Usaha Melupakannya

1006 Words
Sebuah amplop cokelat yang terdapat di atas meja kerjanya pagi ini sukses membuat cowok itu mengurut pelipisnya. Ketukan kecil di pintu ruang kerjanya sedikit menyentak Ardan. "Iya, silakan masuk." Wajah pegawainya menyembul. Ardan sudah tahu alasan kedatangan Ivan. "Mba Dinda resign?" Beberapa menit yang lalu, Ardan memang mengirim pesan kepada Ivan untuk menghandle beberapa pekerjaan harian yang seharusnya dikerjakan oleh Dinda. "Mas Ardan tau alasannya kenapa?" Ardan mengembuskan napasnya kasar. Ivan bisa melihat betapa pusingnya atasannya itu. Rambut yang acak-acakan. Raut wajah yang kusut. Bahkan atasannya belum sama sekali menyentuh laptopnya yang diketahui Ivan disitulah semua pekerjaan Ardan. "Gue harus nyari pengganti di mana coba," keluh Ardan. "Seingat saya, di perjanjian kontrak tertulis denda kalau keluar tidak sesuai kontrak. Sama kayak punya Mba Dinda nggak, Mas?" Kepala Ardan mengangguk lemah. "Katanya dia mau bayar dendanya." Raut Ivan berubah panik. Ia sampai maju ke depan mendekat ke Ardan. "Kok bisa dia rela bayar denda? Resign mendadak pula. Apa Mba Dinda lagi punya masalah?" Mata Ardan menatap kosong ke depan. Memorinya terlempar pada kejadian tadi malam. Apakah itu alasannya? *** Kaus oversize bergambar minni mouse dan celana pendek yang memperlihatkan pahanya menjadi outfit Dinda di senin pagi. Tak ada lagi Dinda yang harus makan bubur karena tidak sempat masak. Tak ada lagi Dinda yang kerepotan menyetrika baju dan celana jeansnya yang masih kusut. Dengan masih bergumul di kasur, Dinda sesekali melihat ponselnya. Niatnya ingin tidur, tetapi nyatanya ia masih belum bisa tidur. Yang perempuan itu lakukan hanya berguling ke kanan dan kiri sambil berusaha memejamkan mata. Kenapa sesuatu yang sudah diniati malah susah dilakukan, bahkan dalam hal tidur sekalipun. Frustrasi karena masih tidak tidur, perempuan berambut awut-awutan itu memutuskan untuk ke dapur. Ia membuka lemari pendingin. Mengambil nugget dan minuman soda kalengan. Sambil menggoreng nuget, Dinda meneguk minuman sodanya. Dinda membawa nuget yang sudah matang ke depan televisi lengkap dengan nasi. Tangan cewek itu meraba sofa di belakangnya untuk mencari remot televisi. Dengan ditemani minuman bersoda. Dinda menikmati makanan dan acara televisi. Tak terasa waktu yang Dinda gunakan untuk rebahan, nonton televisi, dan senam sangat sedikit. Jam masih menunjukkan pukul dua belas siang. Sedangkan Dinda belum memiliki rencana apa-apa lagi. Ternyata tidak kerja membuatnya tersiksa juga. Selain tidak mendapat cuan, terbiasa bergerak dan tiba-tiba tak berbuat apa-apa cukup membuatnya gatal ingin kembali bekerja. Namun, mengingat apa yang Ardan ucapkan malam itu padanya cukup membuat Dinda memutuskan berhenti bekerja dengan cowok itu. Ardan sendiri yang menyuruhnya untuk berhenti mengharapkannya. Dan seperti inilah caranya. Dengan tak lagi melihat paras lelaki itu. Dinda belum sempat melihat ponselnya lagi. Ia yakin satu-satu chat yang masuk dari Ardan hanyalah 3 huruf cantik, "Iya." Saking cueknya, Dinda sampai mengubek-ubek kasurnya untuk mencari ponsel. Setelah ditemukan, puluhan notifikasi masuk ke dalam ponselnya. Kebanyakan pesan dari Ivan, yang terus menanyakan alasan Dinda keluar secara tiba-tiba. Jempol cewek itu terus menggulir layar ponsel mencari nama yang sudah menyakitinya kemarin. Bisa ketemu? From: Ardan *** Dinda memutuskan untuk tak menjawab pesan itu. Terhitung sudah hari kedua Dinda terbebas dari kalimat 'pegawai toko Ardan'. Dinda memakai kulot linen putih dengan kaus oblong putih dibalut blazer berwarna pastel. Hari ini ia akan merayakan atas resign Dinda dari toko Ardan. Dengan bermodal alamat dari sosmed, Dinda pergi menuju puncak. Dari vidio yang ia lihat di sosmed ada kebun teh yang di atasnya ada kafe. Namanya Kafe Ngambang. Kenapa dinamakan seperti itu, karena letak kafenya di atas bukit. Pemandangan dari kafe itu langsung ke kebun teh. Sambil menunggu pesanannya datang, Dinda membuka aplikasi lowongan kerja. Walaupun yang udah-udah cara ini tidak berhasil. Sekalinya berhasil, Dinda harus bertemu perusahaan penipu yang meminta bayaran. Untungnya Dinda terus menolak tawaran interview kerja itu. "Makasih, Mas," ucap Dinda kepada pelayan kafe. Sebuah panggilan masuk muncul di layar ponsel cewek itu. Ia menekan tombol hijau dan mengangkatnya. "Halo." "Mba Din, lagi di mana? Aku ke rumah nggak ada orang." "Aku lagi pergi. Ada apa ke rumah?" "Mba cuma jawab 'nggak apa-apa' di chat. Aku nggak percaya, mau denger langsung." Dinda tertawa. "Apasih. Serius tau nggak apa-apa." "Mendadak?" "Iya, mendadak. Aku mau cari kerjaan yang sesuai sama jurusan kuliah aku, Van. Beneran nggak ada masalah apa-apa kok," kata Dinda meyakinkan. Tangannya memutar-mutar sedotan di minumannya. "Syukur, deh, kalau memang nggak ada masalah apa-apa. Jangan sungkan cerita loh, Mba, kalau punya masalah." "Siap!" jawab Dinda. "Makasih, Ivan, perhatiannya." "Hehe, sama-sama Mba. Padahal kita kerja barengnya baru sebentar, tapi aku udah ngerasa klop kerja bareng Mba Dinda. Jadi ngerasa kehilangannya, nih," curhat Ivan. Mendengarnya membuat hati Dinda mencelos. Sayangnya yang mengatakan itu bukan Ardan. "Van, lo nggak kerja?" "Izin, Mba. Hehe. Izin setenga hari doang kok. Ini mau ke toko." Dinda mengangguk kecil. "Hati-hati di jalan." "Siap, Mba. Ya udah aku tutup, ya. Takut kelamaan dicariin sama Mas Ardan." "Iya, Van." Helaan napas lelah Dinda keluarkan. Perempuan itu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyeruput menikmati minumannya. "Dan, gue bakalan usaha ngelupain lo." *** Kebesokkannya, Dinda kembali mencari kesibukan lain. Ia menonton vidio memasak dari youtube dan mencoba membuatnya. Creamy soup mushroom. Entah hasilnya akan berhasil atau tidak. Padahal Dinda tidak terlalu suka jamur. Ini hanya cara perempuan itu untuk menyibukkan diri. Dering ponsel terdengar. Dinda bergegas mengambilnya. Terpampang kontak Mama di layarnya. Perempuan itu menghirup oksigen dalam-dalam lalu mengeluarkan napasnya. Semoga Dinda bisa menjawab semua pertanyaan mamanya tanpa keceplosan dengan alasan sebenarnya. "Dinda!" seru mamanya saat Dinda mengangkat. "Apa, Ma?" jawab Dinda berusaha santai. "Kok bisa keluar? Cari kerja susah Dinda. Lagian emang nggak ada denda yang harus kamu bayar? Kamu kan keluar nggak sesuai kontrak." "Iya, Ma. Ini Dinda lagi nyari kerja yang sesuai sama jurusan Dinda." "Udah ketemu? Masih nyari Dinda. Orang tuh kalau udah ketemu tempat kerja, baru resign di tempat yang lama. Kamu ceroboh Dinda," omel Mama. "Iya, Ma." "Kebiasaan kamu iya Ma iya Ma." "Iya, Ma. Mama nggak usah khawatir. Dinda udah mikirin itu kok." "Mana rumah kamu itu masih nyicil. Mending jual lagi aja. Kamu tinggal sini lagi." Dinda menggigit bibir bawahnya. "Maaf, Ma," cicitnya. "Halo? Dinda? Suaranya nggak kedengeran." Dinda membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Dinda minta maaf karena sering ngerepotin Mama."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD