Aku kembali memasuki kamarku dengan wajah yang nampak berseri. Senyuman tidak lepas dan luntur di sana. Kulihat jendela kamarku dan milik Hellen masih terbuka lebar. Aku semakin tersenyum senang. Kakiku melangkah mendekati jendela kamar lagi. Hellen masih belum memasuki kamarnya lagi. Aku bisa mendengar suara langkah kaki secara samar-samar dari dalam rumah Hellen. Salah satunya ada yang datang mendekat.
Pasti itu adalah langkah kaki Hellen yang tengah menaiki tangga rumahnya. Aku menunggu dengan sabar langkah kaki itu mendekat. Dalam hati aku merasa begitu senang dan bangga pada indera pendengaranku yang menjadi jauh lebih tajam dari telinga normal lainnya. Ini sangat keren. Sepertinya tidak ada ruginya aku mendapatkan cairan penelitian milik professor Robert ini. Cairan ini lebih menguntungkan dari apa yang kukira.
Cklek! Suara pintu kamar dibuka. Mataku langsung melihat sosok Hellen yang tersenyum manis kini datang mendekat ketika bertatapan dengan mataku. Gadis itu berdiri di pinggir jendela dan memandangku yang tengah memandang dirinya dengan senyuman. Untuk beberapa saat kami hanya saling menatap tanpa kata. Aku sudah merasa seperti tengah berada dalam adegan romance.
“Kau terlihat tampan Danny,” celetuk Hellen. Senyumanku semakin melebar dibuatnya. “Daddyku benar. Kau terlihat luar biasa dengan tubuh itu. Bagaimana bisa?” lanjut Hellen.
“Kau tidak akan percaya dengan apa yang akan kuceritakan nanti Hellen. Ini sungguh luar biasa,” ujarku dengan senyuman penuh arti. Hellen nampak semakin penasaran dengan cerita yang akan aku bagi nanti.
“Lalu ceritakan kepadaku sekarang.” Benar bukan, apa yang kupikirkan. Gadis itu nampak tidak sabar ingin mendengar lebih.
“Dengan posisi seperti ini?” tanyaku sedikit bingung. Aku menunjuk diri sendiri dan Hellen bergantian, memperlihatkan jarak di antara kita saat ini. Apa Hellen menyuruhku untuk bercerita dari jendela ke jendela? Kulihat Hellen tertawa kecil dan membalasku.
“Kemarilah,” ajaknya. Aku mengangkat kedua alisku mendengar ajakan itu.
“Dan kedua orang tuamu akan memergoki kita lagi seperti sebelumnya?” ucapku sarkas pada Hellen. Aku masih ingat bagaimana ekspresi wajah bibi Rachel dan paman John ketika melihatku berpelukan dengan anak mereka di atas ranjang. Mereka begitu terkejut melihatku, membuatku menjadi salah tingkah dan malu.
“Hahaha, kenapa? Apa kau takut?” ledek Hellen. Aku mendengus kecil mendengar gadis itu meledekku saat ini.
“Sejujurnya aku merasa sedikit malu. Dan kau membuat hal itu menjadi semakin runyam, Hellen.”
“Hahaha apanya yang runyam Danny? Kau berlebihan. Lagi pula mereka tidak mempermasalahkan hal itu bukan?” Hellen nampak santai menanggapi hal itu. Berbeda denganku.
“Tetap saja itu membuatku malu. Mereka menjadi salah paham pada kita.” Hellen terkekeh kecil mendengar ucapanku.
“Baiklah. Jadi di mana kaca matamu? Kulihat kau sedari tadi tidak memakainya. Apa kau bisa melihat tanpa benda itu?” Hellen mulai mengalihkan topik perbincangan kami.
“Ya. Aku bisa melihat dengan begitu jelas tanpa benda itu sekarang.” Aku tersenyum dengan bangga. Kedua tanganku melipat dan bersandar di pinggir jendela, memosisikan tubuh membungkuk ke depan. Kini Hellen yang mengangkat kedua alis merasa heran dan tidak yakin dengan jawabanku itu.
“Kau yakin?” tanya gadis itu dengan raut wajah tidak percaya. Aku mengangguk dengan mantap.
“Tentu saja. Aku bahkan bisa melihat kerutan di sekitar matamu dengan jelas, Hellen.” Seketika Hellen menyentuh wajah dengan kedua tangan dan merabanya.
“Apa?! Kau meledekku sekarang?!” sungut Hellen dengan wajah cemberut lucu. Aku terkikik geli mendengarnya. Bukan maksudku untuk meledek gadis itu. Tapi aku sungguh bisa melihat dengan jelas kerutan itu.
Hellen nampak begitu lelah. Sepertinya selama aku pergi, gadis itu sibuk memikirkan kejadian malam itu dan sibuk menangis serta menyalahkan diri sendiri sehingga dia tidak cukup merawat diri sendiri seperti yang biasa dilakukannya.
“Tidurlah Hellen. Kau harus menjaga tubuhmu sendiri agar kerutan di wajahmu tidak semakin parah,” ujarku dengan lembut. Aku yakin Hellen kelelahan sekarang. Aku ingin Hellen bisa tidur dengan nyenyak malam ini setelah melihatku kembali dengan selamat.
“Kau menyebalkan, Danny. Baiklah. Aku akan tidur sekarang. Selamat malam!” ucap Hellen yang lalu menutup pintu jendelanya dengan wajah yang masih cemberut. Aku tersenyum geli melihatnya. Meski Hellen merasa kesal, namun gadis itu tetap berpamitan tidur padaku. Manis bukan? Hahaha.
Aku menggelengkan kepala dan tertawa dalam hati. Kulihat Hellen benar-benar menutup jendela sekaligus tirainya. Telinga tajamku bisa mendengar gadis itu menaiki ranjang dari gerakannya yang menyentak kesal. Dasar. Pikirku merasa gemas sendiri dengan Hellen. Aku kembali terdiam di tempat setelahnya. Merasakan udara dingin yang datang dari luar jendela dan menerpa wajahku.
Berada di dalam rumah sendiri terasa begitu nyaman saat ini. Semua kejadian sebulan ini terasa hanya sebuah mimpi belaka bagiku. Setelah ini apa yang akan kulakukan? Aku tiba-tiba memikirkan pertanyaan itu. Bagaimana kabar sekolahku? Setidaknya absenku karena kejadian itu berdekatan dengan jadwal libur sekolah sehingga tidak banyak absen yang kutinggalkan. Sepertinya aku butuh meminjam catatan milik Hellen selama aku pergi kemaren.
Dalam keterdiaman selanjutnya, pikiranku tanpa sadar kembali tertuju pada hutan itu. Aku yakin ada banyak monster yang belum memunculkan diri di hadapanku. Karena itu, lebih baik kami tetap berhati-hati. Memikirkan semua monster itu membuatku bertanya-tanya, apakah aku bisa melawan para monster itu dengan tenagaku yang sekarang?
Sejak aku kembali ke rumah professor Robert, professor telah melatihku seperti layaknya seorang tentara. Aku tidak pernah membayangkan aku bisa melalu semua pelatihan berat itu dengan cukup mudah. Aku yakin tenaga dan seluruh panca inderaku jauh lebih kuat dibanding manusia normal mana pun.
Aku juga pernah mengalahkan salah satu di antara monster itu. Mungkin saja aku juga bisa mengalahkan monster yang lainnya. Bukankah ini berarti panggungku menjadi seorang manusia super mulai terbuka? Ya, aku yakin aku bisa melakukannya. Untuk sekarang apa yang bisa kulakukan untuk menunjukkan kemampuanku ini? Hmm, aku menjadi bersemangat memikirkan hal itu.
Crash! Seketika aku mencari asal suara yang terdengar dalam indera pendengaranku itu. aku juga memasang sikap waspada dengan apa yang akan kutemukan nanti. aku melongokkan kepala lebih dalam untuk melihat keadaan.
Suara itu berasal dari tempat sampah yang ada di depan lorong. Dari mata tajamku yang memicing, aku bisa melihat seekor kucing menaiki tempat itu dan membuat suara cukup keras di indera pendengaranku.
“Hahhh.” Aku menghela napas dengan lega. Aku begitu fokus dengan pikiranku sendiri sampai begitu terkejut dengan suara kecil itu. Mataku beralih menoleh ke arah lain dan melihat dengan teliti area di sekitar tampat kami lewat lorong. Kurasa tidak ada hal aneh yang ada di sekitar. Aku akhirnya beralih menutup pintu jendela dengan rapat dan beranjak menidurkan diri di atas ranjang lamaku.