Dan setelahnya Ardan melesat pergi meninggalkan Adel yang kini masih berdiam diri sembari senyum-senyum membayangkan apa saja yang terjadi hari ini. Tanpa ia sadari seorang perempuan berada di sampingnya melihat tingkah aneh Adel yang menatap lurus ke depan dengan tatapan berbinar. "Yang tadi pacar kamu?" Suara tiba-tiba itu sukses membuat Adel jerit terkejut. Dinda yang merasa telah menyebabkan hal itu mengusap tekuknya. "Maap gak sengaja, hehe." "Bukan, itu bukan pacar aku," jawab Adel setelah mengakhiri keterkejutannya. "Masa sih? Kok kamu senyum-senyum sendiri setelah dianterin dia?" "Eungh itu, bu-bukan, bukan gitu, aduh kamu nggak tau deh, ada hal apa aja yang buat aku seneng hari ini." Adel merasa malu karena kebahagiannya diketahui orang, ia menyadari bahwa baru kali ini ada yang memerhatikannya seperti ini. "Eh, iya, Del, aku rencana hari ini mau bikin kue, mau ikut bikin?" "Mau mau, ya udah aku masuk dulu ya, nanti aku samper kamu." Dinda terkekeh melihat antusias Adel. "Oke, aku tunggu, nanti langsung ke dapur aku aja." *** Sebenarnya memasak adalah salah satu ketidakbisaan Adel, ya ampun bahkan hampir semua aspek tentang perempuan Adel tidak bisa. Dimulai dari tidak bisanya Adel dengan dandan, bahkan ia tidak bisa membedakan mana poundation mana bedak. Adel tidak bisa merawat diri, ya saking tidak bisanya Adel nyisir saja jika diingatkan Bunda. Sampai dalam hal memasak pun. Namun, ketika Bunda mengeluhkan semua itu yang dijawab Adel hanyalah, "Adel bisa beresin kamar." Hanya itu kebisaannya, dan itu pun harus diingatkan Bunda lagi. Namun, kali ini ia sedikit berbeda, Adel ingin mengetahui dunia perdapuran lebih dalam, selama ini yang ia tahu tentang masak hanyalah dipotong-potong masukin penggorengan selesai—karena memang itu yang ia kerjakan ketika bersama Bunda. Bunda pun bingung dengan sikap antusias Adel. "Tumben kamu mau belajar masak?" Adel yang mendengar pertanyaan Bunda hanya membalasnya dengan senyuman. "Jangan kangen ya Bun, aku ke tetangga depan doang kok 5 langkah dari rumah," ucap Adel yang diiringi kekehan kecil. *** Adel kembali memerhatikan kue hasil bikinannya bersama Dinda. "Sekarang ayo kita coba rasanya." Adel mengangguk dan mengambil sendok yang barusan disodorkan oleh teman barunya itu. "Emm, nggak terlalu buruk." "Kayaknya aku kebanyakan ngasih gula deh." Adel mengusap tekuknya. Memang tidak terlalu buruk karena masih bisa dimakan hanya saja sedikit terlalu manis. "Aku masih harus belajar lagi, didampingi kamu aja masih kurang gini rasanya." "Mau tau resep rahasia dalam membuat kue itu apa?" "Apa?" "Buatlah menggunakan hati." *** Keesokan paginya benar saja, Ardan kembali menjemput Adel. "Dan, sebenernya, sepeda aku kapan betulnya sih? Udah hampir sebulan loh ini." Ardan meringis ketika pertanyaan itu terlontar. "Se-sebenernya sepeda lo udah bener dari kapan tau, Del." Adel membelalakan matanya tak percaya. "Jangan bilang sepeda aku kamu jual?" "E-eh kagak, enak aja. Masih di bengkelnya kok, ya udah nanti gue suruh orang bengkel anterin ke rumah lo." "Ya terus, kenapa nggak langsung dikasih tau aku?" Tidak ada jawaban dari Ardan. "Ardan!" "Ya ampun, Del. Lo nggak liat gue lagi nyetir? Orang lagi nyetir jangan diajak ngomong bahaya." Mendengar itu Adel hanya mendengus kesal. Padahal Adel ingin bercerita juga tentang tetangga barunya yang kemarin habis mengajarinya membuat kue. Ah, mungkin lain kali, pikir Adel. Setibanya mereka di sekolah Adel ternyata kembali menanyakan tentang alasan sepedanya itu. Namun, belum sempat Ardan menjawab kelima temannya yang lain sudah terlebih dahulu datang menciptakan kehebohan. "Woy kalian pada tau nggak Bu Lutfi mau cuti melahirkan." Bu Lutfi guru matematika mereka yang baru saja hamil anaknya pertama. "Iya tau. Kira-kira siapa ya yang bakal gantiin dia." "Dari kapan cutinya?" kali ini Ardan angkat bicara. "Dah dari 3 hari yang lalu." "Berarti nanti aku nggak diajar sama Bu Lutfi dong." "Lo ada pelajaran matematika?" Adel menjawab dengan anggukan. "Aku duluan ke kelas ya," ucap Adel menyadari jika sedari tadi mereka masih berdiri di parkiran sekolah. *** Meskipun bel sudah berbunyi, tetapi tampaknya tidak merubah suasana kelas yang riuh, ditambah lagi karena ketidakhadiran guru matematika mereka. Sampai pada akhirnya ketukan pintu dari luar terdengar, seketika keadaan kelas menjadi hening. Adel yang bertumpu pada kedua tangannya yang berada di atas meja reflek mengangkat kepalanya. Pintu itu terbuka menampilkan sesosok pria tampan dengan rambut yang disisir rapi. Kemeja biru yang membalut tubuh atletisnya. Bisikan-bisikan mulai terdengar dari beberapa siswi, mata-mata genit dengan gaya khas mencuri perhatian sangat ditampakan oleh siswi-siswi lain. Pria itu mulai membuka mulutnya dan memperkenalkan diri. “Halo, selamat siang semua. Saya akan menjadi guru matematika sementara kalian.” “Untuk seterusnya juga nggak apa-apa, Pak,” celetukan ringan dari siswi berambut ikal itu sontak membuat kelas menjadi kembali riuh. Adel masih belum menemukan kesadaran dirinya. Ia masih cukup terkejut dengan apa yang tengah ia lihat saat ini. Sampai pada akhirnya pandangan pria itu bertubrukan dengan pandangan Adel. Ketika bibir tipis itu menyunggingkan senyum tipisnya seketika Adel mengerjap seperti sudah menemukan kesadarannya. *** Sepulang sekolah Adel pergi mendatangi kafe yang selama ini menjadi penyalur hobinya. Setelah tiba di kafe itu, Adel langsung memasuki suatu ruangan khusus yang biasa digunakannya untuk berlatih. Ketika kenop pintu itu dibuka, ia melihat pria berumur 23 tahun sedang membelakanginya. Pria itu sedang memainkan piano dengan mata terpejam. Adel langsung menghampiri dan menekan asal salah satu tuts piano tersebut menghancurkan irama indah yang sebelumnya dimainkan. Pria itu langsung membuka matanya dan menatap gadis SMA yang sekarang menatapnya garang. “Tuan putri sudah datang rupanya, maaf tuan putri singgasananya saya duduki.” Ia berkata sembari membungkukan badanya mendramatisir. “Nggak lucu, Mas Rey!” tegas Adel. Hal itu membuat pria di depannya tertawa terbahak-bahak. “Ada apa sih, Adik manis?” “Kenapa Mas Rey nggak bilang kalo maksud dari ‘pekerjaan baru itu' jadi guru pengganti di sekolah aku?” sungut Adel dengan tangan disedekapkan di depan d**a. “Kan biar kejutan, gimana? Terkejut nggak?” Ia bertanya seraya menaik turunkan alisnya. “Wow, sangat terkejut.” Adel mengatakan itu sambil mencibir. “Udah bisa dimulai latihannya?” Mas Rey adalah pelatih piano Adel sejak dulu. Ia adalah anak dari pemilik kafe itu dengan kata lain anak dari Tante Rosa. Mereka sangat dekat bagaikan saudara. Hal itu dikarenakan Rey yang ingin sekali memiliki adik perempuan dan Adel yang merasa kehilangan kakak laki-lakinya. Kedekatan mereka benar-benar seperti kakak dan adik, tetapi beberapa orang masih saja menyangka mereka berpacaran. Beberapa kali Adel sering mendapatkan tatapan membunuh dari beberapa wanita yang mengincar abang angkatnya itu ketika mereka bersama. Bahkan sampai pernah ada yang berusaha mencelakainya. Hal itu pula yang membuat Adel pada akhirnya menjaga jarak ketika berada di luar bersama Rey. “Ah! Aku nggak mood latihan.” “Ya ampun, Del, Mas Rey udah minta maaf tadi. Jangan dilanjutin lagi ngambeknya.” “Kalo kejadiannya keulang lagi gimana?” “Bilang aja kamu adeknya Mas Rey, dan bisa aja orang-orang yang dulunya ngejauhin kamu sekarang malah banyak yang mau berteman sama kamu.” “Kok bisa?” Adel menatap bingung ke arah Rey. “Karena mereka suka Mas Rey.” Jawaban santai yang keluar dari mulut Rey membuat Adel membulatkan matanya. “KEPEDEAN!” Mendengar ungkapan Adel membuat laki-laki berparas tampan itu terkekeh. “Kejadiannya nggak bakal kayak dulu, coba aja kamu pikir mereka nggak mungkin ngebully kamu kalo mereka tau kamu adek Mas Rey. Jadi jangan bilang temen deket atau sahabat, sakit tau, nggak dianggep adek sendiri.” Mendengarkan penuturan Mas Rey turut membuat Adel menyunggingkan senyum manisnya. Apakah kakak laki-lakinya seperhatian ini? Bunda pernah menceritakan mengenai masa lalunya sekilas, yaitu mengenai Adel yang memiliki kakak laki-laki dan harus berpisah ketika mereka masih kecil. Waktu yang sangat lama membuat Adel melupakan wajah kakaknya tersebut. Namun, beberapa kenangan meskipun terlihat buram masih terbayang di benaknya. Misalnya saja ketika mereka sama-sama menggambar sesuatu. Ia masih mengingat gambar apa yang dilukiskan kakaknya. Kakaknya berkata gambar itu adalah cita-citanya yang akan digapai ketika sudah besar. Dokter. “Ya udah kalo lagi nggak mood.” Ucapan Mas Rey membuyarkan lamunan Adel mengenai masa lalunya. “Gini ya, Del, sebenernya Mas Rey itu pengen jadi guru di sekolah kamu karena mau ngejagain kamu juga.” Adel melihat sekilas tuts piano di depannya dan beralih pada laki-laki yang tengah menunggu responnya. “Ngejagain aku?” “Kamu pernah bilang kalo kamu sering dikerjain temen-temen kamu.” “Sebenernya sekarang udah enggak lagi.” Mas Rey menaikkan satu alisnya. “Itu karena aku udah punya temen di sekolah.” .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD