Hal yang disembunyikan

1055 Words
"Gue nggak pernah sekalipun ngebohongin elo." Dion memutarkan sendok yang berada di minumannya. "Yang jelas, gue nggak akan melakukan sesuatu yang udah gue bilang 'enggak'." "Tapi yang gue liat waktu itu—" "Lo nggak denger sampe akhir! Gue nolak dia, Ar," Dion menyergah ucapan Ardan. Dion menggelengkan kepalanya sambil tersenyum miring. "Ternyata gue belum benar-benar mengenal lo. Gue baru tau pada saat itu, kalo orang sesantai lo, orang yang selalu berpikir sederhana, orang yang selalu nahan gue buat nggak ngelakuin hal-hal yang kelewat batas. Orang itu dengan mudahnya berubah menjadi bensin yang gampang kebakar cuma gara-gara cewe." Dion terkekeh, sambil masih menampilkan senyum miringnya. "Kenapa lo nggak berusaha jelasin semuanya waktu itu?" Dion kini tertawa. "Lo nggak inget kalo udah ngusir gue waktu gue ke rumah lo?" "Orang se-emosional lo harusnya bisa berusaha ngejelasin semuanya ke gue—" "Nyokap gue masuk rumah sakit waktu itu," potong Dion. Cukup membuat Ardan termangu. "Hal yang membuat gue nggak punya cukup tenaga buat ngelawan emosi lo," sambung Dion diakhiri helaan napasnya yang panjang. Ucapan Dion seketika membuat Ardan menegang. Dia tau kalau hubungan Dion dan ibunya waktu itu tidak dalam keadaan baik. Seperti dirinya yang tidak dapat merasakan kasih sayang seorang ibu. "Karena gue pun," Dion menarik napasnya yang terasa tercekat, "gue udah berada di titik terendah." *** Setelah melalui detik-detik tersulit, kini mereka bertiga—Adel, Ardan, dan Dion—tengah menikmati pesanan mereka dengan diiringi obrolan-obrolan ringan. Meskipun keadaan sudah berangsur baik, tetapi sikap mereka satu sama lain masih terasa kaku. Ardan berdehem pelan, memecahkan kesunyian yang sempat terjadi. "Del, lo bisa main piano, kan?" Adel melirik Ardan dan Dion secara bergantian. Dion menyimpan sendoknya dan melipat kedua tangannya di atas meja. Adel tersenyum kikuk. "Kenapa?" "Gue mau liat lo main piano, tapi—" Ardan menunggu Adel melihat matanya, dan ketika mata itu sudah bertemu dengannya, "—lo main tanpa penutup muka alias topeng." Ardan tersenyum lebar melihat Adel yang membulatkan mata. Ardan kembali berkata ketika Adel hendak menolak. "Lo harus, Del. Anggep aja ini suatu persembahan dari lo untuk gue sama Dion." Adel kembali melirik Dion yang masih setia menatapnya dengan tatapan tenang dan menusuk itu. Perlahan gadis itu menganggukan kepalanya. *** Dari jarak yang tidak terlalu jauh, kedua laki-laki itu menatap seorang gadis yang sedang menarikan jari lentiknya di atas tuts piano. "Gue masih nggak nyangka sama bakat dia yang ini," kata Ardan memandang Adel dengan tatapan kagum. Berbeda halnya dengan Dion, dengan tatapan tajamnya itu ia menatap Adel tanpa ekspresi. "Dia sangat memikat," sambung Ardan. "Ya," kata Dion singkat, masih dengan ekspresi tenang. "Orang yang terlihat biasa, memang akan selalu menyimpan hal yang berharga pada dirinya." Dion berkomentar dengan masih menatap gadis itu. Ardan mengangguk pelan, menyetujui. "Ya, betul. Gue seneng bisa jadi orang pertama yang mengetahui hal berharga itu." Dion beralih memandang Ardan dan mengernyitkan dahi. "Maksud lo?" Ardan terkekeh. "Sebelumnya nggak ada yang tau bakat dia kecuali bundanya dan pembimbingnya. Dan gue orang pertama yang tau selain kedua orang itu." Ardan tersenyum bangga mengatakan hal itu. Ardan membalas tatapan Dion yang tak bisa dia artikan. "Gue—" Ardan menunjuk dirinya, "—orang pertama yang mau menerima dia apa adanya dan orang yang mengagumi segala yang dia miliki sebelum dan sesudah ini." "Lo suka sama dia?" Dion bertanya. "Kayaknya nggak usah dijawab juga lo udah tau, kan." Ardan menyeringai dengan menaik turunkan alisnya. Dion mengangguk pelan. "Lo bener-bener suka sama dia," gumam Dion. "Gue harap kali ini gue nggak salah lagi." Ardan kembali memandang Adel. "Dia cewe yang cocok buat gue, kan?" Hening, tidak ada jawaban dari laki-laki sebelahnya. "Dan yang jelas, hubungan pertemanan kita nggak akan rusak gara-gara cewe lagi." Ardan kini menatap tepat di iris hitam legam itu. "Karena gue tau lo nggak pernah suka sama siapapun lagi, termasuk dia." "Kenapa lo bisa bilang gitu?" "Ayolah, Yon. Semua orang tau gimana sikap lo saat ini. Dingin. Gue pikir lo bakal hangat kalo sama orang yang lo suka, dan sampe saat ini gue nggak pernah liat lo hangat sama siapapun." "Ah, ya, kalimat gue salah. Mungkin lo bakal suka sama cewe tapi yang jelas bukan setipe sama gue, kan? Karena sebelumnya aja tipe kita beda. Tenang, kali ini gue nggak akan salah paham." Ia mengedipkan sebelah matanya sebelum akhirnya ia menyeruput cokelat hangat pesanannya. Dibalik sikap tenang itu, dibalik wajah tanpa ekspresi yang ia tampilkan, terdapat perasaan yang bergemuruh, bergejolak bagaikan ombak dan petir yang tiba-tiba masuk dalam hati dan pikirannya. Tiba-tiba semua terasa kacau. Jika seseorang yang diam menyimpan sesuatu yang berharga dalam dirinya. Maka seseorang yang dingin menyembunyikan badai kehancuran dalam tenangnya. *** Malam itu, di sebuah jalan setapak yang diliputi kesunyian malam, diiringi gemerisik embusan angin, ditemani suara-suara hewan di malam hari, laki-laki itu membiarkan langkah kakinya membawa ia menelusuri jalan itu. Semua terasa kacau. Sakit, kesal, marah, kecewa, sesal, semua bersatu membentuk agregasi yang membuat ia sangat tidak berdaya saat ini. Perasaan yang cukup lama untuk dipendam. Selalu bertahan dengan sikapnya padahal hatinya menolak. Seperti inikah akhirnya? Flashback 2 tahun yang lalu Hari pertama masuk sekolah dengan tittle anak SMA. Cukup membuat semua anak putih biru merasa bangga. Terdapat hal-hal menarik yang hanya didapatkan di masa ini. Tampak wajah bahagia dicampur kagum yang terpampang di wajah mereka ketika memasuki area sekolah baru mereka itu. Lain halnya dengan anak laki-laki yang satu itu. Anak laki-laki yang hanya memerhatikan sekelilingnya. Ia berdiri di pinggir lapangan tempat para peserta didik baru akan melaksanakan apel pagi. Pandangannya terkunci pada sesosok gadis tertutup yang tengah diganggu oleh segerombolan anak laki-laki. Mereka tidak bertingkah berlebihan, hanya mengambil topi sekolah yang digunakan perempuan itu. Setelahnya mereka pergi. Peraturan peserta apel, harus memakai atribut lengkap, hukuman yang tidak menggunakannya adalah berdiri di depan siswa-siswi yang melaksanakan apel yang tidak melanggar. "Eh, ini topi lo gue balikin," ucapnya seraya menyodorkan topi. Perempuan itu tidak langsung menerima hanya terdiam menatap heran laki-laki itu. "Ini bukan topi aku." Ia mengedikkan bahunya acuh. "Mana gue tau, tadi ada yang ngasih ini ke gue, dia bilang ini topi lo." Perempuan itu masih bergeming. "Lo sengaja nggak mau make topi ya? Lo tau kan, hukumannya apa." "Tapi, ini bukan—" "Ck, lama banget sih, nih," sergahnya seraya menarik tangan perempuan itu, menengadahkannya lalu menaruh topi itu di atasnya. Lalu laki-laki itu berlalu meninggalkan perempuan berbola mata cokelat yang masih melihat ragu topi di tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD