SIAPAPUN YANG MELUKAI LARAS, HARUS DIENYAHKAN!

1228 Words
Pernahkah kau sadari, waktu akan terasa cepat saat kau bahagia dan akan melambat saat kau sedih, kemudian waktu seolah berhenti saat kau mendengar kabar buruk setelah kejadian buruk terjadi. Itulah yang kini dirasakan Larasati. Seminggu terasa begitu cepat. Masa bersenang-senang yang diawali dari hari minggu dan diakhiri di hari minggu itu seolah terjadi dalam waktu sehari. Sementara waktu berlalu sangat lambat saat ia melihat ayahnya di ruang ICCU dan waktu seolah terhenti saat melihat garis lurus yang terlihat di monitor, pertanda detak jantung ayahnya telah berhenti. Kini waktu kembali terasa berhenti kala tanpa sengaja ia melihat ibunya sedang tertawa bersama seorang pria yang sejak awal telah ia benci. Dua tangannya terkepal, urat-urat lehernya menonjol dan ingin rasanya ia datang lalu mendamprat kedua orang yang tidak tahu malu itu. "Apa yang mereka lakukan?" geramnya. Tatapannya bak seekor elang melihat kelinci dari atas langit. Apa pantas seorang wanita yang baru saja ditinggal mati suaminya, kini terlihat asyik bercakap-cakap dengan pria lain di sebuah restoran yang masih dalam satu kecamatan dengan tempat tinggal mereka? Apa mereka tidak takut jika berpasang mata orang yang mereka kenal akan melihatnya? Tiba-tiba Larasati menyesal telah membangun rumah dalam satu kecamatan dengan orang tuanya. Dahulu ia berpikir tinggal dekat dengan orangtua bisa mempermudahnya berkunjung. Dengan tinggal di dekat orangtua, bisa setiap hari menjenguk mereka. Tetapi sekarang ia berpikir lain. Ia merasa malu, ia yakin akan banyak orang bergunjing tentang ibunya. Baru menjanda sudah berani bermain mata. Oh sial, pikiran-pikiran buruk tentang pikiran orang sedang menari-nari di kepala Larasati. Kevin masih berdiri di ambang pintu, di sisi kanan Larasati. Pria itu mendongak sambil mendesah pasrah. Tadinya ia berpikir makan malam di restoran langganan Larasati adalah penutup liburan yang sempurna, tetapi setelah melihat keberadaan sang ibu mertua, Kevin menyesal. "Sayang, kita ke restoran lain!" Kevin menarik lengan istrinya keluar, tetapi Larasati bergeming. Mata Larasati masih tertancap pada pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Bibirnya terkatup dan rahangnya mengeras. Ini bencana paling besar, jauh lebih besar dari kematian ayahnya. Sampai kapan pun, aku tidak akan merestui kalian, batin Larasati. Mengetahui bisa bertindak anarkis, Larasati memilih menuruti Kevin. Wanita itu berbalik, mengikuti sang suami menuju kendaraan mereka. *** Seorang pria berkulit kuning, tinggi dan berbadan proporsional, memiliki wajah begitu ramah, menatap sepasang manusia tua yang sedang di mabuk cinta. Kedua sudut bibirnya terangkat. Ini adalah pemandangan yang luar biasa indah. *** Fitri tidak pernah menduga akan ada pria yang datang begitu cepat bahkan setelah beberapa minggu kematian suaminya. Pria itu Pradopo, pria yang dahulu pernah menjalin hubungan saat mereka muda. Ingin rasanya Fitri segera menerima lamaran Pradopo, bukan karena ia tidak setia. Tetapi Danu telah meninggal dan ia berhak kembali menikmati kebahagiaan dengan seorang pria. Akan tetapi Fitri mengingat Laras. Ia paham betul bagaimana sikap Laras waktu itu. Sudah jelas Laras tidak akan menerima Pradopo sebagai ayah tirinya. Hati Fitri serasa hancur bahkan sebelum dibangun. Ia hanya bisa menatap nanar Pradopo sambil menggeleng pelan. "Maafkan saya, Pak. Tetapi ... saya tidak bisa." Suara Fitri begitu tertekan, ada getar kesedihan yang keluar dari setiap kata yang ia ucapkan. Rasanya seperti menolak kupon berhadiah langsung ratusan juta. Oh, hati Fitri hancur sudah. Tetapi apa boleh dikata, hati Laras adalah yang utama. Pradopo mendesah, sebagai seorang yang sering bertemu dengan banyak orang dan banyak berbicara dengan banyak orang. Pradopo bisa membaca kesedihan Fitri. Ingin rasanya berteriak kau berhak bahagia, tetapi alih-alih berkata demikian. Pradopo hanya bisa menghela napas berat. "Fitri, kumohon pikirkan lagi!" Andai bisa. Andai berani. Pradopo pasti sudah membawa Fitri pergi jauh. Sayangnya, hal nekat itu tidak akan pernah ia lakukan. Pria sejati harus menundukkan wanitanya dengan sikap ksatria. Lagipula, ia bukan hidup di dunia n****+ penuh romansa. "Saya sudah memikirkannya." Jawaban itu begitu saja keluar dari mulut Fitri. Getir tapi apa boleh buat. Fitri harus menelan pil pahitnya sekarang. Sesaat Pradopo memejamkan mata, menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Saat membuka mata, ia melihat Fitri tengah menyeka air mata. Hati Fitri terluka, tetapi hati Pradopo hancur. Tidak bisa dipercaya jika niatnya terkubur bersama penolakan. Namun cintanya belum kandas. Masih ada harapan, pikirnya. "Aku ingin kau memikirkannya sekali lagi. Minggu depan, aku kembali menghubungimu," desak Pradopo. "Kita bukan remaja lagi, Fit. Tidak perlu tarik ulur seperti dulu." Pradopo tersenyum. Skakmat untuk wanita yang pernah dicintainya beberapa puluh tahun lalu dan kini perasaan itu kembali tumbuh. Pradopo tiba-tiba teringat kisah mereka puluhan tahun silam. Hal yang sama pernah terjadi. Kali ini ia tidak akan membiarkan Fitri kembali menolaknya. Tidak akan pernah. Pradopo meninggalkan Fitri dengan rasa takjub. Pria itu masih mengingat kisah remaja mereka. Saat Fitri terpaksa menolak Pradopo karena perjodohannya dengan Danu. Astaga, Fitri merasa seperti kembali ke masa lalu saat dimana Pradopo meninggalkannya dengan sebuah permintaan yang hampir sama. Ingin menikahinya. Lama Fitri terpekur, memandang jejak Pradopo seolah pria itu masih disana. Pria itu baru saja pergi namun ia telah kembali merindukannya. Muda atau tua, kala cinta berbicara, tak memberi pengaruh apapun. "Bu Fitri." Suara seorang pria membuat tatapan Fitri beralih. Seorang pria berkulit kuning dengan senyum yang menawan. "Pak Felix." Fitri bangkit, memandang pria yang tak lain adalah pemilik perusahaan dimana dulu Danu bekerja. Pria yang selalu baik kepada keluarganya. "Oh. Senang bertemu anda disini." Felix tersenyum lebar, Fitri adalah wanita yang sangat baik. Istri mendiang anak buah kesayangannya. Yang telah menganggapnya sebagai keluarga. Felix mengulurkan tangan, kedua orang tersebut saling berjabat tangan. Tanpa diminta, Felix segera mengisi kursi yang tadi diduduki Pradopo. "Anda sendirian?" Felix masih mengumbar senyum ramahnya. "Tidak ... maksud saya, iya." Fitri tergagap. Tentu saja ia harus berkata ia sendirian, tak mungkin ia berkata 'tadi saya bersama pria yang melamar saya'. "Bagaimana kabar anda?" "Saya baik, Pak." Fitri berusaha meredam perasaan galaunya. Berbicara dengan Felix seolah sedang berbicara dengan atasannya. Sekalipun usia pria itu hampir sama dengan Laras tetapi tetap saja Felix mantan bos mendiang suaminya. *** Malam telah larut, namun demikian mata Fitri tidak mampu terpejam. Lamaran Pradopo memenuhi pikirannya. Berkali-kali menghela napas namun kepenatan tetap ia rasakan. Sekalipun berusia senja, bolehkah ia kembali mencecap kebahagiaan? Disini ia sendirian. Tidak ada teman bicara. Tidak ada seseorang mengisi hari-hari bersamanya. Danu telah pergi dan jelas tidak akan pernah kembali. Fitri membayangkan seandainya Pradopo ada disini, bersamanya. Namun Fitri segera menggeleng. Ia tidak boleh membayangkan yang tidak-tidak. *** Siapapun yang melukai Laras, harus dienyahkan! Begitulah kalimat yang terus mengisi kepala seorang pria memakai kemeja hitam kotak-kotak. Memakai penutup kepala hitam, berlubang di bagian mata dan mulutnya. Pria itu tengah berada di halaman tempat tinggal Safitri. Dengan sebuah obeng kecil yang siap mencongkel lubang kunci rumah itu. Serta sebuah belati kecil yang tersimpan di dalam saku celananya. Masuk ke rumah seorang janda tua, bukanlah perkara sulit. Memasukkan obeng ke lubang lalu mengutak-atiknya sesaat, pintu tua rumah itu segera terbuka. Rumah janda tanpa ditambah selot pintu sebagai pengaman adalah sebuah kecerobohan. pria itu masuk perlahan tanpa jejak suara. Perlahan melewati ruang tamu. Berjalan menuju tiga kamar berjajar dimana salah satunya adalah kamar sang pemilik. Pria itu telah mengetahui rekam jejak si pemilik rumah. Perlahan ia mendekati kamar paling belakang dimana Fitri tengah sibuk memikirkan Pradopo dan Laras. Wanita itu belum mengetahui sesuatu yang akan terjadi kepada dirinya. Hanya menunggu beberapa saat hingga akhirnya pintu kamarnya terbuka. Pria itu berdiri di depan pintu, dengan sebuah belati terhunus. Mengkilat kala terkena pantulan cahaya. Memberi rasa kengerian ke seluruh jiwa Fitri. Mata Fitri terbelalak, ia merapatkan dirinya dengan selimut. Seolah selimut bisa menyelamatkannya, tetapi Fitri sadar. Hanya Tuhan yang mampu menyelamatkannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD