Tetapi saat mengetahui sang ibu diserang seseorang hingga harus dirawat di rumah sakit, Laras tetap saja gelisah. Khawatir. Apakah ibunya baik-baik saja? Ia tidak berpikir demikian. Wanita itu segera pergi ke rumah sakit dengan perasaan kalut. Ia tak lagi memikirkan siapa gerangan yang meneleponnya. Melihat kondisi ibunya sekarang, jauh lebih penting.
Ibu jangan mati! Laras tidak mau ibunya pergi. Hubungannya dengan ibu tidak baik. Ia tidak mau ibunya pergi dalam kondisi seperti ini. Tidak!
Kembali ke rumah sakit yang sama. Sang ayah pergi selama-lamanya beberapa minggu lalu, masih memberi kenangan buruk bagi Laras. Kembali berlari melewati lorong yang sama. Hati Laras seperti diiris sembilu. Tenggorokannya kering dan sakit. Dadanya terlalu sesak. Degup jantungnya berdetak terlalu cepat.
Laras takut ibunya meninggal. Laras takut ibunya pergi. Laras takut berdosa. Laras meneteskan air mata untuk ibunya. Wanita yang dulu disayanginya lalu dibencinya, tetapi sekarang tidak ada perasaan apapun selain khawatir.
Laras menuju paviliun bougenvil, dimana Fitri dirawat. Sekalipun bukan ICCU, tetap saja Laras berpikir mungkin ini menjadi akhir kisahnya bersama sang ibu.
Sampai di depan pintu bertuliskan bougenvil 1, detak jantung Laras sekeras tabuh genderang. Ketakutan-ketakutan menguasai hatinya. Oh ibu, bagaimana keadaanmu?
Membuka pintu, air mata Laras kembali mengalir. Sang ibu berbaring dengan kepala dibalut perban, darah tercetak jelas disana. Tidur dengan gelisah, wajahnya pucat pasi, entah apa yang kini menghiasi mimpi sang ibu. Tas yang sedari tadi ia genggam, terlepas dan jatuh di lantai. Tubuhnya gemetar, berjalan dengan bahu bergetar. Air mata luruh seperti anak sungai mengalir. Laras membungkam mulutnya, takut jika sang ibu terbangun karena mendengar tangisnya.
Siapa yang begitu tega menyakiti ibuku? Pertanyaan itu muncul di hati Laras. Sungguh biadab siapapun yang sudah menyakiti wanita seperti ibunya. Memangnya apa yang dicari di rumah orang tuanya? Ibunya bukan orang berada. Tidak ada yang berharga di rumah itu kecuali TV tua. Yang takkan laku di jual di pasar loak. TV tua yang terjual beberapa ribu rupiah di pengepul sampah. Tidak sebanding dengan nyawa ibunya.
"I ... bu," lirihnya. Pelan, Laras melangkah. Mendekati brankar ibunya yang terbaring dengan jarum infus di punggung tangannya. Melihat wajah tua ibunya, Laras tidak berani membayangkan bagaimana Fitri menghadapi penyerangnya.
Suara isak pelan membuat mata Fitri terbuka. Sesaat matanya silau, terkena sinar lampu yang berada beberapa meter dari wajahnya. Tetapi saat mulai dapat beradaptasi, ia tahu Laras berada di sisinya. Menangis untuknya. Putri yang ia cintai, ada di dekatnya.
"Laras...." Fitri berusaha bangkit tetapi saat mengangkat kepala, ia baru sadar ia terluka. Rasa nyeri akibat luka yang ia dapat, bercampur dengan rasa berdenyut-denyut di seluruh kepala. Membuatnya berusaha tidak merintih, sekalipun siksaan itu begitu teramat sangat.
Ingatan tentang kejadian yang baru saja ia alami membuat Fitri memejamkan mata. Berusaha meredam perasaan takut dan gelisah yang kembali datang. Siapa pria itu dan apa maunya? Jika hanya untuk merampok, mengapa harus ... Fitri tidak berani melanjutkan pertanyaan yang menari-nari di kepalanya.
"Ibu ... mana yang sakit?" Melihat ibunya memejamkan mata, Laras berpikir ibunya pasti sedang meredam rasa sakitnya. Ia tahu ibunya tidak pernah mengeluh kala sakit. Satu hal yang tiba-tiba kembali dalam ingatannya. Ibunya tidak pernah terlihat sakit. Mungkin memang tidak pernah sakit atau justru saat sakit, ibunya tidak menceritakan kesakitannya. Seperti yang ia lakukan kepada Saras, menyembunyikan rasa sakit agar anaknya tidak khawatir.
Seperti anak kecil, Laras tidak menahan diri untuk menangis. Di depan ibunya, Laras membiarkan dirinya dikuasai emosi. Laras memeluk ibunya erat. Rasa lega melihat ibunya hidup dan tidak separah yang ia duga, melingkupi seluruh hatinya.
Fitri pun berurai air mata. Rasanya begitu lama ia tidak memeluk Laras. Entah mengapa Fitri bersyukur karena kejadian itu membuat Laras mendekat padanya. Menunjukkan rasa sayang, yang sesaat Fitri pikir telah hilang dari hati anaknya.
"Ibu tidak apa-apa. Kamu jangan khawatir!" Fitri mengusap punggung Laras. Menenangkan hati anaknya yang masih terisak.
"Siapa yang melakukannya, Bu?" Laras melepas pelukannya. Ia mengusap air mata dengan punggung tangannya. Menatap ibunya, menunggu jawaban dengan saksama.
Fitri menarik napas dalam. Kejadian itu kembali berputar dalam ingatannya, tetapi secepatnya ia enyahkan kenangan itu. "Ibu tidak tahu," sesalnya.
"Sebaiknya kita lapor polisi." Laras mengambil tas yang teronggok di dekat pintu.
Ia hendak mengambil ponsel namun sepasang kaki dengan memakai sandal yang terbuat dari kulit, membuatnya mendongak. Pria itu, Pradopo. Sedang berdiri di depannya. Menatapnya dengan tatapan yang sulit ia terka.
"Aku sudah melapor polisi." Saat Laras mendongak, menatapnya. Hati Pradopo menciut, takut dengan reaksi Laras. Takut jika Laras marah kepadanya, kemudian berusaha mengusirnya atau melawannya atau jauh dari itu, bisa saja Laras marah-marah tak jelas.
Tetapi Laras bergeming. Ia mengambil tasnya kemudian berdiri. Menatap Pradopo cukup lama, menimbang hal-hal yang akan ia lakukan. Tetapi melihat kondisi ibunya sekarang, Laras memilih mendiamkan pria itu.
"Oh. Apakah polisi akan menyelidiki masalah ini?" Laras bertanya, tetapi sebenarnya satu pertanyaan besar kini mengisi kepalanya. Bagaimana Pradopo bisa tahu terlebih dulu? Apakah pria itu ada disana saat kejadian itu terjadi?
"Polisi masih menyelidikinya. Dua polisi berpakaian preman menjaga ibumu. Kamu jangan khawatir." Pradopo lega, pikiran negatifnya tidak terbukti. Laras tidak melakukan hal-hal yang ia takuti. Setidaknya tidak untuk sekarang ini.
Laras memutar badan, memandang ibunya yang sedang beradu pandangan dengan Pradopo. Laras menggenggam erat tasnya, berusaha meredam kemarahannya sendiri.
"Ibu ... tidurlah! Aku disini menjagamu." Laras tidak ingin terganggu dengan keberadaan Pradopo. Untuk saat ini ia tidak mau kesal karena pria itu –sekalipun sebenarnya ia sudah kesal—. Laras menoleh, menatap pria itu tajam. Melalui tatapannya, ia meminta pria itu pergi. Ia berharap Pradopo mengetahui maksud tatapannya.
Pradopo memandang Fitri. Wanita itu tersenyum kepadanya sambil mengangguk pelan. Pradopo sadar, ia tidak dibutuhkan sekarang. Meskipun ingin sekali tinggal, tetapi ia tidak mau memberi kesan buruk kepada calon anak tirinya. Laras keras kepala. Tidak mudah menaklukkan hati perempuan itu. Ia tahu, ia harus memiliki kesabaran ekstra dalam menghadapinya.
"Jika kamu perlu bantuan. Jangan segan-segan hubungi, Om! ... besok, Om kesini lagi. Laras, jaga ibumu!" Pradopo kembali memandang Fitri. Ingin rasanya mendekati wanita itu dan memberinya sebuah kecupan selamat tinggal, tetapi tentu saja tidak ia lakukan. Pradopo kembali memandang Laras sebelum ia memutar badan, berjalan dengan langkah berat. Meninggalkan wanita yang sangat ia cintai.
Laras bergeming, bahkan setelah Pradopo tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Pikiran Laras kosong. Entah mengapa tatapan Pradopo membuatnya berpikir bahwa Pradopo benar-benar peduli dengan ibunya. Laras harus terus meneguhkan hati. Ia tidak mau mengkhianati ayahnya. Tidak akan pernah.
***
Pradopo berjalan gontai. Pikirannya penat, dipenuhi wajah Laras dan Fitri. Dua wanita yang kini memenuhi hatinya. Ia ingin menikahi Fitri dan tentu saja menjadikan Laras sebagai putrinya. Bukan hanya sebagai anak tiri, tetapi benar-benar seperti putri kandungnya. Berada dalam posisi yang sama dengan Lesmana.
"Ayah ... apa Ayah baik-baik saja?" Lesmana menangkap kegelisahan ayahnya. Ia sendiri khawatir dengan Pradopo. Hubungan mereka sangat dekat, hingga Lesmana tahu ayahnya mencintai Fitri dan ia pun tahu Laras tidak menyukai ayahnya. Hanya saja ia tidak tahu alasan mengapa Laras tidak menyukai ayahnya.
"Tidak apa-apa ... ayo, pulang!" Pradopo menepuk pundak anaknya. Ia tidak ingin berlama-lama disini atau ia akan berubah pikiran.
Lesmana menepuk pundak ayahnya dan memberi pria itu sebuah senyuman, menunjukkan kepeduliannya.
Besok, aku harus bertemu Laras. Aku harus membantu ayah mendapatkan wanita yang dicintainya.