BAB 3 – Mengutarakan Keinginan

657 Words
Suara azan subuh berkumandang, Ceria sudah bangun. Wanita itu terbiasa bangun awal dan cekatan membersihkan rumah. Memburu waktu sebelum suaminya berangkat kerja dan sebelum si kecil bangun. Setelah itu, Ceria segera menyiapkan sarapan untuk suaminya. Secangkir kopi hitam dan nasi goreng sosis kesukaan Bagja sudah terhidang. Ceria segera membersihkan diri, hari itu dia bermaksud mengunjungi rumah mertuanya yang jaraknya hanya beda satu cluster dengan perumahan mereka. Bagja sudah rapi dengan setelan kantornya. Wajahnya terlihat segar setelah beristirahat semalaman. Dia tengah duduk dan menikmati sarapan ketika Ceria keluar dengan memakai tunik dan celana panjang yang sejak lama hanya tersimpan di dalam lemari. Itulah salah satu pakaian terbaiknya semenjak dia menikah dengan Bagja. Gaji suaminya yang tidak terlalu besar membuat Ceria menekan segala pengeluaran yang masih bisa dikesampingkan. Berbeda halnya ketika masih kerja dulu, dia bebas membeli apa saja yang dia mau. “Kamu mau ke mana?” Bagja menatap istrinya yang menarik satu kursi untuk menemaninya sarapan. “Aku mau izin ke rumah Mama, mau tanya-tanya playgroup yang ada di sana. Iren sudah dua tahun lebih sekarang,” ucapnya sambil menyendok nasi goreng ke mulutnya. “Kenapa nyari yang jauh sih, Ri! Kan, di kompleks kita juga ada playgroup,” ucap Bagja seolah tidak setuju. “Iya, Mas, tapi aku mau yang kualitasnya bagus. Aku dengar yang deket rumah Mama jauh lebih baik daripada yang di sekitar perumahan kita, dan lagi ....” Ceria menjeda. Bagja menatapnya tajam penuh pertanyaan. “Dan lagi, aku mau kerja kembali, Mas! Iren juga sudah besar sekarang,” ucap Ceria yang membuat Bagja mendadak menghentikan suapannya. “Kamu bukannya dulu udah berjanji akan jadi ibu rumah tangga saja kalau kita sudah menikah dan punya anak?” Bagja menatapnya tidak suka. “Mas, semuanya bisa berubah, janji terkadang bisa terkikis kadar kekuatannya termakan kenyataan. Semua orang pernah berjanji, Mas! Termasuk Mas Bagja sendiri. Tapi apakah Mas pernah berpikir jika semua janji Mas juga sudah terpenuhi?” Ceria tidak serta-merta mengatakan semua perasaannya selama ini. Dia bukan tipe wanita yang bisa langsung blak-blakan pada masalah dan menuntut perhatian. Itulah Ceria. Bagja menarik napas. Dia tidak menghabiskan sarapannya dan langsung menutupnya dengan meminum beberapa tegukan kopi. Dia tidak hendak membahas lagi rencana istrinya, entah apa yang ada dalam pikiran lelaki itu. Ceria ikut menyudahi makannya. Wanita itu mengikuti Bagja yang membawa kopinya ke teras. Setiap pagi Ceria memang selalu mengantarkan kepergian suaminya untuk bekerja. “Kamu nanti naik apa ke rumah Mama? Hati-hati di jalan, pulangnya jangan sore-sore! Aku gak bisa jemput juga hari ini, masih ada agenda keluar kantor,” ucap Bagja. “Iya, Mas, hati-hati. Dan satu lagi, Mas! Aku serius dengan ucapanku yang tadi,” ucap Ceria lagi sambil memberikan helm pada suaminya yang sudah rapi dengan jaketnya. Bagja hanya menarik napas panjang, sejenak menatap lekat istrinya. Kemudian dia berpamitan dan melajukan sepeda motornya meninggalkan rumah. Ceria bergegas masuk dan memandikan Iren yang baru saja bangun. Setelah semua rapi, dia mengunci pintu dan memesan transportasi online untuk berangkat ke rumah mertuanya. Didekapnya Iren dalam pelukannya. Mereka menaiki ojek online yang harganya lebih murah pastinya daripada mobil online. Sepanjang perjalanan, pikiran Ceria bercabang ke mana-mana. Dalam hati kecilnya, dia tidak akan tega jika harus meninggalkan Iren untuk bekerja. Namun, dia harus punya pegangan. Ceria tidak bisa lagi menebak perubahan demi perubahan sikap Bagja. Sebagai orang yang terlahir dari keluarga sederhana, dia harus memiliki pegangan lain jika suatu saat nanti dia memang benar-benar tidak mendapatkan pilihan. Karena berdasarkan pengalamannya, cinta itu adakalanya harus melepaskan, seperti dia harus melepaskan ayah yang dicintainya untuk selamanya. Jodoh dan kematian itu ibarat sebuah teka-teki, tak ada yang bisa memberikan jawaban pasti. Berkali-kali menarik napas panjang, mengecupi pucuk kepala Iren yang duduk di dekapannya, tidak terasa cairan bening sudah menggenang pada sudut mata dan menetes ke pucuk kepala putri kecilnya. Membuat gadis itu menengadah ke atas untuk mencari tahu. “Mah, udjan, ya? Lambut Ilen bacah,” ucap putrinya cadel. Ceria tersadar, dia segera menghapus air matanya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD