Pria itu berada di dalam sebuah kamar mandi yang sempit dan bau pesing. Berdiri di depan wastafel dengan cermin menempel di dinding. Memandang dirinya sendiri melalui pantulan kaca. Wajahnya dihiasi memar di bagian mata kiri. Kelopaknya tertutup dan membiru akibat pukulan keras seseorang. Bibirnya pecah, darah kering menghiasi sudut bibirnya.
Dua tangannya mengepal, urat-urat tangannya menonjol. Rahangnya mengeras, amarah menggelegar seperti guntur di sebuah badai. Satu tinjuan keras ia layangkan ke cermin, pecahan kaca seketika berceceran di atas wastafel. Kaca yang ia hantam membentuk sebuah lubang kecil berhias merah darah, mengalir dan membentuk lukisan abstrak pada cermin yang kini retak.
"Sial!" Satu misinya gagal. Wanita yang seharusnya mati, masih hidup. Sehat. Semua karena pahlawan kesiangan yang tiba-tiba datang.
Pria itu meludah di dekat wastafel. Ludahannya berupa lendir bening dengan bercak darah, sisa pukulan yang telah ia dapatkan. Ia kembali memandang wajahnya di cermin, sekalipun retak namun ia bisa melihat mulutnya yang masih berdarah. Tiga gigi seri atasnya lenyap, dua gigi seri bawahnya juga menghilang akibat pukulan itu.
Sial, padahal baru sekali gagal setelah ratusan misi lain yang berhasil. Tidak pernah sekalipun ia mendapatkan bonus atas keberhasilannya, sebaliknya ia justru dihajar habis-habisan hanya karena sebuah kegagalan kecil.
Pria itu menunduk dalam-dalam. Dua tangannya mencengkeram pinggiran wastafel seolah hendak meremukkannya. Misinya gagal. Dua kata itu berulang-ulang ia dengar, bukan dari mulut seseorang, tetapi dari hatinya sendiri. Sekali lagi ia memandang dirinya dari cermin. Tatapannya memperlihatkan betapa besar kemarahan yang kini ia rasakan.
***
Laras memandang ibunya yang telah kembali terlelap. Di tepi wajah ibunya terdapat perban sepanjang dua puluh senti. Laras merinding saat membayangkan betapa sakitnya saat sebuah pisau menggores wajah itu. Seseorang hampir menyamak –menguliti—kulit wajah ibunya. Mengapa seseorang begitu tega melakukannya? Untuk apa orang itu melakukan hal sekeji itu?
"Psycho," gumam Laras.
Laras terus memandang ibunya. Mata wanita itu bergerak pelan, mungkin Fitri bermimpi buruk. Bisa jadi bermimpi tentang pria psycho itu. Tiba-tiba Laras merasa kasihan kepada ibunya. Wanita itu tinggal di rumah seorang diri. Sebelum sekarang, Laras tidak pernah memikirkan tentang keamanan ibunya. Kini, setelah apa yang terjadi, Laras bertekad akan mengajak Fitri tinggal bersamanya.
Laras duduk di sofa. Lampu kamar inap sengaja ia matikan kecuali lampu yang berada di atas Fitri. Laras mendongak, memandang langit-langit kamar. Sekali lagi ia berpikir tentang membawa ibunya tinggal bersama. Mungkin inilah yang terbaik. Dengan cara ini, Laras bisa menghentikan hubungan Fitri dengan Pradopo.
Tetapi, keinginan Laras tidak semudah itu. Pradopo datang keesokan harinya bersama Lesmana. Hanya dengan menatapnya, Laras merasa gerah. Percikan-percikan cinta dari kedua orang setengah baya itu bisa ia rasakan. Emosi Laras kembali naik dan sulit dikendalikan. Ia memilih pergi dari ruangan sang ibu ketimbang melihat Pradopo dan Fitri seperti sepasang kekasih –sekalipun sebenarnya Fitri dan Pradopo hanya berbincang hal-hal yang wajar—.
Laras duduk di beranda, menikmati suasana tenang sembari merasakan terpaan angin yang sesekali melintas. Laras memijit dahinya yang penat. Ia juga memijit tengkuknya yang lelah hingga Lesmana datang dan memilih duduk di sebelahnya.
Lesmana adalah pria yang gagah. Tidak seperti Kevin yang tingginya tak jauh beda dengan Laras, Lesmana tinggi dan otot-ototnya kencang, Laras berpikir mungkin pria itu suka sekali berolah raga.
Lesmana tersenyum, ia sadar Laras memandangnya lekat. Entah apa yang dipikirkan wanita itu, tetapi sepertinya Laras bukan tipe wanita pemalu. Lesmana menyukai wanita seperti Laras.
"Apa kau tidak ingin pulang? Aku dan ayahku bisa menggantikanmu. Kau bisa beristirahat dulu."
Laras mendesis, memang siapa dia sampai berani mengusirnya? Ia tidak akan pergi dari sini kecuali bila ibunya keluar. Ah, emosi Laras kembali naik. Kesal akan situasi ini, Laras memutuskan berdiri. Ia harus mencari angin atau ia benar-benar kehilangan kendali.
Lesmana tahu Laras kesal. Wanita itu pergi tanpa basa-basi. Sikapnya menunjukkan bahwa Laras tidak menyukai kehadirannya. Tetapi mengapa? Atau jangan-jangan Laras tahu perasaan Pradopo lalu tidak setuju?
Lesmana tersenyum sambil mengangguk, menyetujui kemungkinan terakhir. Wanita itu tidak tahu bagaimana perasaan seseorang setelah ditinggal pergi orang terkasih. Mendapatkan kesempatan kedua seharusnya adalah sebuah keberuntungan. Lesmana geleng-geleng, ia bangkit dan kembali masuk untuk bergabung dengan ayah serta calon ibu tirinya.
***
Laras berjalan melewati lorong rumah sakit tanpa tahu kemana ia menuju. Pikirannya penat, dipenuhi pikiran-pikiran tentang hubungan kasih ibunya bersama Pradopo. Tanpa sadar langkah kakinya berhenti di depan ruang ICU, ruangan yang memberinya sebuah akhir sedih bagi ayahnya.
Laras menarik napas dalam lalu melanjutkan langkahnya. Sesaat ia menatap wajah-wajah sedih para keluarga pasien ICU yang duduk terpekur di ruang tunggu, persis sama seperti dirinya dahulu. Laras menggeleng, sudah bukan saatnya mengenang kisah lalu.
Kantin rumah sakit menjadi pilihan Laras. Di depan pintu, ia menatap seluruh isi kantin yang sedang ramai. Kios-kios makanan berderet di tepi ruangan sementara di tengahnya, berderet meja serta kursi yang sebagian besar telah terisi.
Seorang pria tersenyum saat melihat Laras mengedarkan pandangan. Ia duduk di dekat pintu dan sedang menikmati sepiring nasi campur serta segelas teh hangat. Saat mata Laras beradu dengannya, senyum pria itu membuat Laras mendekat.
"Pak Felix." Laras cukup terkejut dengan keberadaan mantan bos ayahnya. Tetapi setidaknya, Felix membuatnya tidak sendiri.
"Laras ... kudengar ibumu sakit dan dirawat disini."
Laras mendesah, ia mengangguk dengan air muka menyiratkan kesedihan.
"Oh, jadi benar. Bagaimana ibumu?" Felix melihat kesedihan Laras. Wanita yang malang, setelah ditinggal mati ayahnya, kini ibunya masuk rumah sakit.
"Sudah membaik ... bapak sendiri, siapa yang sakit?" Laras tidak ingin terlarut dengan perasaannya. Ia menatap Felix sambil menunggu jawaban.
"Hanya teman. Kamu mau makan? Pesan saja sesukamu, nanti aku yang bayar."
Laras mengedarkan pandangan sebelum ia melangkah ke arah kios bakso dan memesannya. Laras tentu saja membayar sendiri makanannya, tidak enak dengan Felix yang bukan siapa-siapanya. Setelah membayar, Laras mendekati meja Felix dan duduk di hadapan pria itu. Menikmati semangkuk bakso dengan dua butir bakso berukuran besar, setidaknya hati Laras sedikit terobati.
"Seharusnya biarkan saja aku membayarnya." Felix kecewa walau kemudian ia tersenyum saat melihat Laras terkejut.
Laras terlihat pucat dan kelelahan, tetapi kecantikan wanita itu masih saja terlihat jelas. Sayang sekali wanita ini sudah memiliki keluarga, karena Felix berpikir ia sangat pantas bersandingnya.
"Laras, jaga kesehatanmu. Kau tidak seharusnya memaksakan diri seperti ini." Felix menatap piringnya yang kosong. Tidak ada alasan baginya untuk bertahan lama, apalagi beberapa pekerjaan sedang menunggu.
"Laras, senang bertemu denganmu. Tapi aku harus kembali ke kantor. Sampai jumpa lagi, salam untuk ibumu." Felix bangkit, melihat Laras hendak berdiri, ia menahan wanita itu dengan gerakan tangan.
"Terima kasih, Pak Felix. Hati-hati di jalan." Laras tersenyum, sebenarnya ia sedikit kecewa padahal saat ini ia butuh teman bicara. Tetapi tentu saja ia tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan Felix melangkah pergi.
Laras melihat punggung Felix yang lebar semakin lama semakin menjauh. Ia kembali memandang mangkoknya kemudian kembali menikmati makanannya.
Seorang pria berdiri di depan pintu kantin rumah sakit. Melihat Laras duduk sendiri, pria itu mendekatinya.
"Aku perlu bicara serius denganm," ucapan pria itu membuat Laras terkejut.
Laras mendongak, menatap Lesmana yang kini duduk di hadapannya. Keseriusan wajahnya membuat Laras segera tahu topik pembicaraan seperti apa yang akan mereka bicarakan.
"Biarkan aku menyelesaikan makanku." Laras kehilangan selera makan, tetapi ia butuh waktu untuk berpikir dan menyusun strategi. Makan hanyalah alasan baginya dan Lesmana mengetahuinya.
Lesmana duduk dengan bertopang dagu, memandang Laras dengan sangat tenang sampai tiba saatnya ia berbicara.
Tanpa berbasa-basi, Lesmana berbicara, "Ayahku ingin menikahi ibumu. Aku memintamu, memberikan ijin mereka menikah. Ibumu dan ayahku, saling mencintai. Tidak ada alasan mereka tidak menikah, apalagi karenamu," ucapan sarkas Lesmana membuat hati Laras tertohok, alih-alih sedih lalu menangis, Laras justru terkekeh, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Kau ... kenapa kau berkata seperti itu padaku?" Laras marah bukan kepalang, ia baru saja tahu jika Lesmana sama saja dengan ayahnya. Bahkan Lesmana jauh lebih buruk dari ayahnya.
"Aku tahu kau melarang ibumu menikah. Ayahmu sudah meninggal, jadi untuk apa kau menghalangi mereka?"
Lesmana tidak punya perasaan, pria yang tidak punya hati. Bagaimana bisa pria itu mengatakan sesuatu yang sensitif dengan bahasa sekasar itu. Hati Laras seakan teriris, ia segera bangkit sambil memandang Lesmana dengan wajah meradang karena marah.
"Cukup! Hentikan!" Laras tidak ingin bertahan lebih lama, ia segera mendorong kursi dengan kasar lalu memutar badan.
Lesmana berdiri, ia menyebut nama Laras hingga membuat wanita itu urung melangkah. "Ibumu dalam bahaya. Aku dan ayahku bisa menjaganya."
Laras menoleh, ia berpikir Lesmana sedang mengoloknya. Ia merasa Lesmana sedang berkata bahwa ia tidak bisa menjaga ibunya. Laras membuang napas berat ke udara, ia berusaha menenangkan dirinya sendiri.
"Urusi saja hidupmu. Kau tidak usah ikut campur."
"Laras, kumohon jangan egois. Kau tidak tahu seberapa kesepiannya ibumu sekarang. Ia sangat membutuhkan ayahku. Pikirkan baik-baik!" Lesmana kesal dengan Laras yang begitu keras kepala, seperti kerasnya batu karang di tengah lautan. Lebih mudah melawan perompak ketimbang menghadapi seorang wanita seperti Laras. Kini ia tahu, mengapa Pradopo selalu bersedih setiap bertemu Laras.
Laras melangkah lebar-lebar, ingin segera menjauh dari kantin. Air mata mengalir begitu saja, namun dengan kasar ia mengusapnya. Laras butuh melampiaskan kemarahan, ia berjalan keluar rumah sakit tanpa tahu arah tujuan kecuali meredam amarahnya. Berjalan di tepi trotoar sambil menarik napas dalam, sangat sulit mengendalikan hatinya tapi ia harus melakukannya.
Melihat Laras semarah itu, Lesmana menjadi tidak enak hati. Ia ingin mengejar Laras dan meminta maaf. Tetapi melihat Laras berjalan keluar rumah sakit, ia tahu Laras pasti sangat kesal dengannya. Sial!
Perempuan memang sulit dihadapi. Diantara sekian banyak janda, mengapa Pradopo memilih Fitri sebagai calon istrinya dan menjadikan wanita sekeras batu sebagai calon saudara tirinya?
Bahkan menghadapi mantan komandannya saat ia tergabung di satuan angkatan laut dulu, tidak sesulit menghadapi Laras. Lesmana tahu ia butuh bantuan. Jika Laras sebongkah batu, ia butuh air untuk melunakkan hati wanita itu. Lesmana menghentikan langkah, ia memutar badan dan tidak lagi mengejar
Laras. Namun kemudian ia kembali memutar badan, tiba-tiba terbesit rasa penasaran. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Laras.
"Adikku. Kau harus menerima kakak dan ayahmu." Senyum seringai menghiasi wajah Lesmana.
Laras terus berjalan dan tidak akan berhenti walau kakinya lelah setengah mati kecuali setelah emosinya kembali stabil. Tidak peduli sejauh apa ia dari rumah sakit dan bagaimana ia menyeret kakinya nanti.
Lesmana mengikuti Laras sambil geleng-geleng, tidak menyangka jika Laras bisa semarah itu. Sial!