Hilda murka dan hampir saja menghampiri mereka semua, kalau saja Lena tidak segera datang, mungkin pertengkaran tidak dapat terelakkan. Hilda menatap sangar mereka semua dan berjanji bahwa akan memberikan pelajaran pada mereka satu persatu.
Dimas dan Nita sempat melihat ketika Hilda akan menyerang, tetapi lebih ketidak peduli dan fokus pada karung yang sedang mereka tarik agar bisa segera sampai di dalam. Berbeda sekali dengan Lena yang berdiri di sisi Hilda, untuk menanyakan apa yang terjadi dan kenapa sampai ribut.
"Ma, ada apa, sih? Sampai harus ribut sama mereka begini?" cecarnya ingin tahu.
"Ini semua gara-gara Nita. Wanita itu selalu saja dibela oleh siapapun. Heran, kenapa juga selalu dibela oleh mereka semua, sih. Padahal, baik juga gak, tapi kok dibela terus-terusan," gerutunya.
"Halah, itu mah akal-akalanmu saja, Hilda! Selalu menganggap menantu tidak baik, padahal dirinya sendiri yang tidak baik! Kalau mau bicara itu, seenggaknya berkaca! Apa sudah lebih baik atau belum, bisanya menjatuhkan harga diri menantu terus-menerus!"
"Hei, wanita sombong, ingat kau itu punya anak perempuan yang belum menikah. Tidak takut jika nantinya apa yang kalian lakukan pada Nita, lalu berimbas pada Lena?"
"Eh, Ibu-ibu, jaga mulutnya ya!" tunjuk Lena penuh emosi. "Seenaknya saja bicara seperti itu, aku tidak akan pernah diperlakukan tidak baik oleh mertua nantinya. Mereka pasti akan bersikap baik padaku!" imbuh Lena berapi-api.
"Haha, mimpi. Belum tentu, Lena. Tidak semua mertua itu seperti di n****+-n****+ yang baik dan tidak tercela, ya seperti ibu kamu itu. Contohnya sudah ada, tapi kok gak bisa belajar," kekeh Mbak Yati.
"Dasar ya, Mbak Yati mulutnya kayak sampah! Busuk semua omongannya, heran. Kok bisa sih bicara seperti itu, padahal sesama perempuan," geram Lena.
"Lah, baru nyadar kalau perempuan? Selama ini kemana saja? Bukankah kalian sering menyakiti Nita? Padahal, sesama perempuan, sekarang disakiti berupa ucapan saja sudah merasa seperti orang yang paling tersakiti!"
"Halah, berdebat sama kalian memang tidak akan ada habisnya! Bikin muak!" teriak Hilda penuh emosi.
Lena pun ikut merasa geram, tapi tak mungkin juga maju untuk melawan. Sudah dapat dipastikan mereka akan kalah karena lawannya lebih banyak, lagi pula tubuh ibu-ibu itu gempal, khawatir nantinya mereka akan remuk karena ulah ibu-ibu itu. Lena menarik tangan Hilda untuk masuk ke dalam rumah dan meninggalkan mereka semua yang masih saja menertawakan mereka berdua.
Nita sempat menghentikan langkahnya saat mendengar ibu-ibu itu terus mencemooh mertua dan iparnya. Rasanya, tidak tega sekali keluarganya itu diperlukan seperti itu oleh tetangga. Bagaimana sikap mereka, tetap saja keluarga bagi Nita dan hatinya ikut terluka.
"Kenapa, Sayang? Capek ya? Ya sudah, biar letakkan saja disitu, nanti Mas yang bawa ke dalam."
Nita menoleh ke arah Dimas dengan tatapan sendu membuat lelaki itu merasa bingung.
"Ada apa? Kamu kenapa? Ada yang sakit?" cecarnya penuh khawatir.
"Mas, kasihan Mama dan Lean di cemoohan sama tetangga," sendunya. "Tolongin dong, Mas. Seenggaknya, agar mereka semua berhenti bicara yang tidak-tidak tentang Mama dan Lena."
Dimas memutar bola matanya malas, tidak menjawab permintaan Nita dan kembali melangkahkan kakinya dengan tangan masih menyeret masuk karung tersebut. Bukan bermaksud ingin mengabaikan Nita, tapi permintaannya itu membuat Dimas malas. Masih banyak hal yang lebih penting untuk di urus daripada membela mama dan adiknya, sebab kedua wanita itu memang sebenarnya tidak pantas untuk dibela.
Hati Nita mencelos karena merasa diabaikan oleh Dimas, selama ini lelaki itu tidak pernah mengabaikan permintaannya tetapi kenapa sekarang justru mengabaikan bahkan terkesan tidak peduli.
"Mas," rengek Nita mendekati suaminya. "Tolonglah."
"Sayang, bisa gak sih kamu ini meminta sesuatu yang lain? Mas malas kalau menuruti permintaan kamu yang seperti itu, bagi Mas masih banyak hal penting yang harus diurus daripada mengurusi mereka yang bertengkar," tegas Dimas. "Lagian ya, mereka sudah besar kok. Kalau merasa tidak mau bertengkar, ya sudah tidak usah diladeni, gampang 'kan? Kalau meladeni, memang ya sama saja maunya ribut."
"Ngapain, kita capek-capek bela mereka? Mereka saja tidak pernah bela mereka apalagi, kamu. Kalau kamu sekarang keluar, membela mereka di depan para tetangga, Mas yakin baik mama ataupun Lena tidak akan berterima kasih atau menganggap kamu pahlawan. Mereka juga akan semakin menjatuhkan kamu dan menyalahkan di depan para tetangga. Percaya sama, Mas," tekannya tidak mau dibantah. Sudah cukup selama ini Nita membantah dalam hal yang satu ini, Dimas harap istrinya itu bisa mengerti dan tidak lagi meminta sesuatu untuk membela keluarganya.
"Tapi, Mas–"
"Kalau memang kamu masih tetap mau membela mereka, silahkan. Mas tidak akan pernah melarang, tapi jangan pernah menyalahkan Mas, jika hatimu merasa terluka lagi karena mereka, Sayang."
Nita tertegun dengan kata-kata terakhir yang baru saja terucap dari suaminya itu. Ia terlalu memikirkan perasaan orang lain, sampai-sampai lupa dengan perasaannya sendiri. Lukanya pun masih sama, jika membela mereka belum tentu juga lukanya akan sembuh, bisa jadi justru akan semakin tumbuh luka yang baru karena dianggap sebagai biang masalah.
Dimas kembali melangkah dan meninggalkan istrinya yang tertegun, sekali lagi bukan tidak ingin membantu tapi ia lebih memilih untuk menjaga hati istrinya agar tidak kembali merasa sakit. Namun, rupanya Nita tidak paham dengan maksud hati dari Dimas.
Nita memandang punggung Dimas yang semakin menjauh dan kesusahan membawa barang bawaannya. Ia merasa bingung dan bimbang, kemana harus melangkah? Melanjutkan langkah kakinya menuju kamar membantu suaminya, atau justru kembali ke depan membela mertua dan iparnya.
Dasar memang Nita ini tulus dan bodoh itu beda tipis sekali, ia lebih memilih kembali keluar untuk membantu mertua dan iparnya agar tidak menjadi bahan cemoohan tetangga. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Hilda dan Lena masuk dengan mengoceh.
"Ini semua gara-gara perempuan kurang ajar itu!" maki Hilda lantang, kembali membuat hati Nita terluka.
"Memang, harus kita kasih pelajaran rupanya w************n itu, Ma. Aku gak terima banget, tadi mereka mencemooh aku seperti itu. Mendoakan hal yang tidak baik pula untukku."
"Iya, kurang ajar mereka itu. Lihat saja, semua kata-kata mereka barusan, pasti akan berbalik pada mereka sendiri."
Hilda dan Lena semakin masuk ke dalam, namun Nita justru terhenti. Nita diam ditempat dan tidak menyadari ada mertua juga iparnya yang sudah masuk lebih ke dalam.
"Ngapain kamu disitu? Hah? Mau nonton mama dan Lena dipermalukan di depan? Iya? Dasar ya kamu itu, menantu tidak tahu diri! Selalu saja bikin masalah, bukan hanya membuat Mama dan Lena selalu salah di depan Dimas tetapi juga di depan tetangga."
"Iya, aku curiga, w************n ini bicara hal yang tidak baik tentang kita pada mereka semua, Ma."
Nita menggelengkan kepalanya, ia membantah fitnah yang baru saja dilontarkan oleh Lena tapi sama sekali tidak bisa menyuarakannya.
"Oh, jangan-jangan benar kata kamu, Lena. Perempuan ini sudah menjelek-jelekkan kita berdua di depan tetangga, sampai-sampai mereka bisa bicara seperti tadi. Mama yakin, mulutnya itu pasti sudah menyebarkan hal buruk tentang kita."
"Iya, Ma. Itu pasti, kita harus beri pelajaran, Ma. Kalau perlu, robek mulutnya agar tidak bisa lagi bersuara yang tidak-tidak di depan orang banyak," geram Lena penuh ancaman.