"Sebenarnya, tidak ada masalah kalau masih dalam satu atap yang sama, asalkan keduanya bisa hidup rukun. Tapi, kalau keadaannya seperti ini terus, rasanya tidak baik lama-lama hidup bersama di dalam atap yang sama, Dimas," jelas Mbak Yati. "Maaf ya, Dimas. Mbak bukan bermaksud ingin meracuni pikiranmu untuk pindah atau gimana. Tapi, kasihan juga lama-lama sama Nita, selalu diperlakukan semena-mena. Padahal, Nita adalah wanita yang baik, selalu mengikuti keinginan mereka dulu. Anehnya, sekarang malah pada berubah seperti itu."
Dimas menghela nafas, memandang jauh ke depan. Merasa semakin bersalah dan tidak berguna karena tetap membiarkan istrinya secara tidak langsung tersiksa hati dan pikirannya.
"Dimas, tidak semua wanita mendapatkan mertua dan ipar baik, tidak semua wanita mendapatkan suami baik, tidak semua wanita mendapatkan mertua atau ipar yang tidak baik. Semuanya ya ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing, Allah sudah merencanakan semuanya dengan baik."
"Kamu lihat Mbak sekarang, 'kan? Dapat mertua, ipar, suami baik dan anak juga cepat tapi lihat ekonomi kami? Morat-marit, tapi masih Alhamdulillah. Bisa disyukuri sama-sama."
"Nah Nita, punya suami baik yang selalu mengerti bahkan lebih mendukungnya, lalu ekonomi kalian mulai membaik walaupun belum dikasih momongan. Tapi, dibalik suami yang baik, ternyata memiliki mertua dan ipar yang kurang baik, ini maaf ya, Mbak bicara seperti ini. Mohon maaf kalau lancang dan kamu merasa mbak terlalu ikut campur."
"Tidak, Mbak. Aku justru merasa sangat berterima kasih dengan laporan, Mbak Yati. Aku jadi bisa mawas diri dan ambil sikap agar semua ini tidak berlarut-larut. Aku tidak ingin selalu menyakiti hati Nita, Mbak. Wanita itu terlalu berharga dan baik untukku."
"Mbak setuju kalau kamu mengatakan bahwa Nita orang baik, maka dari itu tolong jangan sakiti terus hatinya. Kamu memang tidak menyakiti hatinya, tapi kita tidak tahu bukan kalau hatinya saat ini apa tetap baik-baik saja atau tidak setelah disakiti terus-menerus oleh Ibu Hilda dan Lena."
"Dimas, tidak ada yang salah dengan dua ratu satu atap. Tapi, jika semua saling mendukung dan mengerti, namun akan terasa seperti penyiksaan jika di dalam satu atap itu selalu ada keributan."
"Iya, Mbak Yati benar. Aku harus segera ambil sikap dan tidak lagi mengulur waktu untuk membeli rumah."
"Mbak tahu, kamu lelaki baik, Dimas. Nita berada di tangan lelaki yang tepat namun bukan keluarga yang tepat," tegas Mbak Yati. "Kalau begitu, Mbak pamit ya. Tidak enak lama-lama disini, takut ada yang melihat dan justru menjadi masalah nantinya. Mbak cuman pesan, titip Nita, jaga dia baik-baik," pamitnya berlalu pergi dari hadapan Dimas.
Dimas memandang punggung yang sudah pergi menjauh itu, ia berkali-kali menghela nafas panjang. Ia kembali sibuk dengan pikirannya sendiri, sungguh merasa malu karena orang lain sudah berani bicara seperti itu. Berarti, memang tandanya tidak ada yang baik-baik saja dengan sikap para wanita di rumah itu.
Dari jauh, terlihat Hilda dan Lena yang melangkah dengan ringan sambil tertawa bersama bercanda. Tawa mereka berdua terlihat lepas seakan-akan tidak memiliki beban apapun. Hal itu, membuat Dimas merasa geram, bagaimana bisa kedua wanita itu terlihat bahagia di atas penderitaan istrinya.
Kecewa bahkan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sampai Dimas sendiri merasa tidak tahu lagi harus mengatakan hal apa tentang sikap mereka berdua itu. Ajaib sekali, ketika ada Dimas semua akan terlihat baik-baik saja dan saat tidak ada Dimas semua seakan hancur berantakan.
Dimas mulai ingat kata-kata istrinya beberapa pekan lalu saat ia mendengar keributan di dalam rumah. Nita mengatakan bahwa Hilda dan Lena itu pandai memainkan drama lalu Nita akan ikut menyeimbanginya. Nita pun akan melakukan hal yang sama, memainkan drama ketika Dimas tidak ada.
"Dimas, sedang apa?" tanya Hilda tersenyum manis.
Dimas kembali di tarik pada masa sekarang, menatap datar ke arah Hilda dan Lena secara bergantian. Sedangkan, kedua wanita itu justru menampilkan senyum manis yang tiada tara.
"Mas, ditanya sama mama kok diam saja," sentak Lena menatap Dimas penuh pertanyaan.
"Iya, kamu sedang memikirkan apa?" Hilda mengambil posisi duduk di samping Dimas yang masih menatap keduanya datar.
"Tidak ada," jawab Dimas datar.
"Mas, kenapa sih? Kok ketus banget begitu?" Lena ikut mengambil posisi duduk juga di samping Dimas.
"Ketus bagaimana sih? Biasa saja, kok," datarnya mengalihkan pandangannya lurus ke depan.
Rasa muak tiba-tiba hadir di dalam lubuk hatinya, enggan untuk berlama-lama menatap kedua wanita yang penuh drama itu. Bukan hanya drama yang dimainkan, tetapi juga fitnah pun pernah mereka layangkan. Sayang, Dimas merasa masih tidak mampu untuk melepaskan semua amarahnya, ia takut nantinya akan dianggap menjadi anak durhaka atau anak yang tidak tahu diri.
Padahal, selama ini Hilda selalu menganggap bahwa Dimas adalah aset untuk masa depan. Sebab, lelaki itu mudah memberikan apa yang mereka inginkan dan juga tidak pernah menolak jika diminta sesuatu.
"Mas Dimas ini benar-benar sangat berubah deh semenjak menikah sama–"
"Lena, bisa gak sih kalau diam gitu, sehari saja!" potong Dimas cepat.
"Ih apaan sih, Mas? Memangnya kenapa aku harus diam?"
"Ya biar gak usah cari masalah. Kalau gak kamu ya Mama yang selalu saja mencari masalah tapi seakan menjadi korban."
"Dimas, kok begitu," jawab Hilda tidak terima.
"Begitu gimana, Ma? Memang benar, 'kan? Aku lama-lama tinggal disini berasa seperti tinggal di neraka."
"Hush, jangan bicara omong kosong, Dimas!" sentak Hilda. "Mana ada seperti tinggal di neraka. Sudah jelas-jelas ini rumah dan tempat tinggal paling nyaman rumah apapun diluar sana."
"Kata siapa? Aku tidak menemukan kenyamanan di dalam sini. Aku selalu merasakan ada perang di dalamnya, rumah sudah layaknya seperti neraka yang selalu beradu api satu sama lainnya."
"Laporan apa lagi istri kamu itu, Mas?" tanya Lena tidak suka.
"Lah, Nita tidak pernah laporan apapun tentang kalian. Harus berapa kali aku katakan? Nita sama sekali tidak pernah membicarakan kalian, bobroknya kalian saja tidak pernah sedikitpun dia menyinggung."
"Halah, Mas … kamu ini mulai keracunan sama tingkahnya yang sok polos itu. Kamu gak tahu saja, kalau dirumah hanya ada mama dan dia, beuh berasa mama itu pembantu," papar Lena mengompori.
Dimas terkekeh mendengarkan pernyataan Lena, sungguh apa yang dikatakan oleh gadis itu sebenarnya adalah berbanding terbalik dengan yang terjadi.
"Kamu pikir, aku percaya?"
"Loh ya harus percaya, dong. Masa sama adik sendiri gak percaya tapi sama orang lain percaya, Mas," gerutu Lena.
"Iya kamu ini, Dim. Kayak yang sudah tidak percaya lagi pada mama dan Lena. Selalu saja Nita yang dibela," timpal Hilda.
"Ya emang wanita itu pantas dibela kok. Karena, memang tidak pernah macam-macam berbeda dengan kalian," tegas Dimas.
"Mas Dimas benar-benar keterlaluan banget, sih!" sentak Lena.
"Ah, sikapku sekarang bagaimana sikap kalian pada Nita. Kalau baik, maka aku akan lebih baik banget tapi kalau jahat, ya jangan salahkan aku kalau kalian menganggap sikapku itu jahat," tegas Dimas lagi.
Lena melengos dan cemberut, ia sama sekali tidak suka jika Nita selalu saja dibela walaupun memang wanita itu tidak pernah memiliki salah padanya atau mama tapi tetap saja Lena menganggap bahwa Nita adalah biang masalah dari segala masalah yang ada.
"Kamu sekarang seperti sudah tidak menghargai mama, Dimas–"
"Bukan tidak menghargai, Ma. Tapi, setidaknya jika Mama dan Lena mau diperlakukan dengan baik, maka bersikaplah dengan baik. Kalau mau dihargai, cobalah menghargai orang lain. Lah ini, malah selalu melakukan apapun seenak sendiri."
"Ah terserahlah, apa kata Mas Dimas." Dimas mengedikkan bahunya tidak peduli
Hening. Tidak ada lagi obrolan diantara mereka bertiga, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi, ada yang menggelitik di hati, Dimas. Ia seakan-akan ingin tahu respon kedua wanita itu setelah tahu bahwa dirinya sudah mendapatkan info perumahan yang cocok untuk dibeli.
"Oh iya, cepat atau lambat aku akan tetap keluar dari sini bersama istri. Soalnya, rumah yang disukai sudah mulai buka pembangunan lagi," papar Dimas.
Kedua wanita itu secara bersamaan menoleh ke arah Dimas melotot, tidak suka dengan kabar yang baru saja mereka terima dan dengar.