BAB 4 – Sepasang Sepatu

850 Words
“Mah, udjan, ya? Lambut Ilen bacah,” ucap putrinya cadel. Ceria tersadar, dia segera menghapus air matanya. “Oh, iya, tadi gerimis sedikit, Sayang,” jawab Ceria asal. “Nda mahu kena udjan, Mah.” Iren mengeratkan pelukannya. Ceria mengusap-usap kepala putri kecilnya. “Iya, ujannya udahan kok.” Ceria menenangkan Iren. “Mbak, udah sampai.” Pengemudi ojek online memberi tahu ketika pada aplikasi sudah menunjukkan sampai di lokasi. “Baik, Makasih, Om.” Ceria memberikan uang cash pada pengemudi ojek online-nya. Ceria langsung menggendong Iren. Dia memijit bel rumah berpagar tinggi tersebut. Orang tua Bagja tidak termasuk orang yang kaya, namun tidak juga termasuk golongan yang sederhana. Rumahnya besar, bertingkat, dan berpagar tinggi. Tidak lama menunggu, ibu mertuanya membuka pintu dan wanita paruh baya itu berhambur memeluknya. “Wah, Iren, sini sama Nenek.” Dia mengambil Iren dari gendongan Ceria. Gadis kecil itu memang cukup dekat dengan keluarga Bagja yang masih tinggal satu daerah. Beda halnya kalau dengan keluarga Ceria yang sekarang tinggalnya di Majalengka, susah untuk langsung bisa berbaur karena jarang bertemu. “Ayah ngajar, Ma?” Ceria berbasa-basi, sebetulnya dia tahu kalau mertuanya masih kerja. Dalam usianya yang sudah sepuh, lelaki itu masih aktif mengajar dan menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota itu. “Iya, Ri, ayo masuk, Mama udah masak, kita makan bareng, tadi Bagja ada ngehubungi Mama, katanya kamu mau ke sini,” ucap Bu Marta, ibunya Bagja. “Iya, Ma.” Ceria langsung mengikuti langkah Bu Marta yang menggendong Iren. Mereka mengobrol cukup lama mengenai playgroup untuk Iren. Ceria juga menceritakan keinginannya untuk kerja lagi. Mertuanya cukup netral dan tidak memihak, dia menyerahkan keputusan untuk kerja seluruhnya kepada Ceria dan Bagja. Mereka yang membina rumah tangga, maka segala keputusannya harus disepakati berdua. Sementara itu, Bu Marta sangat tidak keberatan jika Iren akan lebih banyak tinggal di sana, ide Ceria merekrut satu baby sitter untuk menjaga Iren seketika ditolaknya. “Biar Mama yang antar jemput Iren ke sekolah, dan nemenin Iren main di sini, Mama seneng malah, rumah jadi gak bakal sepi lagi, anaknya Mbak Mita, kan, udah besar sekarang, sekalinya main juga udah punya dunia sendiri, nanti Mama bantu bilang Bagja biar Iren sekolah di sini, masalah kerjaan itu kalian urus saja berdua,” ucap Bu Marta. Ceria merasa lega karena mertuanya terlihat betul-betul menyayangi Iren. Sekarang hanya tinggal bagaimana caranya dia meyakinkan Bagja agar mengizinkannya kerja kembali. Setelah mengobrol, Ceria diantar mertuanya melihat playgroup yang letaknya tidak jauh dari sana, tempatnya bersih dan nyaman. Ceria langsung yakin untuk menjatuhkan pilihannya. Seharian Ceria memperhatikan Iren yang terlihat gembira bermain bersama Maura, kucing peliharaan Bu Marta. Kucing berbulu putih, tebal, dan gemuk itu tidak lepas digendongnya ke sana kemari. Hingga menjelang sore, Iren berkeras tidak mau pulang. “Bagja, anakmu mau main sama Maura, jadi Mama minta Iren nginep di sini, ya. Nanti kamu pulang ke sini aja.” Bu Marta menelepon Bagja di depan Ceria. “Oke.” Wanita paruh baya itu menutup sambungan telepon setelah mendapat persetujuan dari Bagja. “Ri, suami kamu udah ngizinin kalian nginep di sini, biar besok aja pulangnya, dia udah Mama suruh nyusul pulang kerja,” ujar Bu Marta. “Iya, Ma, tapi aku harus mengambil baju ganti Iren dulu ya, Ma, sekalian aku ganti baju,” ucap Ceria. Bu Marta hanya mengangguk tanda setuju. Ceria membantu memasak, membereskan rumah, dan apa pun yang dia bisa kerjakan hingga lupa jika akan pulang dulu. Akhirnya dia memesan ojek online pada pukul setengah enam sore. *** Tak berapa lama, ojek itu berhenti di depan rumahnya, namun Ceria mendapati sepeda motor suaminya sudah terparkir di sana. Dia melangkah mendekati pintu, namun ada sepasang sepatu dengan heel tinggi tergeletak di sana. DEG! Perasaan tidak enak sudah menyeruak ke dalam dadanya. Perlahan dia memutar gagang pintu yang tidak terkunci. Terlihat suaminya yang duduk berdempetan di sofa dengan seorang wanita muda, mereka memang masih mengenakan seragam kerja, namun duduk mereka nyaris tanpa cela dengan memegang selembar kertas yang sama. Terlihat begitu dekat dan intim obrolan mereka. “Ri, ka-kamu pulang?” Bagja terlihat kaget dan langsung menjauhkan badannya yang menempel dengan wanita itu. “Iya, Mas.” Ceria masih berdiri menatap wanita yang hanya melongo menatapnya. “Sisy, ini kenalkan istri saya, Ceria,” ucap Bagja. “Ri, ini Sisy bagian admin yang support kerjaan aku di kantor,” ucap Bagja lagi sambil menghampiri Ceria. Tangannya meraih lengan Ceria, namun wanita itu menepisnya. “Permisi, aku gak lama kok, Mas, lanjutin aja, aku cuma mau ambil baju ganti Iren, sejak siang dia main terus sama Maura soalnya.” Ceria pergi meninggalkan mereka. Dia langsung ke kamar dan menjatuhkan diri di dipan. Dadanya terasa sesak, tapi tidak tahu apa yang harus diperbuat. Pantas saja suaminya betah di kantor, setiap hari ditemani dengan gadis muda, cantik, seksi. Sementara dia bahkan malu ketika menatap pantulan dirinya di cermin. Namun, air mata itu tak bisa tertahan. Ceria menangis, menungkup wajahnya dengan bantal. Pikirannya langsung melayang jauh. Seperti apa kedekatan mereka selama ini? Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa, Bagja selalu mengatasnamakan pekerjaan dan mencari nafkah untuk keluarga. Hatinya sakit, benar-benar merasa teriris. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD