“Ugh! Aghh!”
Mataku langsung terbuka lebar setela mendengar suara teriakan dalam alam mimpiku. Aku terkejut dan tersentak dalam tidurku sendiri. Mimpiku terasa nyata saat itu. Aku seakan tengah mendengar suara teriakan yang begitu kencang tepat di depan telingaku entah teriakan siapa itu. Tanganku bergerak menggaruk telingaku secara otomatis dan mendengarkan lebih jelas bahwa tidak ada suara apa pun yang asing terdengar.
Menyadari bahwa semua itu hanyalah sebuah mimpi, aku menghela napas lega kemduian. Mataku beralih ke arah jam dinding yang menunjukkan angka 5 pagi. Ini masih cukup petang untukku bangun. Aku mendesah panjang. Mataku masih terasa berat saat ini karena itu, aku lebih memilih membaringkan tubuh kembali dengan malas.
“Danny! Uh Dan-ny!”
Seketika kedua mataku kembali terbuka lebar. Suara itu kembali terdengar saat ini. Aku langsung memosisikan duduk kembali dan memfokuskan pendengaran dengan kedua mata yang lurus menatap jendela kamarku. Hellen memanggil namaku baru saja, dan aku sangat yakin itu. Segera aku turun dar ranjang dan menghampiri jendela kamar. Kusibak tirai jendela dan membuka pintunya dengan lebar. Jendela kamar Hellen masih terlihat sama tertutupnya seperti semalam.
“Hellen?!” panggilku mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada gadis itu. Tidak ada sahutan yang terdengar. Justru aku samar-samar mendengar suara rintihan Hellen yang lebih mirip seperti orang yang menangis.
“Hellen, kau kenapa?!” seruku lebih keras memanggil gadis itu. Namun tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar Hellen. Aku merasa semakin khawatir untuk gadis itu. Aku tidak pernah mendengar Hellen berteriak memanggil namaku seperti ini. Mungkin karena indera pendengaranku yang lebih tajam dari biasanya sehingga membuatku bisa mendengar lebih jelas suara yang sebenarnya terdengar lirih dari kamar Hellen. Terlebih kamar itu berada dekat di depan kamarku.
Aku mencari ponselku berniat untuk menghubungi gadis itu. Namun aku lupa kalau ponselku telah rusak sebelum kejadian itu. Merasa perlu bertindak akhirnya aku memilih untuk naik ke atas jendela dan memperkirakan jarak di antara dinding kamar kami. Jendela kamar Hellen tertutup rapat sehingga aku tidak bisa melompat ke sana.
Karena itu aku bergerak menjatuhkan tubuhku ke depan, menyeberang udara dan langsung menumpukan kedua tangan pada dinding kamar Hellen layaknya sebuah jembatan. Itu tidak cukup sulit bagiku, mengingat tinggi badanku yang di atas rata-rata. Segera aku beralih membuka jendela kamar Hellen dengan cara menggesernya.
Tentu saja jendela itu terkunci rapat. Aku lupa telah menyuruh gadis itu mengunci jendela kamarnya dengan rapat. Kini aku pun tidak bisa memasuki kamar Hellen dengan leluasa.
“Ck!” Aku mendecak lidah karena merasa kesal menyadari hal itu. Segera kuketuk pintu jendela kamar Hellen.
“Hellen kau kenapa? Hellen?!” seruku memanggil kembali nama Hellen. Aku merasa bingung harus bagaimana. Apa aku harus pergi ke depan pintu utama dan mengetuk untuk membangunkan keluarga John? Ini masih pagi, mungkin saja mereka masih tidur.
“Hellen!”
Sreekk! Aku langsung terkejut ketika jendela kaca akhirnya bergeser membuka pintunya untukku. Mataku langsung bertatapan dengan mata Hellen yang menampakkan bekas air mata di pelupuk matanya. Gadis itu nampak terkejut melihatku, begitu juga denganku yang hanya bisa melongo untuk beberapa saat melihat kondisi Hellen saat ini.
“Danny?” tanya Hellen dengan wajah heran memerhatikan posisiku yang melintang di lorong rumah kami. “Apa yang sedang kau lakukan?”
“Ah.” Aku tersadar dengan posisiku sendiri dan langsung salah tingkah. “Bisakah aku masuk lebih dulu Hellen?” ucapku kemudian meminta ijin pada gadis itu. Hellen menganggukkan kepalanya.
“Apa kau bisa masuk ke sini?” tanya Hellen lagi. Gadis itu mengkhawatirkan posisiku yang sepertinya cukup sulit untuk naik ke kamarnya. Aku meringis kecil dibuatnya.
“Ya, sepertinya aku bisa. Bisakah kau memberiku ruang?” pintaku. Hellen melangkah mundur dari pinggir jendela. Aku segera meletakkan kedua tanganku di pinggir jendela dan melepaskan pijakanku kemudian. dengan tepat kedua kakinya memijak di dinding rumah Hellen.
Dalam hitungan selanjutnya aku mengangkat tubuhku dengan kedua tangan dan berhasil memasuki kamar Hellen. Aku bisa melihat gadis itu bernapas dengan lega melihatku berhasil naik ke jendela kamarnya.
Hellen mendekatiku kembali. “Jadi, ada apa?” selidik Hellen kemudian, setelah aku duduk di pinggir jendelanya. Aku memerhatikan Hellen dan menghela napas dengan dalam.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu Hellen. Ada apa denganmu? Aku mendengar kau berteriak dan memanggil namaku dari dalam kamar. Apa yang terjadi?”
“Aku?”
“Ya.”
Hellen terdiam di tempat. Aku semakin menatapnya dengan lekat. “Kau bahkan juga menangis. Apa kau bermimpi buruk Hellen?” tebakku kemudian. Hellen menundukkan pandangan matanya menolak bersitatap denganku. Jelas dia baru saja bermimpi buruk melihat penampilan Hellen yang masih terlihat acak-acakkan khas bangun tidur juga suara seraknya saat ini. Bahkan kedua tangannya nampak masih gemetar menunjukkan kegelisahannya setelah mimpi buruk itu.
“Aku bermimpi tentangmu Danny. Kau—“
“Aku tidak akan melakukan hal itu Hellen,” potongku dengan tegas. Tidak perlu dijelaskan pun aku sudah tahu apa yang akan diceritakan Hellen saat ini. Aku sudah tahu bahwa selama kepergianku Hellen sering bermimpi buruk mengenai diriku. Dia masih merasa berhutang nyawa kepadaku sehingga membuatnya sering memimpikan kejadian malam itu. Seolah aku datang untuk menghantui hidup Hellen.
Aku merasa buruk untuk Hellen. Kupikir sejak kedatanganku di hadapan Hellen, gadis itu akn menjadi lebih baik. Hellen tidak akan terlalu dalam memikirkan kejadian itu. Ternyata aku salah. Trauma memang tidak akan sembuh hanya dalam sekejab mata.
Kini aku tahu bahwa Hellen butuh proses untuk mengembalikan lagi kesehatan mentalnya akan kejadian itu. Mendengar ucapanku itu Hellen akhirnya menoleh kembali ke arahku. Kubalas dengan tatapan lekat padanya.
“Aku baik-baik saja sekarang Hellen. Aku tidak pernah menyalahkanmu atas kejadian itu. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri, kumohon.”
“Aku tahu,” balas Hellen dengan lirih, setelah gadis itu tertegun mendengar ucapanku. Hellen kembali menundukkan pandangannya. Aku tahu meski Hellen mengiyakan ucapanku, tetap saja gadis itu masih merasa sulit untuk mengenyahkan pikirannya dari rasa trauma itu. Aku melembutkan pandanganku darinya. Apa yang bisa kulakukan saat ini untuk membuat Hellen merasa lebih baik? Hanya itu yang ada dalam pikiranku saat ini.
“Kau mau jalan pagi denganku?” tawarku kemudian.
“Sekarang?” tanya Hellen yang kembali mendongakkan kepala menatapku. Aku mengangguk kecil, mengiyakan dengan melempar senyuman kepadanya. Jalan-jalan pagi di cuaca dingin ini kurasa tidak buruk juga bukan? Setidaknya Hellen bisa mendinginkan kepalanya untuk sejenak. Hellen mengiyakan ajakanku seperti yang kuduga. Gadis itu tentu membutuhkan waktu untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya.
Aku tersenyum melihat Hellen menganggukkan kepalanya atas ajakanku. “Baiklah. Aku menunggumu di luar. Bersiaplah,” ujarku kemudian. Setelah mengatakan hal itu, aku mendorong punggungku ke belakang dan menjatuhkan diri dari pinggir jendela dengan santai. Seketika Hellen berteriak memanggil namaku kembali.
“Danny!”
Hellen langsung melongokkan kepalanya ke luar jendela untuk melihat keadaanku. Gadis itu nampak begitu terkejut melihat aksiku, sedangkan aku sendiri yang berhasil mendarat dengan apik di lorong rumah kami ikut mendongak dan melihat Hellen darin bawah.
Aku melempar senyum miring pada gadis itu, bermaksud menyombongkan diri di hadapan Hellen bahwa kini aku bisa melakukan beberapa gerakan akrobat dengan mudah. Luar biasa bukan? Terima kasih pada professor Robert. Berkat pelatihannya yang sering membuatku terlempar ke sana dan kemari, akhirnya aku menjadi terbiasa meningkatkan gerak refleksku sendiri.
Setelahnya aku membiarkan Hellen yang hanya melongo menatapku dari atas sana, dan berlalu pergi menuju depan rumah kami dengan santai.
Aku tengah membuat bola salju berukuran kecil dan bermain dengan itu ketika menunggu Hellen akhirnya keluar dari rumahnya. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Hellen bersiap. Gadis itu hanya mencuci wajahnya dan memakai jaket tebal untuk menghalau cuaca dingin pagi ini. Hellen melempar senyum tipis ketika melihatku sembari melangkah menghampiriku.
“Kau sudah siap?” tanyaku kemudian.
“Kau tidak kedinginan?” tanya Hellen balik sembari memperhatikan penampilanku. Aku masih memakai kaos hitam yang semalam kugunakan berikut celana panjangnya. Aku terlalu malas untuk kembali ke dalam rumah dan mengganti bajuku. Karena itu aku hanya menggendikkan bahu saja menjawab Hellen.
“Nah, aku oke saja,” jawabku dengan santai. Setidaknya aku masih bisa menahan cuaca dingin pagi ini. Lagi pula aku hanya ingin mengajak Hellen jalan di sekitar untuk sebentar saja. Kurasa itu bukan masalah untukku. Setelahnya aku mulai melangkahkan kaki memimpin perjalanan kita.
Hellen langsung mengikuti langkahku dari samping. Kami sama-sama menikmati suasana pagi yang masih terasa sepi saat ini. Ini cukup menyegarkan kurasa. Melihat ekspresi Hellen yang terlihat lebih santai, aku tahu bahwa ini adalah pilihan yang tepat untuk mengajaknya keluar pagi ini. Aku merasa lega.
“Bagaimana sekolahmu Hellen?” tanyaku memulai pembicaraan kembali di antara kita. Hellen menoleh ke arahku dan tersenyum.
“Kau tidak tahu bagaimana paniknya anak-anak ketika mendengar kabar berita tentangmu dan monster itu Danny. Mereka tidak henti bertanya banyak hal kepadaku setelah seminggu kemudian aku akhirnya memulai pelajaran kembali.”
“Benarkah? Itu pasti menjadi berita hangat khekhekhe,” kekehku merespon cerita Hellen. Tanpa kuduga Hellen justru menghentikan langkah kakinya kemudian. Tentu saja aku otomatis ikut menghentikan langkah kaki seperti Hellen. Kulihat Hellen menatapku dengan lurus membuatku heran.
“Kau merasa itu lucu Danny?”
“Huh?”
“Aku hanya bisa diam mendengar semua pertanyaan mereka yang terus saja terdengar di sekitarku. Bagaimana aku bisa menceritakan kejadian ketika kau terluka dan menyelamatkanku saat itu? Hanya mengingatnya saja itu membuatku seperti berada dalam mimpi buruk, dan kau bisa tertawa?”
“Hellen ...”
Aku merasa tidak bisa mengatakan apa-apa untuk membalas ucapan Hellen. Sepertinya tanpa sadar aku telah membuat gadis itu terpuruk kembali. Hellen menundukkan kepalanya dan aku tahu dia tengah menangis dalam diam. Itu membuatku merasa bersalah. Tanpa bisa mengatakan apa-apa lagi aku hanya bisa beralih mendekati Hellen dan memeluk gadis itu dengan lembut. Berharap dengan begitu Hellen bisa merasa lebih tenang.
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu Hellen.”
“Tidak Danny. Ini salahku. Aku yang tidak bisa mengatur perasaanku sendiri. Aku menjadi gadis cengeng sekarang, maafkan aku.”
“Tidak. Kau adalah gadis yang kuat Hellen,” bantahku dengan tegas. Aku melepaskan pelukan itu dan menatap Hellen dengan lekat. Kuusap air mata yang sempat meluncur dari pelupuk mata gadis itu.
“Kau berusaha menahan semua kesedihan itu sendiri dan tetap bertahan sama seperti Mommyku. Kalian berdua adalah wanita yang hebat dan tegar. Terima kasih telah memikirkanku sejauh ini. Aku tahu, berkat perasaan kuat dari kalianlah aku masih bisa berdiri di hadapanmu saat ini Hellen. Jadi, tetaplah semangat dan kembalilah ceria seperti Hellen yang dulu, oke?!”
Hellen membalas tatapan mataku dan tersenyum kemudian. Aku merasa lega melihat senyum itu kembali. Kami melanjutkan perjalanan kembali.
“Apa yang terjadi saat kau di sana Danny? Bisakah kau ceritakan kepadaku semuanya?” pinta Hellen di sela langkah kami. Aku menoleh ke arah gadis itu dengan perasaan tidak yakin.
“Kau yakin kau ingin mendengar cerita itu sekarang?”
“Kenapa tidak?”
“Karena kau mungkin tidak akan percaya dengan apa yang akan kuceritakan ini,” balasku dengan yakin. Aku melempar pandang ke arah tempat duduk yang ada di dekat kami. “Kemarilah,” ajakku pada Hellen.
Aku membawa gadis itu ke tempat duduk dan beristirahat di sana. Aku menatap Hellen, mulai bersiap untuk menceritakan apa yang terjadi, setelah aku memastikan bahwa tidak ada orang di dekat sana yang bisa mendengar ceritaku ini.
“Hellen, aku telah mati.”
“Apa?!”