Luka Masa Lalu

1386 Words
Dimas bangkit dan melangkah meninggalkan mereka berdua yang masih terpaku dengan kata-katanya. "Dimas!" pekik Hilda tersadar dan langsung berlari menghampiri anak sulungnya. Menggamit tangan itu sedikit agak kasar. "Bukankah sudah Mama katakan? Tidak ada yang bisa keluar dari rumah ini! Tidak boleh," tegasnya. "Dan, sudah sering aku katakan bukan? Dengan izin atau tanpa izin dari Mama pun, aku akan tetap keluar dari rumah ini," tegasnya. "Mas, kenapa sih harus terus-menerus membahas hal yang sama? Kenapa tidak kita singkirkan saja hal tersebut? Apa susah dan salah kalau kita hidup bersama disini?" cecar Lena menghampiri keduanya. "Tidak susah dan tidak salah. Tapi, aku ingin ada suasana baru, suasana yang baik untuk hati dan pikiran aku dan juga istriku." "Apa ini gara-gara Mbak Nita lagi, iya? Kali ini, apa lagi yang sudah diadukan olehnya?" tanya Lena dengan tatapan sendu. Lena sengaja memanggil nama Nita dengan sebutan Mbak, semua itu semata-mata dilakukan agar Masnya tidak curiga dan mengira bahwa memang mereka sudah berbaikan sejak kejadian kemarin. Jadi, tidak akan ada lagi nantinya ancaman untuk pergi dari rumah. Lena dan Hilda pun sedang memikirkan, bagaimana caranya mengancam Nita dengan jalur yang lain. Keduanya sedang berpikir juga untuk menghancurkan semua bukti yang ada di ponsel Nita. "Apa memang tidak bisa Nita bersatu dengan kami, Dimas? Mama dan Lena sudah berusaha untuk berubah menjadi lebih baik loh. Kenapa sih, kok kalian tidak pernah melihat perubahan kami? Memangnya, kesalahan kami cukup banyak, ya?" Hilda kembali angkat suara. Kata-katanya dibuat selembut mungkin, dengan bergetar dan sendu. "Mama hanya ingin, kalian semua berkumpul di rumah ini. Sudah tidak ada yang lain. Mama, cuman tinggal punya kamu dan Lena. Apa salah kalau ingin hari tua mama bersama anak-anak?" "Sebenarnya, tidak ada yang salah, Ma. Apabila sejak awal kalian bersikap baik, manis dan tidak mencari masalah terus. Tapi, untuk sekarang kayaknya sudah sulit mendamaikan kalian," tegas Dimas. "Luka yang mendera hati Nita, pasti cukup sangat dalam. Aku tidak ingin nantinya luka itu akan semakin melebar, Ma." "Apa perlu kita minta maaf dan bersujud di kaki Nita?" "Tidak perlu, Ma. Nita tidak membutuhkan semua itu. Nita membutuhkan suasana baru, kehidupan yang baru dan lebih baik. Kasihan juga pikirannya kalau terus diracun," sarkas Dimas. "Diracun bagaimana maksudnya, Mas? Mas pikir, kami sampai hati meracuninya? Iya?" cecar Lena kecewa. "Jangan bicara tega atau tidak sih, disini. Karena sejak awal, memang kalian sudah tega," jawab Dimas cepat. "Lagian ya, kenapa sih memangnya kalau aku pindah rumah? Masalah buat kalian itu apa? Khawatir aku tidak akan pernah mau menginjakkan kaki di rumah ini lagi? Kalian jangan khawatir, aku akan tetap berkunjung ke rumah ini." "Oh, atau mungkin kalian takut jika aku berhenti memberikan jatah bulanan?" tebak Dimas tersenyum sinis. "Asal kalian tahu ya, selama ini yang kasih jatah bulanan itu Nita, bukan aku. Tapi anehnya, kalian malah semakin membencinya." "Mas, sudahlah. Itu kan masa lalu, aku dan Mama sudah berubah. Kami lagi berusaha berubah menjadi lebih baik, kok. Bisa gak sih, kalau gak usah diungkit-ungkit terus?" Dimas terkekeh, memandang rendah kedua wanita itu, "Ya, terserah apa kata kalian." Nita sebenarnya sudah keluar dari kamar sejak tadi, ia pun mendengar semua percakapan suami, mertua dan iparnya yang terdengar sengit itu. Sengaja, ia tetap bersembunyi karena ingin tahu sejauh mana obrolan mereka dan menyakinkan terus-menerus hatinya bahwa Dimas memang berada di pihaknya, bukan karena harta yang dimiliki oleh Nita sebelumnya. Sejujurnya, Nita sempat meragukan Dimas karena kata-kata Lena yang berhasil mengusik hati dan kepercayaannya pada Dimas. Nita berusaha sekeras mungkin untuk tetap yakin dan percaya pada suaminya tanpa sedikitpun ada rasa ragu yang bersemayam di dalam hati. Dan, sekali lagi ia tersenyum senang dan menang karena memang Dimas berada di pihaknya. Sebenarnya, disini bukan sedang perlombaan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Namun, hanya saja seringkali Hilda dan Lena beranggapan bahwa akan selalu menang melawan Nita karena Dimas yang berada di pihaknya. Padahal, dalam hal yang sebenarnya, Dimas berada di pihak Nita. Nita merasa waspada, khawatir jika ketahuan bersembunyi di balik pintu masuk rumah. Saat mendengar perdebatan itu berakhir, ia bergegas lari dan masuk lagi ke dalam kamar, tidak lupa untuk menguncinya. Menunggu Dimas mengetuk pintu kamar agar tidak ketahuan. Di dalam kamarnya, Nita masih merasa harap-harap cemas menunggu suaminya itu mengetuk pintu. Nita khawatir, jika Dimas justru enggan mengganggu waktu tidurnya, sebab suaminya itu memang terlalu baik hingga tidak pernah menuntut apapun darinya. Nita terus mondar-mandir di dalam kamar, selang tidak berapa lama terdengar suara pintu kamar yang diketuk. Ia tersenyum sumringah karena suaminya benar-benar datang. "Sayang," panggilnya seraya mengetuk pintu kamar. "Nita, bangun. Ini Mas gak bisa masuk dari tadi." Nita mengacak-acak rambutnya lalu melangkah untuk menyambut suaminya. Ia memasang wajah bangun tidur agar tidak ketahuan oleh Dimas. Membuka anak kunci lalu membuka pintu secara perlahan. "Assalamualaikum, Sayang." "Waalaikumsalam, Mas. Maaf, aku ketiduran." Nita memang merasa bersalah karena ketiduran saat suaminya sedang pergi. Niat hati ingin menemani suaminya di teras demi untuk menebus kesalahannya, eh malah mendengar sedikit perdebatan kecil yang justru semakin membuat dirinya tahu dan paham bagaimana karakter suaminya itu. "Iya gak apa-apa, Sayang. Mas tahu, kamu pasti capek mengerjakan semua pekerjaan rumah." Nita menundukkan kepalanya seraya mengangguk. Dimas gemas melihat tingkah istrinya yang menggemaskan seperti itu dan rasanya ingin sekali melahapnya seketika. "Jangan bersikap seperti itu, Sayang. Kau membuatku sungguh mabuk kepayang," bisik Dimas manja. "Mas, ih!" pekik Nita malu. "Kalau kamu bersikap manja seperti ini, maka aku akan semakin tergila-gila padamu, Nita," godanya lagi membuat wajah Nita memerah bagaikan udang rebus. "Mas, ih … usil banget!" seru Nita semakin membuat Dimas tersenyum penuh arti. "Sudah, ayo masuk! Sebelum Mas khilaf," kekeh Dimas. Nita langsung menggamit tangan lelakinya itu masuk ke dalam kamar dan tidak lupa menutup pintu sekaligus menguncinya. Tanpa mereka ketahui, ada seseorang yang tidak sengaja mengintip dan mengepalkan tangannya karena merasa iri juga cemburu. Entah mengapa, setiap kali melihat kemesraan anak dan menantunya itu, membuat Hilda merasa sangat tidak suka. Ia cemburu karena Dimas begitu memperlakukan Nita dengan baik, ia merasa semua cinta dan kasih sayang Dimas sudah sirna untuknya. Sebenarnya, wajar tidak sih jika seorang ibu merasa marah, cemburu, iri dan dengki terhadap menantu yang diperlukan baik oleh anaknya? Kok bisa merasa bahwa tidak seharusnya anak lelaki itu memperlakukan istrinya dengan baik, padahal dulu Hilda pun sama halnya seperti Nita yang selalu diperlakukan baik oleh suami. Ya walaupun, mertuanya tidak bisa bersikap baik. Sikap dan sifat yang saat ini mendarah daging di hati dan juga pikiran Hilda itu karena racun yang ditebarkan oleh mertuanya dulu. Posisi Nita saat ini sama seperti posisi Hilda di masa yang lalu. Sayang, Hilda selalu mengambil sikap yang buruk bukan yang baiknya. Ia justru menanamkan dalam hati, bahwa dirinya harus bisa bersikap sama seperti sikap mertuanya di masa lalu. Hilda merasa Nita harus merasakan apa yang dirasakan olehnya dulu. Sakit hati, dihina, dicaci, dimaki, dicemooh bahkan selalu di fitnah dalam setiap keadaan yang berbeda. Jangan ditanya, betapa sakit dan terlukanya karena itu sama sekali tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata oleh Hilda. Rasa sakitnya, hampir sama seperti apa yang dirasakan oleh Nita sekarang. Tetapi ada perbedaannya sedikit, dulu walaupun suaminya itu berada di pihak Hilda namun tidak pernah sekalipun ditunjukkan depan mertuanya. Berbeda dengan Dimas yang secara terang-terangan menunjukkan semua di depan Hilda. Maka dari itu, Hilda merasa iri, cemburu dan sakit hati yang berlebihan karena ulah Dimas yang terlalu mengistimewakan Nita. Hilda selalu berpikir, bahwa anak lelakinya itu akan tetap berada di pihaknya sama seperti Baskoro - suaminya dulu, tetapi malah justru sebaliknya. Dimas memang tidak bisa disetir, karena paham sekali mengenai perangai Mama dan adiknya. Hal yang membuat Hilda tidak suka pada Nita adalah pertama, wanita itu berani masuk ke dalam kehidupan Dimas. Itu sudah sebuah larangan luar biasa dalam hidup Hilda, karena Dimas akan berubah tidak bisa kembali diatur. Dan, memang benar itu sudah terjadi. Kedua, melihat sikap Dimas yang begitu menyayangi dan memuja Nita semakin membuat Hilda murka dan tidak menyukai Nita. Bahkan, Hilda pernah berjanji bahwa tidak akan pernah membuat hidup Nita tenang dan bahagia karena sudah masuk ke dalam keluarga Baskoro. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah bisa menerima kamu di keluarga ini, Nita. Aku akan pastikan, hidupmu tidak akan tenang dan bahagia selama aku masih hidup dan berada di dunia. Aku tidak akan pernah rela jika Dimas lebih memperlakukanmu dengan istimewa daripada aku. Kamu adalah perusak kebahagiaan rumah ini, Nita, gumamnya penuh penekanan menatap pintu kamar pasangan suami istri yang sudah tertutup rapat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD