Bisnis Maju Pesat

1283 Words
Dimas menggenggam tangan Nita lalu mencium punggung tangannya berkali-kali. Membuat hati Nita yang sebelumnya resah mendadak menghangat karena diperlakukan sangat manis seperti ini. "Tidak perlu meminta maaf, Sayang. Seharusnya, aku yang meminta maaf akan hal itu. Tidak seharusnya menyatukan kamu dan keluarga ini di dalam satu atap. Awalnya aku pikir, semua akan baik-baik saja. Tapi ternyata, tidak. Namun tidak apa-apa, aku tidak akan pernah memaksamu untuk tetap tinggal disini." "Percaya padaku ya, cepat atau lambat kita keluar dari sini. Semuanya demi kamu, Sayang. Aku hanya ingin kamu bahagia dan tidak tersiksa lagi." "Terima kasih ya, Mas. Terima kasih karena sudah mengerti diriku." "Harus. Mas memang harus selalu mengerti diriku, apapun dan bagaimanapun keadaannya. Kenyamanan kamu adalah nomor satu." Nita tersenyum bahagia mendengar kata-kata indah itu. Rasanya, seperti disiram oleh air dingin yang langsung dari pegunungan, nyes sampai ke hati pastinya. Sore itu, mereka mengakhiri pembicaraan dengan berbagi peluh dengan penuh cinta dan bahagia. Keduanya benar-benar menikmati setiap sentuhan yang diberikan satu sama lainnya. Tidak peduli dengan masalah yang hadir berkali-kali lipat dari rasa bahagia itu. Mereka terutama Nita sudah mulai bisa menyikapi hati yang penuh luka agar tidak semakin terluka. *** Bisnis Nita dan Dimas semakin maju, lelaki itu benar-benar bekerja keras untuk mengubah keadaan untuk lebih baik lagi dari sebelumnya. Seakan tak mengenal lelah, setiap malam selalu berdiam diri di depan laptop untuk meng-upload banyak barang-barang baru agar semakin banyak yang membeli. Tidak lupa juga diberikan tawaran menarik dan pastinya para emak-emak tergiur karena karena murah dan juga promo. Semakin hari, pemasukannya semakin meningkat. Dimas pun semakin berani untuk meminta pada Aris selalu konveksi untuk membuat kembali beberapa desain pakaian yang nantinya akan dijual. Dimas yakin dan berani untuk memasarkan karena memang tahu kualitas bahan mereka itu bukan yang biasa saja tapi luar biasa. Terkadang ada yang murah tapi ada juga yang mahal, ya bedanya tidak terlalu jauh juga. Tapi, cukup memuaskan ketika menjadi sebuah pakaian yang indah, enak dipandang dan dipakai. Banyak sekali customer yang merasa puas, bahkan ada beberapa juga yang membeli secara continue dengan jumlah partai besar. Benar-benar rezeki keduanya saat ini lagi digelar habis-habisan. Dilimpahkan seperti air yang mengalir bahkan dibuka dari pintu arah mana saja. Memangnya, jika sudah rezeki itu tidak akan mungkin kemana. Sekalipun dihancurkan berkali-kali dan juga dibuat seakan-akan menjadi orang yang paling salah tetapi tetap saja jika sudah rezeki, maka akan tetap berlimpah nantinya. Dimas selalu berjanji di dalam hatinya, akan selalu membahagiakan Nita bagaimanapun caranya. Ia tidak akan pernah sedikitpun membuat luka di dalam hati wanita itu, maka ia akan terus bekerja keras agar mimpi dan impian bisa tercapai dengan cepat. Mengingat kejadian tempo lalu yang membuat Dimas mengambil keputusan untuk tetap pindah dan tidak peduli dengan bujuk rayu mama, keadaannya kembali stabil tapi tidak hangat seperti biasanya. Baik Dimas dan Nita, tidak ada tegur sapa yang berarti pada Hilda dan Lena. Ya semua memang terlihat seperti biasa saja, tidak ada yang spesial. Pasangan suami istri itu benar-benar merasa seperti mereka sedang mengontrak di sebuah rumah. Tidak peduli lagi dengan ucapan, hinaan, cemoohan dan ejekan dari keduanya. Nita memilih untuk masa bodoh, demi ketenangan hatinya. Walaupun, ingin sekali melawan tapi rasanya percuma dan buang-buang waktu saja. Sebab, hasilnya akan sama saja, tidak bisa menang dan justru malah semakin terluka karena ucapan-ucapan menyakitkan. Jadi, bukankah akan lebih baik, jika memilih menghindar daripada terus bertengkar untuk hal yang sama. Hilda dan Lena pun melakukan hal yang sama, tidak ada tegur sapa yang berarti. Mereka akan bicara jika tidak memiliki uang dan akan menyindir Nita jika tidak ada Dimas, masih sama bukan? Hanya waktunya saja yang berbeda. Anehnya, mereka itu seakan tidak pernah puas untuk menginjak-injak harga diri Nita. Baik Hilda maupun Lena, keduanya saling bergantian membuat mood Nita rusak. Selalu ada saja aksi dan ulah yang membuat Nita harus menahan amarah atau sebagainya. Tapi, lagi-lagi Nita selalu berbuat masa bodoh hingga keduanya merasa semakin kesal dan seakan tidak mampu untuk menjatuhkan kembali. Nita juga sudah mulai mengumpulkan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mengambil rumah KPR. Ia begitu sangat bahagia sekali menyiapkan yang diperlukan karena emang itu adalah impian baginya. Sengaja, tetap diam tanpa mengatakan apapun saat dirinya dan Dimas mengurus semua syarat yang dibutuhkan developer, agar tidak ada gangguan dari Hilda dan Lena. *** Hari ini, Dimas pulang membawa dua buah karung besar berisi pakaian yang akan dijual. Membawa di atas motor juga rasanya sangat kesulitan sekali, satu karung itu berisi sepuluh kodi pakaian wanita dan siap di upload. Perlahan namun pasti, Dimas menurunkan kedua karung itu secara bergantian. Nita keluar kamar saat mendengar suara motor suaminya, ia bergegas mendekati dan akan membantu tetapi ditolak oleh Dimas. "Jangan, Sayang. Ini berat, kamu tidak boleh angkat yang berat-berat," tolaknya lembut. "Tapi, Mas kesusahan itu. Aku bantu, ya," bujuknya. "Tidak, Sayang. Sama sekali tidak susah, permisi sedikit menjauh, Sayang. Aku tidak ingin kakimu kena nantinya," pinta Dimas membuat Nita sedikit bergeser dan menjauh dari sisi suaminya. Benar-benar terlihat kesusahan tapi suaminya tetap pada pendiriannya, enggan untuk dibantu. Hilda yang melihat hal itu langsung murka dan mendekat. "Nita, suami kesusahan tuh dibantu, jangan diam saja!" sentak Hilda membuat Nita dan Dimas menoleh bersamaan. "Diam saja seperti orang bego!" "Ma, apaan sih? Gak usah keterlaluan begitu! Aku yang merasa kesusahan saja tidak meminta bantuan Nita karena tidak ingin istriku kenapa-kenapa, ini mama kenapa banyak protes sih!" bentak Dimas menghentikan aktivitasnya yang belum berhasil menurunkan salah satu karungnya. "Dimas, kamu itu kesusahan, masa iya istri kamu ini diam saja kayak orang bego! Bantuin apa salahnya, sih? Jangan mau enaknya saja! Jangan mau duitnya saja!" celoteh Hilda semakin menjadi. Beberapa tetangga yang memang sedang bersantai di teras pun menatap ke arah keributan itu. Mereka sudah biasa mendengar keributan dari rumah Hilda tapi bagi mereka ini adalah tontonan yang luar biasa. Tetangga tidak semuanya pro pada Hilda karena memang sikap wanita tua itu buruk bukan hanya pada menantu tapi pada tetangga juga. "Sudah diam, Ma! Jangan menghina istriku! Aku yang memintanya tetap tidak membantu, gak usah usil mulutnya!" bentak Dimas semakin murka. "Kamu ini kayak anak bodoh, Dimas. Gak habis pikir Mama–" "Terserah. Aku tidak peduli." Dimas mengibas-ngibaskan tangannya dan kembali berusaha menurunkan karung. Walaupun kesusahan tapi ia terus berusaha, sedangkan istrinya itu merasa tidak tega karena Dimas yang begitu kesulitan akhirnya ia memaksa membantu. "Sayang, sudahlah. Jangan membantu, ini berat," tegas Dimas tidak ingin merepotkan istrinya. "Justru karena ini berat, jadi tidak bisa dilakukan sendiri, Mas. Harus ada yang membantu. Gak apa-apa, aku akan bantu tarik saja bukan mengangkatnya," usul Nita diangguki Dimas. "Baiklah kalau begitu. Ayo," ajaknya. Dimas mengambil ancang-ancang dan menghitung sampai tiga agar istrinya itu membantu menarik karung dan akhirnya berhasil. Karung selanjutnya pun menggunakan cara yang sama, keduanya bersamaan saling membantu dan tetangga yang mendukung mereka tersenyum bangga. "Alhamdulillah, terima kasih ya, Sayang." "Sama-sama, Mas." "Loh, Dimas, Mama kan yang menyuruh, kenapa kamu justru berterima kasih pada Nita? Kenapa bukan ke Mama?" "Kok ada ya manusia yang hidupnya iri terus. Bahkan, menantu sendiri juga diperlakukan hal yang sama. Kok gak ada bahagia-bahagianya melihat anak dan menantu hidup baik dan saling mendukung seperti itu," celetuk tetangga yang sedang asik midang. "Halah, namanya juga penyakit hati, Bu. Susah pastinya, akan selalu merasa iri, dengki dan cemburu. Padahal, anaknya itu memperlakukan menantunya dengan baik, bukan memperlakukan wanita lain," timpal ibu-ibu yang lain. "Lucu ya, Bu. Semakin tua bukannya semakin bersikap baik ini justru sebaliknya," kekeh Mbak Yati yang tempo waktu lalu memberikan kabar pada Dimas mengenai kondisi istrinya ketika lelaki itu tidak ada dirumah. "Kurang ajar!" maki Hilda menatap garang mereka semua. "Kalian membicarakan aku? Iya? Hah?" "Lah, memangnya situ ngerasa, Hilda? Kalau tidak merasa, kenapa harus marah, sih?" tanya seseibu membuat semuanya yang ada disana terkekeh. "Manusia yang selalu merasa dirinya itu benar, mana pernah merasa salah, Bu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD