Bab 10

1454 Words
Aku menyalakan film yang baru saja kutawarkan pada Hellen. Sebuah film bergenre Fantasy dengan campuran bumbu romance di dalamnya. Judulnya LEON diangkat dari n****+ karya penulis Daisy. Film ini bercerita mengenai kehidupan seorang manusia harimau di dalam hutan Terlarang yang hidup dengan seorang gadis kecil, gadis yang sebenarnya telah dijadikan sebagai cadangan makanan baginya.   Hari demi hari ikatan di antara mereka menjadi semakin kuat sehingga membuat manusia harimau itu semakin menyayangi gadis kecil itu. Cerita ini cukup menarik. Aku tahu Hellen akan menyukai film ini. Hellen sendiri memang penggemar cerita fantasi romance sejak dulu, karena itu Hellen langsung menyetujui pilihanku ini.   Sekarang gadis itu tengah duduk manis di atas sofa sambil menungguku menyiapkan film tersebut. Di depan Hellen terdapat meja yang berisi berbagai macam snack yang juga telah kusiapkan untuk menemani acara menonton kami. Hellen kemudian bergerak melangkah mendekati ruang makan dan membuka lemari pendingin. Aku hanya membiarkan saja Hellen berlaku semaunya di dalam rumahku karena itu sudah biasa.   Gadis itu nampak termenung beberapa saat di depan pintu kulkas yang terbuka, menampilkan beberapa macam isi di dalamnya. Sepertinya gadis itu cukup sulit memilih apa yang akan diambilnya karena kebetulan kemaren aku sempat mengisi ulang snack dan minuman di sana. Hingga kemudian Hellen memutuskan untuk meraih jus jeruk dan dengan nikmat langsung menenggak jus itu.   Setelahnya Hellen menutup kembali kulkas di sana, lalu berjalan menghampiriku dengan membawa sisa jus jeruk dalam botolnya. Hellen mengambil bungkus kaset dari film yang tengah kupersiapkan dan mengambil beberapa sisanya yang lain. Hellen membolak-balik sampul bungkus itu dan memerhatikan tulisan yang tertata di sana.   “Oh apa ini cerita berseri?” tanya Hellen sembari memerhatikan beberapa bungkus cd itu. Aku menoleh ke arah bungkus kaset yang dipegangnya untuk sejenak.   “Hm, bukan berseri. Mungkin bisa disebut semacam spin off, tapi cerita mereka masih saling berhubungan. Cerita yang pertama berjudul My Mythical Mate,” jelasku dengan singkat.   “Lalu kenapa kita tidak melihat yang pertama dulu?” Hellen menatap ke arahku dengan raut wajah heran penuh tanya.   “Ah cerita itu masih belum tiba. Aku membelinya secara terpisah karena cukup sulit untuk mendapatkan semua kisahnya. Tapi kau tenang saja. Yang satu ini tidak terfokus pada cerita utama. Dia memiliki kisah sendiri yang aku yakin kau tidak akan menyesal untuk mengikutinya,” jelasku dengan nada bangga, walau sebenarnya aku juga belum menonton film yang satu ini.   Aku hanya membaca review semua penontonnya saja, dan banyak dari mereka yang mengatakan film ini sangat bagus untuk ditonton. Hellen terlihat menganggukkan kepala beberapa kali sembari membaca sinopsis yang tertulis dalam sampul kaset.   “Memang ada berapa judul dari film ini?” tanya Hellen lagi. Aku mendongak ke atas sembari mengingat-ingat kembali semua judul yang kuketahui.   “Setauku di cerita utama ada 7 karakter. Sepertinya masing-masing karakter memiliki kisah sendiri. Karena itu seharusnya ada 7 judul cerita. Tapi untuk saat ini masih terdapat 4 judul. Juga ada beberapa cerita pendamping yang layak untuk ditonton. Apa kau suka genre horor?” tawarku kemudian.   “Horor?” beo Hellen. Aku menyibak beberapa kumpulan kaset film koleksiku untuk mencari film apa yang kumaksud itu. Hellen juga ikut memerhatikan apa yang tengah kulakukan saat ini, hingga kemudian aku berhasil menemukan judul film yang kucari.   “Nah, ini dia! Judulnya Imelda, Si Kecil Merah Penunggu Desa.” Aku menunjukkan kaset itu pada Hellen yang langsung diterima gadis itu. Hellen kembali memerhatikan sampul kasetnya yang menunjukkan gambar seorang anak kecil. “Dia tidak sehoror yang kau bayangkan karena genrenya masih bercampur dengan dunia fantasy. Film ini masih berkisar dengan dunia hutan Terlarang, sama seperti film yang pertama. Kau mau menontonnya nanti?” tawarku.   “Boleh,” jawab Hellen dengan senyuman kecil. Aku mengangguk puas.   “Baiklah. Sekarang ayo kita ambil posisi. Filmnya akan dimulai,” ujarku setelahnya. Aku dan Hellen kembali ke tempat masing-masing seiring film mulai dinyalakan. Hellen dengan santai duduk di atas sofa dan melipat kedua kakinya. Gadis itu juga meraih cemilan di atas meja dan memeluknya. Aku yakin cemilan itu akan habis di tangan Hellen setelah ini.   Aku sendiri meraih jus jeruk milik Hellen yang sudah diletakkan di atas meja, dan menenggaknya dengan santai. Kami sudah terbiasa berbagi makanan atau pun minuman sejak kecil, dan itu bukan masalah besar untuk kami. Suasana mulai terasa sunyi karena masing-masing dari kami mulai fokus menonton film tersebut.   Sementara itu, di kelas yang seharusnya Hellen dan Danny masuki tengah melangsungkan pelajaran harian seperti biasa. Para murid nampak begitu fokus mendengarkan penjelasan dari guru yang mengajar di depan kelas. Semua begitu fokus, kecuali satu orang. Jason, pria tampan itu sibuk sendiri memerhatikan kursi duduk milik Hellen dan Danny yang sejak pagi masih kosong.    Jason tahu bahwa kedua orang itu adalah teman dekat dan saling tinggal bersebelahan. Hal itu membuat Jason yakin bahwa kedua anak itu juga telah merencanakan libur kelas hari ini bersama. Sejak tadi Jason tidak bisa fokus pada pelajaran yang diterangkan oleh guru mereka karena dirinya sibuk untuk mengatur emosinya sendiri yang memikirkan keabsenan dua orang itu.   Jason merasa tidak menyukai Danny sejak awal karena Danny selalu berada di dekat Hellen dan selalu mencuri perhatian Hellen darinya. Perlu diketahui bahwa Jason sebenarnya menyukai gadis itu. Jason tidak terima jika Hellen selalu berada di pihak Danny apa lagi kini mereka berdua absen secara bersamaan, seakan tengah menunjukkan pada dunia bahwa mereka tengah bersama. Kedua tangan Jason mengepal dengan kuat hingga buku-buku jemarinya nampak memutih, meluapkan segala emosi yang tengah dipendamnya saat ini.     Krauk! Krauk krauk! Nyam nyam nyam! Suara kunyahan gigi Hellen semakin meramaikan suasana yang mulai menegang dalam kisah film tersebut. Aku dan Hellen sama-sama fokus menatap layar tv hingga tanpa sadar bibir kami sama-sama melongo menantikan adegan selanjutnya.   “Yeahhh!” Kami sama-sama mendesah lemas ketika adegan tidak sesuai harapan kami.   “Apa yang kau lakukan?! Kau membuat gadis itu terluka sekarang! Dasar pria bodoh!” oceh Hellen dengan raut wajah gemas sekaligus kesal pada tokoh cerita itu. Aku setuju dengan Hellen. Tokoh pria dalam cerita ini hanya menang gelar sebagai yang terkuat, tapi nyatanya dia tetap membiarkan gadis kecil itu terluka. Lalu untuk apa semua kekuatan yang dia punya sekarang jika semua itu tidak ada gunanya untuk menolong orang yang dia sayang. Menyedihkan sekali!   Film masih berputar setengah bagian dan aku sudah menjadi dongkol menonton cerita itu. Entah mau dibawa ke mana akhir ceritanya, aku sudah menjadi malas. Aku tidak suka pria lemah seperti itu. Pria lemah hanya mengingatkanku pada diriku sendiri. Aku lebih suka tokoh yang kuat, pemberani, dan seorang pahlawan untuk banyak orang. Berbanding terbalik dengan diriku, Hellen nampaknya masih tertarik untuk menonton film yang bagiku lebih terlihat seperti drama picisan ini.   Gadis itu masih menonton dengan seksama dan penuh antusias adegan demi adegan yang tersaji di dalamnya walau tidak jarang diselingi dengan kata umpatan. Dasar cewek. Di mataku satu-satunya hal yang bagus dalam cerita itu mungkin setting tempat dan banyak pria berwajah tampan yang muncul di sana. Tema cerita cukup bagus, sejujurnya alurnya juga lumayan, hanya saja tokoh pria yang bertingkah lemah seperti itu sungguh menggangguku.   Aku menyandarkan punggungku kemudian, merasa sudah tidak seantusias tadi untuk melihat film itu. Aku hanya akan menemani Hellen memuaskan rasa penasarannya pada film itu. Kini tanganku kembali aktif mencomot snack di atas meja dan mengunyahnya.   Krauk, krauk, krauk! Kunyah, kunyah, kunyah terus tiada henti sembari menatap dengan wajah datar adegan tiap adegan yang tersaji di depan layar. Hingga aku tidak menyangka akhirnya Hellen merasa terganggu sendiri. Hellen dengan kesal memukul kecil lengan kiriku yang bebas, dan berhasil membuatku terkejut.   “Ugh Danny! Kau bisa diam tidak?! Aku tidak bisa konsentrasi menonton filmnya, dasar!” gerutu Hellen dengan wajah cemberut. Aku menatap heran gadis itu.   “Bukannya yang tdak bisa diam sedari tadi itu adalah kau Hellen?! Coba lihat, berapa banyak makanan yang sudah habis di tanganmu,” balasku sembari menunjuk semua bungkus makanan yang berserakan di atas meja itu.   “Tapi saat ini adegannya makin bagus Danny. Aku bahkan hampir menitikkan air mata kalau kau tidak menggangguku dengan suara kunyahanmu itu. Kau membuatku kehilangan fokus!”   “Hei, tapi--”   “Sudah diam!”   “Yes ma’am,” jawabku pada akhirnya. Kalau sudah begini lebih baik aku mengalah. Aku tidak akan menang jika melawan Hellen. Akhirnya aku memilih meletakkan kembali cemilanku di atas meja, dan beralih meraih minumanku. Dengan berusaha semaksimal mungkin aku tidak menimbulkan suara di samping Hellen.   Aku menghela napas dengan bosan. Kembali terjadi kesunyian di antara kami berdua, menyisakan suara dari film yang tengah kami tonton saat ini. Kesunyian ini mendadak mengingatkanku kembali pada kejadian semalam di mana aku seperti melihat bayangan yang muncul di ujung lorong antara rumah kami. Seketika aku menegakkan tubuh kembali dan menghadap ke arah hellen dengan wajah lebih antusias.   “Hellen!” seruku kemudian memanggil Hellen yang tengah fokus.   “Apa lagi Danny?!” keluh gadis itu yang merasa kembali terganggu karena ulahku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD