Harusnya sekarang adalah masa-masa indah bagi Fitri bersama suami, menghabiskan masa tua bersama. Melihat anak dan cucunya menjalani kehidupan mereka yang bahagia. Saling menggenggam erat sambil menatap senja dari ufuk barat.
Tetapi Tuhan berkehendak lain, bahkan dengan cara yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Serangan jantung itu begitu tiba-tiba. Merenggut pria yang sangat ia kasihi, yang telah menemaninya selama hampir tiga puluh tiga tahun lamanya.
Kini bahkan anak kandungnya pun membencinya tanpa alasan jelas. Fitri ada dalam lara paling menyakitkan di sepanjang usianya.
"Danu, kenapa kau meninggalkanku? Kenapa kau membiarkanku menghadapi semua sendirian?" Fitri memukul dadanya sendiri. Tubuhnya tiba-tiba merosot di atas lantai, seolah tidak ada lagi tulang yang menyangga kedua kakinya.
Fitri bahkan tidak bisa menahan Laras bersamanya. Ia dan Laras sama-sama berduka, namun ia tak habis pikir mengapa Laras melimpahkan semua kesalahan itu kepadanya. Kesalahan yang tidak pernah ia ketahui alasannya. Mengapa di saat ia ditinggal oleh pria sandaran hidupnya, Laras juga ikut meninggalkannya.
Fitri tak kuasa menahan isak tangis. Tuhan, cobaan seperti apa yang sedang Kau berikan padaku?
Pradopo hanya bisa melihat wanita yang kembali mengisi lubang hatinya berduka. Tidak perlu berpikir terlalu lama jika hanya untuk mengetahui bahwa wanita itu sedang dilanda kemalangan di atas kemalangan. Kehilangan suami dengan begitu tiba-tiba dan putri kandungnya sendiri mencurigainya berselingkuh ... dengannya.
Pradopo bisa membaca tuduhan itu hanya dari sorot mata Laras. Tiga kali pertemuan singkatnya dengan Fitri –yang tanpa sengaja— entah mengapa selalu berujung pada pertemuan dengan Laras. Ia bisa melihat tatapan benci itu dari Laras.
Pradopo tidak dapat mengorek isi hati Laras. Entah mengapa wanita itu berpikir ibunya berhubungan khusus dengannya. Tuhan, Engkau Maha tahu segalanya. Ia hanya tiga kali berjumpa dengan Fitri. Sekalipun wanita itu begitu spesial, tetapi ia tahu posisinya. Tidak mungkin bagi Pradopo untuk mendekati Fitri, untuk alasan merebut wanita itu dari suaminya misalnya. Pradopo merasa terlalu tua untuk melakukan sandiwara cinta seperti itu. Hanya saja, sekarang tidak ada lagi penghalang baginya. Jadi, ia berpikir inilah saatnya untuk datang dan menjadi sandaran hidup Fitri, cinta pertamanya dan kini ia yakin akan menjadi labuhan terakhirnya sampai menutup mata.
Pradopo menengadah, menelan kembali air mata yang telah terpupuk di kedua matanya. Namun saat kembali melihat Fitri menangis sendirian dengan suara isak tangis yang tak lagi ditahan. Air matanya ikut luruh, secepatnya ia mengusap dengan satu tangan.
Empat puluh satu hari lalu Pradopo datang dan mengikuti semua prosesi pemakaman Danu. Fitri melihatnya dengan tatapan kosong dan tanpa berkata apapun. Ia tahu Fitri tengah sangat berduka, ia pun tak yakin wanita itu benar-benar melihatnya. Kala duka teramat datang, kau takkan tahu siapa-siapa yang tengah menghampirimu, memberimu penghiburan yang kau sangkal, namun akan kau sebutkan saat orang lain tengah berada dalam duka yang sama. Kau hanya akan berkata kalimat itu tidak akan membantu, walau kau pun akan berkata demikian kepada orang lain hanya karena merasa itu adalah kalimat yang wajib kau ucapkan.
Oh sial, Pradopo tak yakin Fitri benar-benar melihatnya. Bisa saja mata Fitri menatapnya tetapi siapa yang tahu pikiran wanita itu sedang dimana.
Pradopo memutuskan untuk kembali datang. Empat puluh hari lebih satu hari waktu yang sudah cukup bagi Fitri menikmati duka dalam kesendirian. Ia datang tidak lagi dengan sebuah ketulusan. Ia datang untuk memberikan wanita itu penghapus lara. Ia datang untuk mencoba mengisi hati Fitri yang kini sedang berlubang. Ia ingin menjadikan Fitri sebagai istrinya. Wanita yang akan menemani hari tuanya. Berdua, sampai maut memisahkan.
Laras memandang tajam pria yang masih berdiri kaku di teras rumahnya bersama seorang pria yang lebih muda di sebelahnya.
Jadi inikah waktunya pria itu menggantikan posisi ayahnya? Tidakkah ini terlalu terburu-buru? Masa iddah ibunya belum separuh jalan. Sungguh pria terkurang ajar yang pernah ia temui.
Laras tidak ingin membuang waktu sekalipun hanya sedetik saja. Ia berjalan cepat dengan satu tangan menggandeng tangan anaknya dengan langkah lebar, melewati dua pria yang masih terpaku di tempatnya.
Fitri hanya bisa melihat punggung anaknya menghilang ke balik mobil mini van yang dikendarai menantunya. Kini ia sendirian, dengan masalah yang menumpuk dan tanpa seseorang yang ada di sampingnya. Fitri, tenggelam dalam kesedihannya hingga ia tidak menyadari kehadiran Pradopo sampai pria itu mengucap salam.
"Assalamualaikum." Pradopo tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia tahu Fitri sedang masa berkabung dan ditambah sedang bermasalah dengan putri tunggalnya. Ia harus melipur lara Fitri sesegera mungkin.
***
Seorang pria, mengenakan kemeja merah kotak-kotak, mengamati setiap gerak-gerik di rumah itu dari balik jendela rumah yang berseberangan dengan rumah tinggal Fitri dengan menggunakan teropong canggih. Satu sudut bibirnya terangkat, sebuah kepuasan menyelinap di hatinya.
Satu masalah kecil baru saja dilewati. Setan sialan bernama Ayah itu memang harus dilenyapkan. Tidak peduli siapa dia bagi wanita pujaannya. Siapapun yang menghalanginya HARUS MATI.
Pria itu memutar badan, ia berjalan menuju kamarnya sambil bersiul, membentuk nada yang ia karang sendiri. Ia memasuki sebuah kamar sederhana yang hanya berisi sebuah ranjang serta sebuah meja dan kursi. Di dinding yang berada di atas meja, tertempel sebuah gambar keluarga kecil yang terdiri dari seorang pria dewasa, seorang anak perempuan dan seorang wanita yang tengah tertawa bahagia.
Pria itu mengambil foto yang ia tempel menggunakan selotip. Pandangannya tertuju kepada seorang pria yang terlihat begitu bahagia. "Itu bukan tempatmu." Pria itu meludahi foto pria itu, sekalipun ludahan itu sebenarnya ikut mengotori foto wajah wanita terkasihnya.
Dengan ibu jari, pria itu mengusap air ludah dari gambar wanitanya lalu mencium foto itu seolah sedang mencium wanita tersebut.
"Sebentar lagi, Sayang. Sebentar lagi," lirihnya.
***