Merajut Mimpi

1101 Words
Dimas mendudukkan tubuh mungil istrinya di bibir ranjang, lalu ia pun ikut duduk di sebelah. Menggenggam erat tangan Nita dan mengecupnya berkali-kali membuat wanitanya itu bersemu merah akibat perlakuan Dimas yang sederhana namun mampu membuatnya bahagia. "Mas, ada apa?" tanya Nita memberanikan diri untuk menanyakan apa yang terjadi sehingga membuat lelakinya itu menjadi sangat romantis hari ini. "Kenapa? Kok malah bertanya ada apa?" "Tidak. Maksudnya, apakah terjadi sesuatu sampai-sampai Mas bersikap manis seperti ini?" "Hei, apakah salah jika seorang suami bersikap manis pada istrinya?" Dimas menatap lekat wajah Nita, menyelami sorot mata teduh namun membuatnya selalu rindu dengan tatapan itu. "Bu-bukan begitu maksudku, Mas. Mas memang selalu bersikap manis kapanpun dan dimanapun, tapi ini lebih manis dari biasanya. Jadi, ada apa?" tanya Nita manja membuat Dimas tersenyum bahagia melihat istrinya itu masih bisa bersikap manja. "Alhamdulillah, ada kabar baik, Sayang," ucapnya penuh kebahagiaan. "Kabar baik, Mas? Kabar baik apa?" Nita begitu sangat antusias untuk mendengarkan kabar baik apa yang akan diberikan oleh Dimas. "Kamu masih ingat tidak, teman Mas yang namanya Aris?" Nita memicingkan matanya, mencoba mengingat-ingat nama yang baru saja disebutkan oleh suaminya itu. Ia merasa ingat namun juga lupa, tapi memang nama yang baru saja disebutkan itu tidak asing ditelinga. "Ingat sih, tapi rada-rada lupa, Mas. Kenapa memangnya?" Dimas tersenyum, kembali mengeratkan genggaman tangannya pada Nita. "Alhamdulillah, saat ini Aris sudah berhasil maju, Sayang. Aris ternyata memiliki sebuah konvensi dan kamu tahu, ia menawarkan kerjasama dengan Mas." "Kerjasama? Kerjasama apa, Mas? Dan seperti apa?" "Aris akan membuat pakaian yang kita butuhkan dan Mas yang akan memasarkannya. Sungguh, Mas tidak pernah menyangka akan mendapatkan kepercayaan luar biasa seperti ini." "Masya Allah … Alhamdulillah, Mas," ucap syukur Nita yang tidak terhingga. "Itu artinya, Mas tidak perlu bolak-balik pasar sandang untuk mencari yang kita perlukan?" "Iya, Sayang. Cukup ke rumah Aris saja, mengambilnya." "Tapi, Mas–" "Kenapa? Apakah kamu merasa khawatir, Sayang? Apa kamu keberatan?" cecarnya lembut. "Tidak, Mas. Bukan seperti itu. Aku hanya ingin mempertanyakan untuk harganya, bagaimana? Apakah sama seperti di pasaran atau lebih murah? Lalu kualitas bahannya juga bagaimana?" "Kamu jangan mengkhawatirkan akan hal itu, Sayang. Mas sudah membicarakan semuanya secara detail, maka dari itu ini baru pulang," kekehnya. "Mas akan menjawab semua pertanyaanmu, satu persatu." "Pertama, untuk harga kita akan lebih dapat harga murah, Sayang. Karena apa? Kita langsung ambil ke konveksi. Jadi tidak usah khawatir masalah harga, insya Allah masih mendapatkan untung." "Alhamdulillah, Mas. Ikut senang aku dengarnya." "Dan yang kedua, masalah bahan. Kita akan dapat bahan dengan kualitas yang sama atau bisa jadi lebih bagus nantinya. Sebab, Aris 'kan memiliki konveksi jadi akan lebih murah untuk mengulak bahan-bahannya." "Masya Allah … Alhamdulillah, Mas. Jalan kita benar-benar sangat dipermudah sekali." "Iya kamu benar, Sayang. Dan kamu tahu, ini berkat apa?" "Apa memangnya, Mas?" "Ini semua berkat kamu, Sayang." "Aku? Kok aku, Mas?" "Berkat rasa sabar kamu, rasa ikhlas kamu, dukungan kamu, perhatian kamu, doa-doa yang kamu panjatkan. Semuanya nyampe ke langit ke tujuh dan didengar Gusti Allah. Maka, dikabulkannya semua doa baik itu." "Masya Allah, Mas. Itu terlalu berlebihan, aku hanya mendoakan untuk kebaikan kita semua, ketenangan dan ketenteraman. Mungkin, ada doa Mama yang sampai hingga langit," jawab Nita merendahkan dirinya. Sungguh, Nita merasa tidak ingin jika semuanya itu semakin memujanya dan justru akan semakin membuat Nita susah nantinya. Susah kenapa? Ya susah untuk menghadapi kedua wanita yang selalu iri dan dengki padanya. Nita takut jika memujanya Dimas yang terlalu berlebihan dapat membuat masalah baru lebih besar dari sebelumnya. Dimas kembali tersenyum mendengar jawaban dari istrinya. "Aku bukan suudzon, tapi rasanya tidak mungkin jika Mama mendoakan aku, Nita." "Mas, jangan bicara seperti itu. Bagaimanapun juga, Mama adalah orang tua yang mengandung, melahirkan, merawat Mas sampai dewasa seperti ini." "Semua itu semata-mata dilakukan hanya karena kewajiban dan aset. Aku dianggap aset yang akan menguntungkan kelak." "Mas–" "Tidak usah dibahas lagi ya, Sayang. Kita sedang dalam masa-masa bahagia, jika membahasnya maka akan membuat hati sakit juga terluka. Jadi, bukankah lebih baik kita hanya membahas sesuatu yang bahagia untuk berdua kedepannya?" "Maaf, Mas. Aku tidak bermaksud seperti itu. Iya, kita lebih baik membahas masa depan saja," jawabnya tersenyum manis. "Nah, begitu dong. Itu baru, istriku," pujinya bangga. Nita memang benar-benar istri yang baik hati, penurut dan tidak pernah neko-neko. Dimas juga jadi semakin menyayangi dan mencintainya karena sikap lembut Nita. Nita berdiri dan berniat ingin memberikan minum pada suaminya, tetapi urung karena mendengar kata-kata selanjutnya. Ia penasaran dan kembali duduk disamping suaminya. "Mas punya kabar gembira lainnya," imbuh Dimas membuat Nita kembali menoleh ke arahnya, bimbang antara melanjutkan mengambilkan minum atau duduk kembali. "Kenapa kamu malah diam disitu, Sayang?" "Sebentar, Mas. Aku ambilkan minum dulu, kasihan Mas baru datang tapi belum dikasih minum." Nita bergegas menuju pojok ruangan kamar, menuangkan air di dalam gelas lalu kembali menghampiri Dimas dan mengulurkan gelas berisi air pada suaminya. Tanpa menunggu disuruh, Dimas menerima gelas terus dan langsung meneguknya hingga air di dalam gelas tandas. "Terima kasih, Sayang. Ini air putih paling nikmat karena diberikan oleh istri tercinta." Nita tersenyum lalu duduk disampingnya lagi dan menatap Dimas dengan penuh pertanyaan, "Kabar bahagia selanjutnya apa, Mas?" "Alhamdulillah, Mas tadi juga sudah mampir ke developer, Sayang–" "Tunggu, developer rumah, Mas? Sungguh?" potong Nita cepat, matanya berbinar mendengar hal itu. "Iya. Katanya dalam waktu dekat ada pembangunan rumah baru lagi, jadi Mas langsung meminta persyaratan apa saja yang diperlukan untuk mengambil rumah. Ini semua persyaratannya." Dimas merogoh saku celananya dan mengambil secarik kertas berisi persyaratan untuk mengambil rumah KPR. Bagi Nita, tidak masalah mau mengontrak atau cicil rumah, yang penting milik sendiri nantinya. Daripada terus bertahan di rumah yang tidak pernah menganggap kehadirannya itu akan sangat sakit rasanya. Dulu, memang sempat berpikir untuk memiliki rumah tapi akan digunakan investasi. Nita berpikir, mungkin akan lebih baik tinggal bersama dengan mertua dan iparnya. Bisa mengenal lebih dekat dengan mereka, ikut merawat satu sama lainnya. Apalagi, kondisi mertua yang sudah tidak terlalu sehat seperti dahulu. Nita khawatir, jika memaksa untuk pergi dari rumah nantinya akan ada hal-hal tidak terduga yang terjadi. Tapi, selama tinggal bersama, mereka justru semakin menunjukkan sikap tidak suka, akhirnya membuat Nita yakin dan langsung ambil sikap memiliki rumah untuk dihuni bukan dijadikan investasi. "Kapan ini persyaratan harus dipenuhi, Mas?" tanya Nita setelah membaca semua persyaratan itu dengan seksama. "Secepatnya, Sayang. Semuanya harus dilengkapi, agar data kita bisa di cek terlebih dahulu di bank untuk proses BI checking. Setelahnya, bisa ke tahap selanjutnya." "Aku akan mengurus semuanya, Mas. Aku akan membantu," jawab Nita sungguh-sungguh. "Terima kasih, maaf karena belum bisa memberikan kebahagiaan untukmu, Sayang." "Tidak, Mas. Aku cukup bahagia bersama denganmu, hanya saja aku sedikit tidak nyaman jika terus berada disini, maaf."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD