Bab 34

1629 Words
Aku tidak pernah merasa bahwa hidupku spesial. Sejak aku lahir hingga tumbuh dewasa seperti ini tidak ada apa pun yang membuatku exited atau setidaknya tertarik secara berlebihan. Tidak seperti anak-anak lainnya yang tertarik akan sesuatu. Seperti mereka begitu antusias dengan sepak bola, atau suatu pelajaran, atau bahkan meletakkan efford pada keinginan hati seperti yang dilakukan Hellen dalam melakukan dietnya dulu. Mereka terlihat begitu hidup dan bersinar di mataku.   Yang kulakukan hanya hidup normal seperti biasa dan hanya memerhatikan orang-orang di sekitarku melakukan sesuatu yang mereka sukai. Aku sangat menyukai film mengenai Superhero. Aku bahkan juga mengoleksi beberapa figure dan barang-barang mereka. Tapi apa yang bisa kulakukan untuk mendalami kesukaanku itu? Aku tidak bisa seperti mereka.   Aku bukanlah seorang pria yang kuat dan pintar berkelahi seperti yang lainnya. Bahkan tubuh kurusku terbilang cukup lemah sejak kecil. Aku terlahir prematur dan hampir tidak bisa diselamatkan. Namun Mom dan Daddyku berusaha sekuat mungkin menyemangatiku untuk tetap bertahan dan tinggal dalam hidup mereka. Aku bukan anak yang istimewa dan memiliki otak cerdas yang bisa dibanggakan.   Tapi aku bersyukur bahwa selama ini Mom dan Dad tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Mereka justru selalu mendukung dan memanjakanku. Aku merasa begitu dicintai dan beruntung telah lahir sebagai anak mereka. Namun apakah mereka pantas untuk memiliki seorang anak yang tidak berguna sepertiku?   Aku terkadang memikirkan hal itu begitu dalam. Ada rasa tidak pantas dalam hatiku untuk hidup nyaman dan menyandang nama Peter karena aku hanyalah seorang anak yang tidak berguna. Aku selalu menjaga pikiranku ini dari Mom dan Dad karena aku tidak ingin membuat mereka menjadi khawatir.   Aku selalu berusaha menjadi anak yang baik untuk mereka dan berusaha keras untuk menadapatkan nilai yang baik di sekolah. Namun tetap saja, semua usahaku itu menghasilkan sesuatu yang tidak sebesar harapanku.   Jika sudah begitu, maka sekali lagi aku akan mempertanyakan diri. Pantaskah aku menyandang nama Peter dan menjadi anak mereka? Mungkin ini terdengar seperti sesuatu yang berlebihan, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa dengan pemikiranku ini. Aku mengidolakan pahlawan super dengan harapan aku bisa seperti mereka.   Aku berharap bisa memiliki sebuah kekuatan yang mungkin bisa kugunakan untuk menunjukkan pada dunia, yang paling penting pada Mom dan Dad bahwa aku adalah anak yang bisa dibanggakan oleh mereka berdua. Aku berharap aku bisa memiliki kekuatan yang bisa membuatku terlihat menjadi anak yang istimewa di mata orang lain.   Aneh bukan? Mungkin terdengar seperti keinginan dari seorang yang memiliki mental pengecut. Tapi itu adalah keinginan yang sesungguhnya dari lubuk hatiku yang terdalam.   Malam itu, aku tidak menyangka bahwa itu akan menjadi malam terakhirku hidup di dunia. Hal yang paling kusesali adalah aku harus berakhir mengenaskan dan terlihat begitu menyedihkan di mata seorang gadis, yang tanpa sadar telah menjadi gadis yang selama ini berarti dalam hidupku. Berarti dalam bentuk sesuatu yang romantis. Hellen. Kenapa aku harus menyadari hal itu di saat-saat terakhirku?   Itu sangat membuatku kesal sekaligus frustasi. Aku bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pada gadis itu mengenai isi hatiku. Yang kulakukan hanya menangis dengan menyedihkan dan itu sungguh memalukan. Kenapa aku harus menunjukkan sisi lemahku pada gadis yang menarik perhatianku?! Sebagai seorang pria, itu adalah salah satu kekalahan terbesar yang memalukan bagiku.   Lalu hal kedua yang paling kusesali adalah, aku tahu bahwa aku tidak memiliki kesempatan lagi untuk menunjukkan pada Mom dan Dad bahwa aku memang layak menjadi anak mereka berdua. Dalam hal ini, aku tidak menyalahkan monster yang telah memakan tubuhku itu. Karena aku sendiri juga tidak merasa yakin bahwa aku bisa menunjukkan sesuatu yang luar biasa sebagai seorang anak, meski aku bisa hidup seribu tahun nanti.   Bukan berarti juga aku akan dengan senang hati menjadi santapan nikmat untuk monster itu. Aku tidak pernah menduga bahwa hidupku akan berakhir tragis seperti ini. Sudah kubilang bukan? Aku tidak memiliki kemampuan apa pun yang terlihat istimewa di mata orang. Itu juga salah satu alasanku yang ingin menjaga Hellen tetap aman dengan menyuruhnya pergi meninggalkan aku. Meski aku merasa begitu takut malam itu, tapi tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain hanya pasrah.   Hellen adalah gadis yang memiliki talenta terpendam. Anak itu bisa menjadi seorang gadis yang mempesona di kemudian hari nanti. Sangat disayangkan jika Hellen harus berakhir tragis sama sepertiku di tangan monster itu bukan?   Ditambah lagi, aku ingin melakukan sesuatu yang berguna layaknya seorang pahlawan walau hanya sekali di akhir hidupku. Walau tetap saja semua itu pada akhirnya hanya terlihat memalukan karena aku telah merusak momen itu dengan tangisanku. Aku sangat menyesali hal itu. Sungguh.   Dalam tubuh matiku yang kini kian membeku, aku terlihat begitu mengerikan sekaligus menyedihkan. Aku masih ingat bagaimana monster itu begitu brutal mencabik-cabik tubuhku, mengoyak dagingku, dan melemparku ke sana ke mari layaknya aku sebuah mainan yang tidak berarti. Hingga akhirnya monster itu puas menyakitiku, lalu membuangku begitu saja seperti sampah di tepi jurang.   Dengan tubuh yang telah hancur berantakan seperti ini aku terlempar dan berguling-guling ke bawah dengan menyedihkan. Tubuhku sudah mati. Berkali-kali aku menabrak bebatuan keras yang semakin membuat tubuhku hancur berantakan. Beberapa tulang rusukku juga terdengar patah karena kerasnya benturan yang kudapat.   Darahku berceceran dan menggenang di tempat tubuhku akhirnya berhenti bergerak. Aku sudah tidak jauh berbeda layaknya sebuah sampah yang tidak berguna. Secara perlahan tubuhku yang mati berubah membeku dan kaku. Aku bisa merasakan darahku perlahan terkuras habis karena keluar seperti air dalam botol yang tumpah. Aku hanya bisa terdiam di tempat menunggu rohku dibawa oleh malaikat kematian.   Namun hal itu ternyata tidak kunjung datang. Hal yang paling mengerikan dari semua peristiwa ini adalah, bagaimanapun brutalnya monster itu mencabik tubuhku, memakan dagingku, dan menghancurkan tulang-tulangku secara kasar, aku tetap tidak merasakan rasa sakit itu. Aku tetap ada. Aku bisa melihat segala hal yang diperbuat monster itu pada tubuhku meski semua indera perasa dan seluruh organku telah mati.   Aku seolah masih hidup dan bisa merekam dengan jelas lewat mataku yang terbuka lebar. Hal ini melebihi apa yang ada dalam pikiranku malam itu. Malam itu aku merasa takut jika aku harus melihat monster itu memakan tubuhku secara langsung hingga tidak bersisa, sampai akhirnya ajal menjemputku. Tapi semua pikiran itu ternyata bukan apa-apa jika dibanding kenyataan yang kualami saat ini.   Bahkan hingga hari menjelang sore kembali, aku seolah masih terjebak dalam tubuh mati ini. Aku hidup, tapi aku juga telah mati. Aku tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhku. Bahkan aku tidak bisa menghalangi hewan-hewan kecil yang mulai berkumpul di sekitarku dan membiarkan mereka memakan dagingku.   Aku tidak bisa berbicara sepatah kata pun. Aku bahkan tidak bernapas. Tubuhku benar-benar sudah mati. Tapi aku bisa merekam dengan jelas apa yang terjadi saat ini. Aku takut. Aku sungguh merasa takut pada diriku sendiri. Harus berapa lama aku akan menunggu sampai jiwaku pergi dari tubuh ini?   Ini dingin. Udara dingin dan salju membuat tubuhku semakin membeku. Apa kematian benar-benar harus seperti ini? Aku seolah terjebak dan tidak bisa keluar. Aku takut dan ingin muntah rasanya melihat tubuhku sendiri. Bau amis dari campuran darah dan dagingku sudah tercium dengan begitu kental, dan semakin membuat kepalaku merasa pening. Aku sudah mati, tapi aku merasa aku masih ingin mati. Bukankah ini sangat lucu?     Dave masih bergerak dengan hati-hati dan menjaga jarak dari monster itu. Dari tempatnya berdiri, Dave bisa melihat pergerakan monster itu yang semakin melemah. Darah dari luka tusukan yang diciptakan oleh Dave tidak henti mengalir membasahi tubuh makhluk itu dan tidak jarang jatuh menetes ke tanah. Hal itu semakin mempermudah Dave dalam melakukan misi barunya. Setidaknya dengan tetesan darah itu Dave bisa memperlambat langkah kakinya dan menjaga jarak di antara mereka agar lebih merasa aman.    Monster kecil itu masih setia melompat dari dahan satu ke dahan lainnya, seolah dia tahu akan berbahaya untuknya turun ke bawah dengan luka lebar seperti itu. Dave sendiri dengan cepat bersembunyi di balik pohon besar ketika makhluk itu tengah melihat ke sekitar. Hingga pada akhirnya langkah mereka sampai pada sebuah gua yang tidak pernah Dave lihat sebelumnya.   Sejujurnya Dave sendiri juga belum pernah memasuki hutan sampai sejauh ini. Karena itu dirinya merasa was-was dengan gua yang baru saja dimasuki monster kecil itu. Dave merasa yakin bahwa goa itu adalah sarang di mana para monster itu tinggal. Pria paruh baya itu menelan air ludahnya dengan kasar untuk ke sekian kali. Tinggal sedikit lagi dirinya mungkin akan melihat bagaimana rupa monster-monster itu yang sebenarnya.   Di lain sisi Dave juga harus menguatkan mentalnya sebelum dirinya akan mengambil keputusan yang paling berani dalam hidupnya. Karena mungkin saja setelah Dave memasuki gua itu, dirinya tidak akan bisa kembali hidup-hidup. Ini adalah keputusan yang begitu sulit. Dave mendadak teringat akan ucapan Laura yang menyuruhnya untuk tidak memaksakan diri.   Wanita itu berharap dirinya bisa kembali pulang dengan selamat. Tapi Dave juga memikirkan tentang Danny. Mungkin saja anaknya itu memang berada di dalam gua tersebut, sedang meminta pertolongan darinya. Dave tidak bisa mengabaikan keselamatan anak satu-satunya itu. Baik Danny dan Laura, mereka berdua sama-sama berharganya untuk Dave. Karena itu Dave menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian menghembuskannya dengan pelan.   Dave mengulang kembali tarikan napasnya itu untuk menetralkan detak jantungnya yang sedari tadi sibuk berdetak dengan begitu kencang. Ini adalah misi yang paling sulit yang pernah diterima Dave. Jika dirinya harus melawan para monster itu demi menyelamatkan anaknya, Danny, maka sebagai seorang ayah Dave tidak akan memilih mundur. Ini adalah keputusan bulatnya.   Dave memilih memasuki gua tersebut dan mencari tahu keberadaan Danny. Jika Danny ada di sana, maka dirinya harus bisa membawa anak itu pergi menuju pelukan Laura walau Dave harus mempertaruhkan nyawanya. Tapi jika Dave tidak menemukan keberadaan Danny di sana, maka Dave harus bisa pergi dri tempat itu dengan selamat. Lalu dengan terpaksa Dave akan memulai kembali perjalanan mencari Danny di titik terakhir dirinya berada.   Setelah menguatkan tekad itu, Dave akhirnya melangkah dengan hati-hati mendekati gua tersebut. Dave mengeratkan cengkraman tangannya pada pisau yang dibawanya. Pria itu bersiap menerima serangan apa pun yang datang. Di bibir gua, Dave mengintip terlebih dahulu isi di dalamnya, sebelum kemudian memasuki gua tersebut setelah memastikan keadaan di dalam sana telah aman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD