Untuk beberapa saat aku terbaring diam di atas tanah seperti sebelumnya. Merasakan butiran hujan salju yang jatuh membasahi kulit tubuhku yang kembali utuh juga dengan bajuku yang terlihat compang-camping bercampur dengan darah merah milikku sendiri. Aku seperti telah hidup kembali dalam wadah yang baru.
Meski aku tahu bahwa aku telah bisa bergerak kembali, namun aku lebih memilih untuk terbaring lebih lama di tempat itu. Aku masih merasa begitu lemas. Aku seakan tidak bisa menopang tubuhku sendiri untuk bergerak dan berdiri. Mungkin lebih tepatnya adalah aku masih belum terbiasa dengan tubuh baru ini.
Atau mungkin itu hanya karena aku merasa takut untuk menghadapi kenyataan yang ada mengenai tubuh baru ini. Aku masih belum mengerti siapa aku sepenuhnya saat ini. Dalam pikiranku, istilah Zombie tiada henti menari-nari di sana hingga membuatku pening sendiri. Aku bukan seorang zombie kan? Aku bukan mayat hidup kan?
Zombie tidak akan mendapatkan tubuh yang baru. Zombie hanya seperti mayat hidup berjalan. Tapi aku sudah mati. Dan lalu aku hidup kembali. Ini bukan semacam mati suri. Mati suri hanya nyawa yang kembali. Sedangkan aku? Seluruh tubuhku yang telah hancur ikut kembali bagai sebuah sihir atau bahkan sebuah keajaiban.
Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa, tapi aku merasa begitu lemas dan lelah untuk berpikir lebih jauh. Aku hanya membiarkan tubuh baru ini diselimuti butiran salju untuk beberapa saat. Membiarkan dinginnya udara yang bercampur salju ikut mendinginkan kepala sekaligus otakku. Lalu kemudian aku teringat akan Hellen. Ini sudah berlalu terhitung satu hari sejak hari itu.
Suasana malam kembali menyapa, dan aku masih terbaring diam di tempat ini. Bagaimana dengan keadaan di rumahku? Bagaimana dengan Mom dan Dad? Apa mereka sudah mengetahui kondisiku ini? Apa mereka berusaha mencariku? Atau mungkin mereka sudah menganggapku telah tiada? Aku sendiri juga bingung akan diriku.
Apa aku dianggap masih hidup atau sudah mati. Bagaimanapun juga, aku yakin mereka semua pasti akan tengah bersedih atas kematianku. Haruskah aku kembali ke rumah? Sedari tadi aku sibuk berpikir dengan tiap perubahan apa yang terjadi pada tubuhku. Semua itu berawal dari cairan penelitian yang tanpa sengaja masuk ke dalam tubuhku di rumah professor Robert.
Ya, sejak saat itu, tubuhku secara perlahan mengalami perubahan aneh. Mungkinkah semua kejadian ini juga berasal dari cairan milik professor? Jika iya, bukankah itu sungguh luar biasa? Professor telah membuat cairan yang bisa menghidupkan kembali orang mati. Dan sepertinya, aku perlu pergi menemui professor untuk langkah awal dan mencari tahu lebih lanjut apa aku yang sekarang ini.
Dengan pemikiran seperti itu, aku mulai menggerakkan tubuh kembali. Masih di tiap gerakan yang kulakukan terdengar suara retakan tulang-tulang dalam tubuhku. Sepertinya itu masih belum sembuh total. Bahkan gerakan tubuhku masih terlihat patah-patah. Ini terlihat seperti aku benar-benar melangkah layaknya seorang zombie.
Tidak jarang aku akan jatuh terhuyung ke sana dan ke mari karena aku tidak bisa melangkah dengan tegak. Dengan cukup susah payah aku berusaha mendaki ke atas permukaan kembali. Tidak kusangka ternyata aku cukup jauh jatuh di sekitar jurang sehingga membuatku kesulitan, terlebih dengan kondisi tubuh yang tidak wajar seperti ini.
Bajuku bahkan sudah tidak bisa dibilang baju lagi karena rusak di sana sini. Yang paling penting adalah baju ini sudah basah akan darah segar dan hal itu jelas akan mengundang pertanyaan besar dari siapa pun yang akan melihatnya nanti. Apa yang harus kulakukan? Aku sibuk bertanya-tanya dalam hati. Sementara kedua tangan dan kaki masih berusaha memanjat ke atas permukaan kembali.
Meski membutuhkan waktu yang cukup lama, aku akhirnya berhasil tiba di permukaan. Suasana hutan terasa begitu mengerikan karena lebih gelap di malam hari. Aku tidak tahu jam berapa saat ini dan aku juga tidak waktu ke mana aku harus melangkah. Aku menelan ludah dengan pelan.
Setelah mengalami kematian karena dimangsa seorang monster, dan sekarang aku harus bertahan hidup di tengah hutan entah sampai kapan. Ini benar-benar membuatku merasa lucu. Aku melihat ke sekitar hutan dengan perasaan dan kondisi masih lemas.
Tidak ada petunjuk apa pun di mana aku harus pergi saat ini. Akhirnya aku memilih untuk melangkah lurus ke depan. Entah apa yang akan menantiku di ujung sana, aku harap aku bisa menemukan sesuatu yang bisa membantuku keluar dari hutan ini.
“Bibi Laura,” panggil Hellen dengan pelan. Gadis itu telah berdiri di sebelah sofa, tempat Laura duduk dengan tenang saat ini. mendengar panggilan gadis itu membuat Laura mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali untuk menyadarkan diri dari lamunannya. Wanita itu lalu menoleh ke arah Hellen, dan tersenyum tipis.
“Ya, Hellen. Kau butuh sesuatu?” tanya Laura dengan lembut. Hellen memang meminta ijin untuk menemaninya malam ini sejak kepergian Dave siang tadi. Hellen juga mengkhawatirkan kondisi Laura dan ingin menunggu kepulangan paman Dave dari pencariannya itu. Laura sendiri tidak masalah dengan hal itu. Karena itu, di sinilah Hellen berada saat ini. Hellen berdiri menatap Laura yang sedari tadi sibuk melamun di atas sofa sendirian. Wanita itu masih setia menunggu suami dan anaknya pulang ke rumah.
“Tidak Bibi. Tapi aku baru saja membuat minuman hangat untuk Bibi,” balas gadis itu. Laura melirik ke arah meja di depannya yang sudah terdapat dua cangkir teh hangat di sana. Wanita itu tertegun menyadari bahwa dirinya terlalu larut dalam lamunan panjangnya hingga tidak menyadari bahwa Hellen telah selesai membuatkannya minuman. Ini membuatnya terdiam untuk ke sekian kali.
“Ya, terima kasih Hellen,” balas Laura dengan tulus. Hellen kemudian mengambil tempat duduk di sofa tunggal dan memerhatikan Laura yang begitu lesu dan sendu dengan lekat.
“Bibi Laura tidak apa-apa? Bibi terlihat begitu pucat dan lelah. Cobalah untuk beristirahat. Biar aku yang menjaga pintunya untuk kepulangan mereka,” saran Hellen dengan sepenuh hati. Itu juga salah satu alasan Hellen meminta ijin menginap di rumah keluarga Peter.
Hellen juga merasa tidak tenang jika harus menunggu informasi kedatangan Dave dan Danny. Meski rumah mereka berdekatan, namun Hellen tetap ingin menjadi yang pertama melihat kedatangan mereka berdua, sama seperti Laura. Mendengar saran dari Hellen, Laura hanya melempar senyum kecil.
“Tidak apa-apa Hellen. Aku akan tetap menunggu di sini. Aku ingin menunggu dan membuka sendiri pintu masuk untuk anak dan suamiku,” balas Laura. Setelah mendengar jawaban itu, Hellen hanya menganggukkan kepala dan ikut terdiam di tempat. gadis itu kemduian memilih meraih cangkir tehnya dan menyesapnya sedikit demi sedikit. Minuman hangat cukup membuat tubuhnya menjadi lebih baik.
Laura sendiri kembali terdiam dalam pikirannya. Wanita itu menyadari bahwa belum sehari Dave pergi, tapi dirinya sudah merasa begitu lama menunggu kepulangan pria itu. Sejujurnya Laura merasa telah menyesali keputusannya itu yang memaksa Dave untuk melanjutkan pencarian anak mereka, Danny.
Itu adalah permintaan yang sangat berbahaya bukan? Permintaan yang belum tentu juga berbuah hasil yang manis melihat kondisi terakhir anak mereka yang sudah begitu parah. Bagaimana pun juga Danny pasti sudah pergi meninggalkan mereka berdua. Dan Dave kini dengan susah payah memilih terjun menuju medan berbahaya hanya karena keegoisan hati mereka sebagai seorang orang tua.
Laura sedari tadi memikirkan keputusan Dave yang memilih melanjutkan pencarian sendiri di hutan. Itu sungguh berbahaya dan Laura hanya mendukungnya. Bagaimana bisa dirinya berpikir bodoh seperti itu. Bagaimana jika terjadi sesuatu juga dengan Dave? Laura merasa takut memikirkan hal itu.
Beberapa waktu telah berlalu di antara mereka berdua. Hingga akhirnya Laura memilih untuk mengucapkan sesuatu pada Hellen. “Hellen, apa menurutmu anakku masih hidup?”
Pertanyaan itu seketika membuat Hellen terkejut, lalu kemudian menundukkan kepala. “Aku tidak tahu, Bibi.” Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Hellen.
Laura tersenyum memaklumi jawaban gadis itu. yang melihat kondisi Danny terakhir adalah Hellen. Tentu gadis itu akan bisa melihat kemungkinan terburuk yang terjadi pada Danny dibanding dirinya yang hanya mengandalkan sebuah harapan dari seorang ibu. Namun harapan itu kini sepertinya telah menjadi bumerang untuk Laura sendiri. bagaimana jika harapan itu justru membuat dirinya kehilangan orang yang dicintainya yang lain. laura memejamkan kedua matanya dengan rapat. Setetep air mata berhasil lolos dari pelupuk matanya. Hal itu membuat Hellen yang menangkap air mata itu menjadi terkejut.
“Bibi Laura, kenapa?” tanya Hellen dengan wajah cemas. Laura kembali membuka kedua matanya dan menatap lurus ke depan.
“Hellen, apa keputusanku untuk mengijinkan suamiku pergi adalah hal yang salah?” tanya Laura yang lebih seperti bertanya pada diri sendiri. hellen merasa bingung dengan pertanyaan itu.
“Apa?”
“Aku terlalu egois untuk meninggikan harapanku sendiri Hellen. Hingga aku membiarkan Dave pergi menuju medan berbahaya hanya untuk mencari keberadaan anak kami. Padahal semua sudah jelas jawaban ada di depan mata. Danny mungkin telah tiada. Dan apa yang telah kulakukan saat ini? Aku mengirim Dave pergi ke tempat berbahaya seperti itu. Apa yang harus kulakukan Hellen? Aku merasa begitu takut jika aku harus kehilangan orang yang kucintai lagi,” ucap Laura panjang lebar dengan mengeluarkan semua pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya sedari tadi.
Air mata wanita itu bahkan telah jatuh tidak tertahan lagi. Laura merasa begitu lemah tidak berdaya dalam menghadapi kehilangan ini. Dan Hellen yang melihat betapa lemahnya kondisi mental dan fisik Laura saat ini menjadi ikut khawatir.
“Bibi Laura, kenapa kau berpikir seperti itu? Jangan berpikir negatif Bibi. Itu bisa membuatmu sakit nanti,” bujuk Hellen mencoba membantu menguatkan Laura kembali.