Hellen terdiam menatapku untuk sejenak setelah aku menolak permintaannya untuk tidak ikut terlibat jauh dalam masalah kami. Hembusan angin malam yang terasa dingin menerpa wajah kami dari depan. Aku bisa melihat helaian anakan rambut Hellen yang diikat kuncir kuda melambai dengan lembut.
Dari jarak duduk kami yang dekat, aku bisa melihat dengan jelas mata jernih Hellen yang juga membalas pandangan mataku dengan polosnya. Aku merasa waktu di antara kita telah berhenti saat ini. Aku tanpa sadar tenggelam dalam mata indah milik Hellen yang berwarna coklat terang. Kulit pale Hellen nampak merona merah merespon udara dingin malam ini. Itu terlihat sangat cantik, sekaligus rapuh dalam waktu yang bersamaan.
Hellen memang gadis yang cantik dan manis jika kau bisa melihatnya dengan lebih dekat dan lekat seperti saat ini. Aku tahu sejak lama, dan aku ikut bangga telah memiliki teman secantik Hellen. Jika saja, jika saja Hellen bukan teman dekatku, mungkin aku akan berani mengembangkan perasaan ini. Sejujurnya, sudah lama aku menyukai Hellen, namun kata ‘Teman’ di antara kita membuat aku merasa aku tidak pantas memiliki perasaan ini. Itu terlalu sulit untuk memiliki perasaan yang mungkin saja bisa merubah hubungan di antara kita.
Tidak apa. Bisa di dekatnya seperti ini saja sudah cukup untukku. Setidaknya aku bisa melihatnya dengan cara pandang yang berbeda, dan Hellen juga bisa melihatku sebagai pria yang spesial di antara yang lain karena kedekatan kami sejak kecil, meski tetap saja itu hanya memiliki istilah sekedar ‘teman’ semata.
Samar-samar aku bisa melihat uap tipis dari hembusan napas gadis itu. Aku merasa yakin gadis itu tengah merasa semakin dingin saat ini. Aku tersenyum tipis. Aku tahu Hellen mencoba bersikap biasa di depanku padahal yang sebenarnya gadis itu merasa semakin dingin karena hembusan angin tadi. Lama-lama aku merasa kasihan dengannya.
“Kalau begitu, kau harus katakan padaku kapan kau akan pergi menemui Professor nanti,” pinta Hellen kemudian. Aku mengernyit heran sekaligus lucu mendengar permintaan Hellen. Hellen terlihat begitu protective kepadaku saat ini.
“Khekhekhe kau sudah seperti kekasihku saja Hellen. Sejak kapan aku harus selalu meminta ijin darimu tiap kali aku pergi heh?” candaku.
“Ini karena aku menjadi walimu sekarang, Danny! Aku mengkhawatirkan dirimu, karena hanya aku yang tau kondisimu saat ini, dasar bodoh!” sungut Hellen. Cukup keras gadis itu memukul lenganku, dan menunjukkan betapa kesalnya gadis itu. Aku tersentak kaget karena pukulan itu, namun kemudian hanya bisa pasrah menerimanya saja.
“Ya ya ya, maafkan aku Mom,” ledekku yang langsung mendapat pelototan tajam dari Hellen. Buru-buru aku memperbaiki ucapanku.
“Kau ini sudah baik, cantik, peduli teman juga. Aku beruntung bisa mengenalmu putri Hellen!” pujiku. Seketika gadis itu melempar senyum manisnya dengan malu-malu mendengar pujian itu.
“Tentu saja kau harus bersyukur karena telah mengenalku,” gerutu Hellen yang melempar pandang ke arah lain setelahnya. Wajahnya menunjukkan gesture bangga yang justru terlihat seperti anak kecil. Aku semakin mengulum senyum melihat tingkahnya.
Hembusan angin dingin kembali menerpa wajah kami berdua. Hellen menyibak anakan rambutnya yang menghalangi wajah. Setelah itu Hellen menghembuskan napas besar yang semakin membuat uap napasnya terlihat jelas. Aku masih memerhatikan Hellen. Kupikir kita harus pulang sekarang sebelum Hellen semakin kedinginan saat ini.
“Kau mau pulang sekarang?” tawarku kemudian dengan lembut. Hellen menoleh kembali ke arahku dan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
“Tidak. Aku masih belum mendengar seluruh ceritamu hari ini. Kita tidak bisa pulang sebelum aku mendengar semuanya darimu,” jawab gadis itu. Kedua alisku langsung terangkat secara bersamaan. Aku merasa bingung karena aku tidak tahu apa yang ingin Hellen ketahui lagi. Aku sudah menceritakan semua percakapanku dengan professor Robert tadi, dan tidak ada yang kusembunyikan lagi.
“Kau ingin mendengar apa lagi Hellen? Aku sudah menceritakan semuanya padamu,” tanyaku balik.
Hellen mengangkat jari telunjuknya di hadapanku dan menggerakkannya ke kanan dan kiri. “Belum Danny. Kau belum menceritakan penyebab ponselmu hancur tadi.”
“Ah kau benar!” seruku yang kini jadi lebih antusias dari gadis itu. Aku sendiri juga ingin membicarakan masalah ini dengan Hellen, tapi aku telah lupa membahasnya.
“Hellen apa kau tahu? Aku juga tidak tahu, tapi ponsel itu entah bagaimana caranya bisa menjadi seperti itu!” Aku dengan sigap menghadapkan tubuhku sepenuhnya pada gadis itu dan mulai menceritakan kejadiannya dengan semangat. “Jadi aku sempat meremaskan masing-masing kedua tanganku, tapi aku tidak menyangka remasan tanganku bisa membuat ponsel itu menjadi hancur. Setelah aku melihatnya, aku mencoba untuk meremasnya kembali, tapi aku tidak bisa. Tidak ada perubahan apa pun pada ponsel itu.”
“Lalu kenapa bisa begitu? Ahchoo!” Hellen baru saja bersin. Gadis itu menggosok hidunnya yang kini terlihat merah. Aku kembali tersenyum simpul dibuatnya. Tanganku lalu bergerak secara otomatis menarik ikatan rambut Hellen dan membiarkan helaian rambut Hellen terurai begitu saja.
Hellen sendiri terlihat bingung dengan apa yang kulakukan saat ini pada rambutnya, namun aku tetap melakukan pekerjaanku. Aku masih sibuk mengatur helaian rambut panjang Hellen di sekitar lehernya agar menutupi area tersebut untuk menghalau serangan dingin dari luar, sembari membalas pertanyaan dari gadis itu.
“Aku juga tidak tahu. Mungkinkah itu salah satu efek yang ditimbulkan karena cairan dari professor Robert?” ucapku dengan nada bertanya. Hellen menatapku dengan raut wajah bingung. Gadis itu membiarkan aku menata rambutnya sedemikian rupa. Sepertinya Hellen mengerti maksud dari apa yang kulakukan pada rambutnya, yang sebenarnya hanya ingin membantu gadis itu agar tetap hangat.
Setelah itu aku menarik tudung jaket yang dikenakan Hellen untuk menutupi kepalanya. Tidak lupa aku menarik resleting jaket itu ke atas untuk menutupi bagian tubuh Hellen.
“Apa kau yakin?” tanya Hellen. Gadis itu masih tidak mengalihkan perhatiannya padaku. Bahkan sampai aku menjauhkan kedua tanganku lagi darinya.
“Entahlah.” Aku mengedikkan kedua bahuku. “Ingat, professor Robert mengatakan bahwa efek cairan itu bisa membuat perubahan pada tubuhku bukan?”
“Apa itu tidak berbahaya Danny?”
“Apanya yang berbahaya jika itu bisa membuat tubuhku menjadi lebih kuat? Aku menjadi seperti manusia super jika memang benar begitu adanya!” ujarku dengan senyuman lebar. Hellen nampak memikirkan sesuatu.
“Baiklah. Kalau begitu coba kita buktikan!”
“Apanya?” Aku tidak mengerti maksud dari ucapan Hellen itu. Aku hanya diam melihat gadis itu merogoh sakunya dan kemudian menunjukkan ponselnya di hadapanku.
“Ini,” ucap Hellen. “Coba lakukan hal yang sama dengan ponsel milikku ini, Danny.”
“Kau yakin?” Sekali lagi aku mengangkat kedua alisku dengan wajah sangsi akan permintaan Hellen itu.
“Yup. Apa salahnya? Kita bisa membeli yang baru nanti. Aku sudah menginginkan ponsel yang lain sejak sebulan yang lalu, tapi aku tidak memiliki alasan untuk mengganti ponsel itu. Dengan hancurnya ponsel ini, aku bisa memberi alasan yang tepat pada Daddy untuk membelikan yang baru hihihi,” balas Hellen dengan ringan. Aku merasa tidak bisa berkata apa-apa lagi dengan alasan Hellen saat ini. Hellen terlampau santai. Tapi tetap aku menerima ponsel miliknya itu.
“Baiklah. Jangan salahkan aku jika ponsel ini benar-benar hancur, mengerti?”
“Kau tenang saja,” balas Hellen dengan senyuman penuh arti. Aku kini beralih menatap ponsel milik Hellen. Terjadi jeda sejenak di antara kita berdua yang sama-sama memerhatikan ponsel tersebut.
“Tapi aku sudah katakan bahwa aku telah mencobanya tadi, dan tidak ada perubahan seperti sebelumnya,” celetukku dengan ragu. Hellen melempar pandang sejenak ke arahku.
“Kalau begitu coba saja lagi. Apa salahnya?”
“Hahh baiklah. Aku coba ya,” ujarku kemudian.
Aku memandang lekat ponsel itu. Wajahku terlihat serius saat ini, begitu juga dengan Hellen yang nampak begitu menanti dengan apa yang akan kulakukan saat ini. Setelahnya aku mulai meremas benda pipih itu. Begitu kuat dan sepenuh hati. Tanganku kembali bergetar saking kencangnya remasan yang aku buat. Hellen semakin mendekatkan wajahnya untuk melihat lebih detail proses perubahan itu. Tidak lama setelahnya aku kembali melemas.
“Hahhh lihat kan? Tidak ada apa pun yang berubah Hellen,” kesalku pada diri sendiri karena tidak bisa menemukan jawaban dari hancurnya ponselku itu. Hellen kembali memundurkan wajahnya dari tanganku.
“Kau yakin ponsel itu hancur karena ulahmu Danny?” Kini Hellen menatapku dengan tidak yakin, dan aku semakin kesal dibuatnya. Hellen meragukan ucapanku saat ini.
“Siapa lagi memangnya jika bukan karena aku? Ponsel itu baik-baik saja sebelum aku meremasnya tadi.”
“Hm begitu? Ini aneh sekali. Kenapa kau bisa menghancurkan ponsel itu dengan mudah ya?” Hellen kembali berpikir dengan kedua alis yang mengerut bingung. “Memang kenapa kau sampai meremas ponselmu tadi?”
Seketika aku membeku di tempat mendengar pertanyaan itu. Aku mencari alasan yang tepat untuk menjawabnya. Tidak mungkin bukan aku menjawab pertanyaan Hellen dengan alasan karena aku kesal mendengar perbincangan antara gadis itu dengan Jason?!
“Itu, itu ...” Aku berusaha mengulur waktu karena masih mencari alasan yang tepat.
“Kenapa?” Hellen nampak penasaran akan jawabanku.
“Uh sepertinya karena aku—“
BRUK! KROMPYANG! Suara berisik itu seketika mengagetkan aku dan Hellen. Kami berdua langsung menoleh ke arah sumber suara di mana suara itu berasal dari lorong bangunan yang cukup sempit. Aku memicingkan mata untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi karena area lorong itu terlihat begitu gelap.
Dari tempat kami berdua, aku bisa melihat bayangan beberapa drum sampah yang jatuh berserakan di dalam lorong. Aku berdiri kemudian, begitu juga dengan Hellen yang juga ikut memerhatikan tempat itu.
“Danny lihat! Ada bayangan seseorang yang terlihat di sana!” ucap Hellen sembari menunjuk tempat itu. Aku juga bisa menangkap bayangan orang tersebut, tapi di dalam kegelapan itu cukup sulit untuk melihat dengan jelas siapa gerangan.
“Ayo Danny!” seru Hellen kemudian yang langsung melangkah lebih dulu menghampiri tempat itu.
“Apa?! Hei!” seruku yang langsung mencoba menghentikan Hellen. Aku terkejut melihat Hellen yang tiba-tiba langsung berlari meninggalkanku sendiri. Gadis itu seakan tidak memiliki rasa takut dan seolah tidak pernah memikirkan bahaya yang mungkin akan mengancam dirinya jika bertindak gegabah seperti itu. Seketika aku ikut berlari mengejar Hellen yang masih tidak jauh dariku. Aku segera menarik tangannya sebelum gadis itu semakin mendekat ke tempat gelap itu.
“Hellen!” seruku. Langkah kaki Hellen terhenti karena tarikan tanganku pada pergelangan tangannya. Hellen menoleh ke arahku. “Tunggu, jangan gegabah dulu! Bagaimana jika itu sesuatu yang berbahaya?”
“Apa? Kau takut Danny?” ledek Hellen dengan senyuman jahilnya. Aku terdiam untuk beberapa saat mendengar sindiran itu.
“Bukan itu! Jangan bertindak gegabah dalam situasi seperti ini Hellen. Kau ingat kan kasus Daddy-ku yang belum terpecahkan? Sekarang sedang dalam situasi yang berbahaya. Bagaimana jika dia orang yang jahat?” bujukku menjelaskan dengan pelan agar gadis itu mengerti situasi saat ini.
“Danny, kau berlebihan. Aku hanya ingin melihat lebih jelas di sana.” Hellen menunjuk ke arah tempat yang ingin ditujunya itu, dan langsung terpaku di tempat. “Oh?!”
Aku ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Hellen tadi. Mataku menangkap seseorang berlari kecil dan tertatih keluar dari ujung lorong yang berbeda. Yang membuat kami terkejut adalah bayangan orang tersebut terlihat begitu kurus, dengan cara berjalan yang terhuyung tidak jelas seperti akan jatuh.
Sesekali orang itu akan menahan tubuhnya yang hampir jatuh pada tembok. Dengan perlahan orang itu membelok arah ke arah kanan. Aku dan Hellen saling berpandangan seketika. Sepertinya pikiran kami sama. Kami merasa orang itu membutuhkan bantuan.
“Ayo Danny!” putus Hellen kemudian. Gadis itu sekali lagi berlari meninggalkan diriku lebih dulu menuju orang tersebut. Aku yang sejujurnya masih ragu, akhirnya terpaksa mengikuti Hellen dengan pasrah karena gadis itu sudah pergi lebih dulu. Aku tidak mungkin meninggalkan Hellen sendiri. Mataku menangkap beberapa drum berisi bungkus sampah yang sudah jatuh berserakan di sana, ketika aku dan Hellen melewati tempat itu.
Kami masih melaju terus menuju ujung lorong yang cukup panjang. Hingga akhirnya berhasil melewati lorong tersebut, aku dan Hellen berhenti di tempat dan memandang ke sekitar. Tempat itu seperti bangunan kosong yang sepi dan cukup luas. Hanya ada satu pencahayaan lampu di sana.
Di depan tempat itu terdapat pagar kawat yang cukup tinggi sebagai pembatas antara bangunan dan lahan kosong yang cukup lebat akan semak belukar. Untuk beberapa saat kami terdiam di tempat. Mata kami saling mengawasi satu sama lain, ke sana dan ke sini dengan wajah bingung. Pasalnya tempat itu hanya tempat kosong. Tidak ada jejak apa pun dari orang yang sempat kami lihat memasuki area sini.
Kami berdua sama-sama merasa heran. Bukankah orang tadi mengarah ke arah kanan? Tapi di arah kanan hanya terdapat dinding dengan tinggi sekitar 4 meter dan dilanjut dengan atasnya yang berpagar kawat. Tidak mungkin orang tadi bisa memanjat dinding tersebut dengan mudah bukan? Terlebih ketika kondisi tubuh yang nampak terhuyung tidak jelas seperti itu.
Aku pribadi menjadi semakin aneh. Perasaanku mendadak semakin tidak beres dengan orang yang kami lihat tadi. Instingku mengatakan tempat ini bukan tempat yang harus kita datangi. Secara perlahan aku melangkah mundur mendekati Hellen dengan kedua mataku yang masih dengan intens mengawasi area sekitar tempat itu.
“Hellen, lebih baik kita cepat pergi dari tempat ini,” ujarku dengan pelan ketika sisi tubuhku sudah menyentuh sisi tubuh Hellen. Sepertinya Hellen sendiri juga berpikir sama sepertiku. Gadis itu nampak begitu heran dan bingung akan tempat tersebut.
Hellen menganggukkan kepala menjawabku. Gadis itu membalikkan tubuhnya hendak menuju lorong yang telah kami lewati tadi. Lalu aku sebagai seorang pria mengikutinya dari belakang sembari tetap mengawasi keadaan di sekitar. Beberapa langkah telah kami lewati dan aku merasa masih aman.
“Danny,” panggil Hellen yang menarik atensiku. “Bukankah ini sangat aneh? Di mana orang yang kita lihat tadi ya?” Hellen kembali menoleh ke arahku yang berada di belakangnya. Seketika aku melihat kedua mata Hellen membola begitu lebar ketika melihatku.
Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba aku merasakan tubuhku memberat dan langkahku berhenti di tempat. Aku sedikit mundur ke belakang karena tertarik akan beban berat di belakang tubuhku, dan mataku langsung menangkap tetesan darah yang sudah jatuh di tempat aku berdiri tadi, menetes deras dari lenganku. Lagi-lagi lengan kanan.
Sekali lagi waktu seolah berjalan begitu lambat dalam duniaku. Aku seolah bisa melihat tiap detik yang terlewati dengan jelas bagaimana tubuhku terhuyung secara perlahan ke belakang, dan aku masih berusaha menahan beban berat pada punggung kurusku.
Satu tetes, dua tetes, tiga tetes darah kembali meluncur jatuh ke bawah setelah mengalir dan terlepas dari kulit jemariku. Di samping itu aku juga menangkap sesuatu yang mengganjal tepat di sisi wajahku. Dengan sedikit linglung aku memutar kepala hanya untuk melihat seseorang berwajah aneh dan penuh bulu sudah menancapkan taring tajamnya pada bahuku.
Kedua mata kami bertemu, membuatku menahan napas seketika. Orang asing ini sudah melingkarkan kedua tangan dan kakinya ke area tubuhku dan mengunci pergerakanku. Hellen sendiri sudah menunjukkan wajah seakan ingin menangis ketika melihat apa yang terjadi padaku saat ini.
“DANNY!” teriak Hellen dengan begitu kencang memanggil namaku. Teriakan Hellen langsung menyadarkan pikiranku.