Tiba-tiba Hilang

1018 Words
Jam dinding berputar pada porosnya. Menunjuk satu angka setiap detiknya. Selama pergantian jam, selama itu Dinda tak hentinya melihat layar ponselnya. Pada awalnya ia berharap bahwa pesannya dibalas. Namun, kini yang ia harapkan hanya sebatas dibaca saja. Padahal tanda pesan itu berhasil dikirim tertera pada ponsel milik Dinda. Kini, jam menunjukan pukul enam sore. Dinda menyambar kardigan, tas selempang, dan ponselnya. Ia jadi khawatir takut ada sesuatu yang berbahaya karena cowok itu tak kunjung membalas pesannya. *** Suasana rumah Ardan yang sepi membuat Dinda sempat terpatung. Ia sampai melongok lewat celah gorden yang tersingkap. Rumah itu benar-benar kosong. Dinda mencoba menelepon cowok itu. Nada dering terdengar, tetapi tak kunjung diangkat. Ketika panggilannya berhenti, Dinda kembali meneleponnya. Namun, nomor itu malah tidak aktif. Ke mana Ardan? Dinda mencoba menghubungi Adel. Ia duduk di teras rumah Ardan saat berusaha menghubungi sahabatnya itu. "Del!" Tubuh Dinda langsung menegap. "Kamu tau Ardan ke mana? Kok di rumahnya kosong, ya?" "Enggak, Din. Dia nggak ada cerita mau ke mana. Emang ada apa, Din?" Dinda tidak mungkin bercerita semuanya. Kalau Ardan tiba-tiba menghilang setelah menciumnya. "Enggak apa-apa, Del. Makasih, ya. Kalau tau Ardan ke mana tolong kasih tau aku, ya, Del. Maaf ganggu waktunya." Dinda tahu kalau ini masih masa honeymoon Adel dan Dion. Tidak seharusnya ia menelepon Adel untuk kepentingan pribadinya. "Enggak apa-apa kali, Dinda. Kayak sama siapa aja. Iya, nanti kalau aku tau Ardan di mana, aku kasih tau ke kamu." Dinda lantas mengangguk, padahal Adel tidak bisa melihatnya. "Makasih, Del. Dah, Adel, selamat berbulan madu." "Hehe, tunggu aku pulang dari sini nanti kita main lagi. Dah, Dinda!" Setelah sambungan itu terputus, bahu Dinda lantas merosot. Sadar kalau tak ada gunanya ia di depan rumah Ardan, perempuan itu bangkit dan mengayunkan kakinya untuk kembali ke rumah. Tawa kecil lolos dari bibir perempuan itu. Dinda menertawakan dirinya sendiri. Dia habis bermimpi apa? Mengharapkan apa? Menginginkan apa? Hal konyol yang masih bergulat dalam benaknya. Mencintai seseorang ternyata sekonyol ini. "Aaaaa!" Dinda berteriak. Tak mempedulikan pandangan aneh-aneh orang sekitarnya. Ia meneruskan berjalan menuju perumahannya yang sudah dekat. Setidaknya, sedikit sesak itu lepas. Ya, meskipun hanya sedikit. Langkah gontainya memasuki perumahannya yang tampak ramai. Berbeda dengan perumahan elit Ardan. Segerombolan anak kecil tampak bermain di tengah jalan. Dinda sampai harus berjalan ke pinggir untuk menghindari tabrakan. Prat! Sebuah saus mengenai bajunya karena tabrakan seorang anak laki-laki yang tengah membawa cilok. Kemudian anak itu menangis karena jajanannya tumpah. Dinda menatap datar ke arah anak itu. Apa ia juga harus menangis karena bajunya kotor? Matanya terus memandang lurus anak itu yang kini berlari menghampiri ibunya yang tampak tengah duduk di bawah pohon bersama ibu-ibu lainnya. Ibu itu tampak kesal. Ia bangun dan dengan langkah lebar menghampiri Dinda. Perempuan itu menghela napas pelan. Berusaha bersikap bodo amat, ia lanjut berjalan lurus. Sebuah cekalan memberhentikan Dinda. "Kamu apain anak saya? Kalau jalan nggak punya mata, ya? Anak sekecil ini kamu tabrak." Mata Dinda memandang datar wanita bertubuh gempal itu dan anaknya yang tampak seperti kutu tengah mengumpat di belakang b****g ibunya. Telunjuk Dinda mengarah ke bajunya. "Baju saya kotor. Yang nabrak anak Ibu, bukan saya. Dia lari tadi," ucap Dinda dengan nada tanpa emosi. "Ya, kalau udah tau lari kenapa nggak minggir main jalan aja." "Ahahah! Saya sebodoh itu, ya, yang bersedia ditabrak sampe baju kotor? Pikir, Bu. Kalau saya liat anak itu lari, saya nggak akan mau ditabrak, saya udah minggir." Dinda masih menjawab ibu itu dengan nada bicara santai. Tak mau membalas makin panjang, Dinda berbalik hendak meninggalkan ibu itu. Namun, lagi-lagi tangannya ditarik memaksa dirinya untuk menghadap ibu itu. Rahang Dinda mengepal. Sudah cukup ia menjadi perempuan menyedihkan karena ditinggal lelaki itu. Ia tak mau menjadi korban amukkan ibu-ibu perumahan untuk hari ini. Air mata Dinda menetes satu-satu. Lalu tetesan itu berubah seperti hujan yang turun deras. Suara raungan keluar dari mulut perempuan itu. "Baju saya kotor, Bu. Saya yang dirugiin, tapi kenapa malah nyalahin saya?!" Wajahnya berubah memerah karena emosi. "Saya udah cukup sakit karena cowok itu tiba-tiba hilang. Hari ini saya cuma mau nangis di kamar. Kenapa Ibu terus nahan saya gini!" histeris Dinda dengan air mata mengucur deras. Napasnya tersengal-sengal disela tangisnya. "Sakit, Bu. Saat sikap dia tiba-tiba berbeda. Saat dia ngasih harapan yang ternyata cuma bayangan saya aja!" Daddanya terasa sesak. Dinda melorot jatuh. Dengan berjongkok, perempuan itu meremas baju bagian daddanya. Ibu itu lantas mengerjap bingung. Ia menoleh ke sekelilingnya dengan raut panik. Tak menyangka bahwa gadis muda itu malah menumpahkan kegalauannya di depan umum. Beberapa orang yang lewat melihat kejadian itu dengan tatapan curiga kepada wanita bertubuh gempal itu. Si ibu menepuk pelan bahu Dinda. "Iya, Neng. Ibu paham. Ayo, bangun dulu malu diliatin banyak orang." Bukannya berhenti, Dinda justru tambah menangis kejer. Dengan bantuan satu orang wanita lagi, Dinda dibantu berdiri dan dituntun menuju rumah perempuan itu dengan alasan takut Dinda kenapa-kenapa di jalan. "Makasih, Bu," ucap Dinda saat sudah sampai ke depan pagar rumahnya. "Sama-sama, Neng. Jangan dipikirin terus, ya, Neng. Mungkin dia bukan yang terbaik bagi Eneng. Tuhan udah nyiapin seseorang yang bisa ngejaga hati Eneng. Sabar, ya." Dinda mengangguk lemah. Kepalanya tertunduk dalam. Terlalu malu menatap wajah kedua wanita paruh baya di depannya. Setelah memberikan petuah, kedua wanita itu meninggalkan Dinda. Dinda sendiri tidak pernah menyangka kalau edisi patah hatinya kali ini ia lakukan dengan cara seperti ini. Menangis di tengah jalan yang ramai orang berlalu lalang. Mendapat petuah dari ibu-ibu komplek. Bahka tadi ada anak kecil yang memberikan ia permen. Dinda menatap dua permen pemberian anak kecil yang bahkan tidak ia ingat wajahnya. Permen berwarna biru dan merah yang bermerk Cium. Air mata Dinda kembali keluar membaca merk permen itu. Ditambah lagi saat Dinda membaca tulisan di bagian belakang bungkusnya. Cie dighosting Hai jomblo Sial! Apakah anak itu tengah mengejeknya? Dinda masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di kasur sambil menatap ruang obrolan Ardan. Menggulirkan layar untuk melihat hasil foto beberapa hari yang lalu. "Padahal ini cuma akting. Tapi gue nganggepnya lain. Akting lo terlalu jago, sampai gue lupa kalau kita lagi cosplay pacaran. Ahaha!" Foto yang ia lihat saat ini pose yang diambil dari samping. Di mana Ardan tengah menarik tangannya dengan berjalan di depan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD