Kebetulan yang Menyenangkan?

1029 Words
Indonesia "Seberapa pantaskah kau untuk ku tunggu, yeye!" Ardan mengambil sisirnya dengan tangan kanan dan melemparnya ke tangan kiri. "Cukup indahkah dirimu untuk selalu ku nantikan!" Ia terus bersenandung mengikuti musik yang terputar di ponselnya sambil menyisir. "Mampukah kau hadir dalam setiap mimpi burukku!" Bahkan ia tidak mempedulikan suaranya yang fales dan tidak enak didengar. "Beneran mimpi buruk anjirrr! Diem nggak lo!" protes Kevin. Temannya yang tengah tidur itu kini menarik bantal dan menutup wajahnya. "Mampukah kita bertahan di saat kita jauh! Bodo amat gue sengaja biar lo pergi dari rumah gue!" Kevin yang tengah dalam mode kabur dari rumah, menjadikan rumah Ardan sebagai pelariannya. Sejak kemarin cowok itu sudah menginap di rumah Ardan. "Kapan lo minggat dari kamar gue, hah?" "Dua jam lagi!" seru Kevin dibalik bantal. "Alah!" "Bener!" "Ngibul." "Sumpah." "Cabut dari kamar gue, serius nih gue, argh," geram Ardan. Lama-lama beneran kesal karena temannya itu tak bergeming sama sekali. Mendengar nada suara Ardan yang mulai kesal membuat Kevin dengan terpaksa mengalah. "Oke gue pergi dari sini!" Kevin melempar bantal yang berada di wajahnya ke sembarang tempat. Ardan mengangkat satu alisnya dan melipat tangannya. "Gue dah capek diteror sama kakak lo dari kemarin." Kevin berdecak. "Blokir aja, sih, ribet banget,” katanya sambil memakai kaus. "Gini nih, kalo dari kecil nggak dikasih bubur malah makan semen," kata Ardan sambil menyemprotkan parfum di badannya. "Sialan lo!" Sebuah sendal jepit terbang ke arah Ardan yang untung saja cepat cowok itu hindari. Ardan membuka lemarinya dan mengambil jaket jeans. "Gue pulang pokoknya lo harus musnah dari sini." “Iye, bawel. Itu lo udah mulai kerja?” Ardan melirik temannya yang bersandar di ambang pintu. “Iyalah, emangnya elo, pengangguran.” “Lah, dapet kerjaan dari bokap aja songong lu ye.” “Jelaslah! Apa gunanya punya teman kalo nggak disongongin. Udah cepet pergi lo dari sini.” “Terus lo udah punya penjaga kasirnya?” Kevin tak mempedulikan usiran Ardan. Gerakan Ardan yang tengah mengikat tali sepatunya berhenti. "Udah ... kayaknya." Kevin berdecak. "Jangan bilang yang ngurusin perekrutan bukan lo?" Tali sepatu Ardan sudah selesai. Ia berdiri sambil mencangkelkan ranselnya. "Tuh tau." Kevin memutar matanya, sudah dapat ia duga kalau Ardan akan terima beres. "Lokasi lo di mana?" "Mau ngapain?!" "Anterin makan siang, Babe!" "JIJIK!" Kevin tergelak. "Awas lo ya, nyamperin gue ke supermarket." Tunjuk Ardan ia sudah mengambil kunci motornya dan hendak memutar kenop pintu. "Sewot banget lo! Hahaha!" Kevin sangat puas melihat ekspresi kesal Ardan. "Hati-hati di jalan, sayang!" Ardan tidak lagi menggubris ucapan sableng temannya. Ia mengangkat jari tengahnya tinggi-tinggi untuk membalas Kevin, yang otomatis mendapat semburan tawa yang menggelegar. Ardan tidak benar-benar mengusir Kevin dari rumahnya. Ia hanya tidak ingin temannya itu selalu lari jika ada masalah di rumahnya. Cowok itu melirik jam di pergelangan tangannya. "Sial, udah telat gue!" Kemudian dengan cepat Ardan menaiki motornya dan menyalakan kuda besi kesayangannya itu. Dengan kecepatan maksimal ia membawa motor dan memecah padatnya lalu lintas ibukota. Semoga pegawai barunya tidak mengadu ke ayahnya karena ia kesiangan di hari pertama, harap cemas Ardan dalam hati. *** Perempuan itu melirik kembali jam di pergelangan tangan. Tidak kepagian. Dinda yakin kalau jam masuknya adalah jam setengah delapan. Namun, kenapa sampai jam delapan pintu supermarket di depannya ini belum juga terbuka. Bunyi dentingan sendok dan makan terdengar di telinganya. "Bubur ... bubur!" Mendengar jeritan tukang bubur itu membuat cacing di perutnya bersorak. Dinda baru ingat kalau tadi pagi ia belum sempat sarapan karena ia pikir sudah kesiangan. Ternyata sampai lewat tiga puluh menit pun tempat kerjanya belum kunjung terbuka. Setelah melongok ke kanan dan ke kiri tampak sang pemilik toko belum juga datang, Dinda memutuskan memanggil tukang bubur itu dan memesannya satu porsi. "Nggak usah pake saledri ya, Bang." "Kacang?" "Pake aja." Mendengar kacang, Dinda jadi teringat kalau ada seseorang yang tidak menyukai kacang dalam bubur. Kalau orang itu yang pesan pastinya ia akan memesan tanpa kacang. "Kacang kan enak, kok nggak mau?" Ardan yang hendak menyuap buburnya jadi berhenti."Gini nih, tipe orang plin-plan. Kamu makan bubur karena mau yang lembut 'kan, lah kok jadi ada kacang. Mending beli nasi uduk aja kalo gitu." "Loh, enggak plin-plan. Itu namanya keseimbangan. Ada yang keras di antara yang lembut. Biar seimbang." "Aneh, fix aneh orang yang makan bubur pake kacang itu anehh!" "Enggakk! Kamu yang aneh!" Dinda tersenyum mengingat kejadian itu. Banyak hal yang bertolak belakang antara dirinya dan lelaki itu. Namun, Dinda baru menyadari sekarang bahwa perbedaan itu membuat hubungan mereka saat itu terasa seru. Dinda meringis, betapa bodohnya dia yang saat itu mengecewakan Ardan hanya karena olokan teman-temannya. "Ardan sama Dion jelas gantengan Dion, kok lo malah ngejatohin selera gitu, sih." "Maksud lo apa?" "Dion tu cowo banget. Sedangkan Ardan? Dia lebih mirip cowo cupu nggak, sih? Lurus-lurus aja perasaan, nggak menantang banget. Cobain deh, lo pacaran sama Dion yang barbar itu, lebih menantang." Rasa kesal kembali menyelimuti hatinya. Saat itu, ia tidak benar-benar memilih Dion daripada Ardan. Itu hanyalah perasaan gengsi semata. "Pemikiran bocil," Dinda tersenyum miring. Begitulah ia menilai pemikirannya saat SMP. "Ini, Neng, buburnya." Dinda mendongak. Mengambil pesanan buburnya yang sudah berada di wadah sterofoam dan memberikan uang kepada abang tukang bubur itu. "Makasih, Bang." Saat Dinda berbalik ke arah toko. Ia terkesiap. Sosok yang ia pikirkan tadi, menjadi berwujud dan berdiri di depan pintu masuk toko. Lelaki itu tengah mengeluarkan kunci dan membuka pintu tokonya. Perempuan itu membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "A-Ardan!" Sial, kenapa harus gugup, gerutu Dinda dalam hati. Cowok yang dipanggil Ardan itu menoleh. Alisnya terangkat sebentar lalu keningnya mengerut. Dapat dipastikan Ardan sama terkejutnya seperti dia. "Dinda?" Dengan susah payah Dinda tersenyum. "Lo yang jadi bos gue, ya?" Ardan terdiam, sepertinya otak lelaki itu tengah berpikir tentang apa yang sedang terjadi. "Oh, jadi lo yang bakalan jadi pegawai kasir?" Dinda mengangguk. Mulut Ardan sedikit terbuka. Terkejut part dua sepertinya. "Wah, wow..." Ardan mengangguk-ngangguk. "Kebetulan, ya. Oh, iya maaf telat, tadi ada sesuatu di jalan," kata Ardan lagi. "Nggak apa-apa kok." Dinda ingin berkata basa-basi kalau ia tidak menunggu lama, tetapi itu sangat tidak sesuai karena selama tiga puluh menit tadi ia isi dengan gerutuan. Ternyata bosnya yang ia tunggu adalah Ardan. Tunggu, kalau Ardan menjadi bosnya tandanya ia akan selalu bertemu dengan lelaki itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD