…
“Bisa kita mulai?” tanya bapak penghulu kepada semua para hadirin yang ikut menjadi saksi di acara ijab qabul tersebut.
Semua melihat ke arah meja utama. Sebagian saksi merasa tegang. Dan sebagian lagi merasa biasa saja, sebab mereka memang terpaksa menghadiri acara pernikahan Zhain dengan gadis yang tidak sederajat dengan keluarga mereka.
Pak penghulu mulai menyodorkan tangan kanannya ke arah Zhain. Zhain segera menjabatnya. Bapak itu lalu melafalkan kalimat ijab qabul dengan menggunakan mikrofonnya.
“Bismillahirrahmannirrahim …”
Semua mengucap kata bismillah.
“Ananda Zhain Afnan, aku nikahkan engkau dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu, putri kami Chandani Oyuri binti Richard Brahma Oyuri dengan mahar seperangkat alat sholat dan uang sebesar 122.020 poundsterling tunai!” ucap bapak penghulu dengan suara tegas sambil menegakkan jabatan tangan mereka dalam satu hentakan.
Semua orang mulai tegang dengan jawaban Zhain.
“Saya terima nikah dan kawinnya Chandani Oyuri binti Richard Brahma Oyuri dengan mahar seperangkat alat sholat dan uang sebesar 122.020 poundsterling tunai!” ucap Zhain dalam sekali tarikan nafasnya.
“SAH??”
“SAH!!”
Semua orang mengucapkan kata SAH. Dan akhirnya mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Seorang dr. Zhain Afnan Sp. JP telah resmi menjadi suami Chandani Oyuri.
Mereka lalu memanjatkan doa kepada Allah yang dipimpin oleh seorang ustad. Sebagian orang merasa terharu dengan acara yang sakral ini. Sebagian lagi, merasa pernikahan ini biasa-biasa saja.
Dipta, tanpa sengaja dia menjatuhkan air matanya saat itu juga. Air mata yang dia tahan sejak memasuki aula acara sudah tak terbendung lagi.
Pak penghulu lalu menyuruh para keluarga untuk membawa keluar sang pengantin wanita. Semua mata tertuju pada seorang wanita yang sedang berjalan ke arah ruangan ijab qabul.
Ada Arisha dan Leta yang mendampingi wanita cantik itu. Wanita itu adalah Chandani Oyuri. Seorang wanita yang sudah sah menjadi istri Zhain beberapa menit yang lalu.
Terlihat dari ujung ruangan, seorang wanita berwajah sendu dengan gown khas Pakistan berwarna cream. Selendang sutra berwarna senada menghiasi puncak kepalanya. Tatanan rambut yang simple, hanya dikepang bagian atas kepalanya. Rambut yang diurai ke depan di letak pada bagian bahu kanannya. Tidak lupa hiasan pada bagian puncak kepalanya hingga menjulang ke keningnya.
Terlihat kedua tangan putih mulusnya sudah dihiasi dengan inai merah yang diukir dengan amat rapi dan cantik. Postur tubuhnya yang sedikit tinggi karena memakai heels 7 cm, membuatnya terlihat semampai.
Dia berjalan dengan anggun. Tangan kanannya digandeng oleh Leta, sedangkan tangan kirinya digandeng oleh Arisha.
Semua orang seperti terhipnotis. Mereka berbisik-bisik mengatakan bahwa istri Zhain sangat cantik. Sebagian lagi ada yang berbisik menghina Chandani dan mengatakan yang tidak-tidak tentang Chandani.
Tentu saja semua kamera sudah siap untuk mengabadikan momen bersejarah itu. Sebagian anggota keluarga Zhain juga ada yang membuat siaran langsung melalui media sosial mereka.
…
Saat berjalan menuju meja ijab qabul, Chandani teringat dengan almarhum kedua orang tuanya. Seandainya kedua orang tuanya masih hidup, dia ingin Papanya sendiri yang menikahkannya. Dan dia yakin kedua orang tuanya akan sangat bahagia jika melihat secara langsung bahwa anaknya sudah sah menjadi istri orang lain.
Tiba-tiba langkah kakinya terhenti.
Arisha dan Leta pun juga ikut menghentikan langkah kaki mereka. Dan melihat wajah Chandani.
Dia hampir meneteskan air matanya. Seketika dia teringat dengan ucapan Mama mertuanya, Arisha.
“Dengar Chandani! Aku tidak mau uang putraku menjadi sia-sia hanya karena make up mu luntur. Bahkan jika kau bekerja sekalipun. Gaji setahun mu tidak akan mampu membayar MUA yang sudah disewa mahal-mahal oleh putraku hanya untuk menghias wajah sok polos mu itu”
Sungguh perasaan Chandani saat ini bercampuk aduk. Dia belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Dia tidak menyangka akan menikah di usianya yang masih 22 tahun. Dan dia juga tidak menyangka kalau akan menjadi istri seorang dokter spesialis jantung dari kalangan berada.
Leta sungguh tidak tahan dengan keadaan yang seperti ini. Dia paham, Chandani putri angkatnya itu pasti teringat dengan almarhum kedua orang tuanya.
Sebagai seorang anak perempuan, ketika dirinya menikah pasti menginginkan keluarga yang lengkap ada di sampingnya. Ditemani oleh Ibunya berjalan menuju meja ijab qabul.
Mata Leta hampir meneteskan air matanya. Dia tidak sanggup ketika mengingat masa-masa dimana selama 13 tahun Chandani hidup bersama mereka. Dan mereka menyiksa Chandani baik lahiriah maupun bathiniah. Membuatnya hidup tidak nyaman di dalam rumah mereka dan menjadikan Chandani layaknya seorang pembantu.
Tapi setelah Chandani keluar dari rumah, rumah menjadi sepi. Dan dia sadar, bahwa ada sesuatu yang kurang di rumah mereka. Seseorang yang selalu berkata lembut dan tidak pernah membantah. Chandani, Chandani yang berhati tulus dan sangat penyayang.
Sedangkan Arisha? Dia juga berpikiran sama dengan Leta. Tapi lagi-lagi ego nya menang melawan isi hatinya. Dia sedikit menggerakkan tangan kiri Chandani. Chandani pun tersadar dari lamunan singkatnya.
…
Zhain menatap dimana sosok Chandani yang berjalan ke arahnya. Dia terdiam. Dia menganga tak percaya dengan apa yang dia lihat. Wanita cantik yang berjalan ke arahnya adalah istrinya. Wajah yang cantik alami itu adalah miliknya sekarang, pikir Zhain.
Chandani lalu duduk di samping kiri Zhain. Dia benar-benar gugup dan tidak menyangka jika sekarang ia telah menikah dan mempunyai seorang suami.
Zhain masih tetap menatap ke arah depan. Dia sedikit grogi berada di samping wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya secara Agama dan Negara.
Bapak penghulu lalu menyuruh kedua pengantin untuk saling bertukar cincin. Dia menuntun dua orang yang telah sah menjadi sepasang suami istri, untuk melakukan beberapa hal setelah ijab qabul.
Mereka berdua bertukar cincin. Cincin platinum berlapiskan berlian putih kebiruan melingkar indah di jari manis Chandani. Dan cincin platinum dengan desain simple hanya sebutir berlian putih biru kecil ditengahnya, melingkar manis di jari kekar Zhain.
Chandani lalu mencium tangan kanan Zhain. Zhain menatap wanita yang ada di depannya saat ini. Wanita yang baru saja dia kenal. Bahkan dia sendiri pun tidak mengetahui asal-usul wanita yang sekarang sudah sah menjadi istrinya itu.
Sedetik Chandani menatap Zhain. Seketika itu juga Zhain masih menatapnya lekat.
Mereka saling bertatapan mata. Kedua mata yang saling beradu. Mengisyaratkan suatu kata yang sulit untuk diucapkan. Pancaran dua pasang bola hitam yang bergerak seakan meminta suatu penjelasan bermakna cinta.
Bagaikan bumi yang berhenti berputar pada porosnya. Bahkan mereka tidak sadar kalau orang-orang mulai tersenyum menatap mereka berdua.
Zhain tidak menampik, bahwa Chandani sungguh sangat cantik hari ini. Walau bagaimana pun Chandani dan masa lalunya, dia sudah sah menjadi istrinya. Terlepas dari itu semua Zhain akan mulai membuka dirinya secara perlahan untuk istrinya, Chandani Oyuri.
…
Prosesi foto sudah berlangsung lama. Mulai dari persiapan akad sampai mereka sama-sama bertanda tangan di buku nikah mereka masing-masing. Termasuk acara foto keluarga besar keluarga Zhakaria Afnan dan keluarga Pradipta Salaman.
Setelah acara sesi foto selesai, acara selanjutnya adalah meminta restu dan doa dari kedua keluarga mereka.
Kini mereka berjalan menuju kedua orang tua Zhain, Zhakaria Afnan dan Arisha Cantara. Zhain bersimpuh di kaki Zhaka, sedangkan Chandani bersimpuh di kaki Arisha.
Proses sungkeman ini sungguh membuat sebagian hadirin menjadi terharu, terutama Dipta dan Leta.
“Pa, Zhain memohon maaf apabila selama ini Zhain ada berbuat salah baik dalam hal perilaku dan perkataan yang menyinggung hati dan perasaan Papa.” Zhain masih melanjutkan kalimatnya.
“Di hari ini, Zhain telah resmi menjadi seorang suami. Tolong, maafkan segala kesalahan Zhain di masa lalu. Dan bimbing Zhain agar bisa menjadi seorang suami yang bijaksana seperti Papa,” ucap Zhain sambil mencium kedua tangan Zhaka.
Sejujurnya Zhain mulai terharu. Entah bagaimana perasaannya saat ini. Dia merasa sedikit ada yang aneh di hatinya. Antara siap dan tidak siap untuk menjadi seorang suami dari wanita yang sama sekali belum dia kenali sifat dan karakternya.
“Anakku, apapun kesalahan yang kau perbuat di masa lajang mu, sebelum kau menikah. Jauh sebelum kau meminta maaf atas semua kesalahanmu, Papa sudah memaafkannya. Papa sudah memaafkan segala kesalahan mu itu. Jadilah suami yang bisa membahagiakan istri dan anak-anakmu kelak, Nak. Dan terus bimbing istri dan anak-anakmu untuk selalu mencari ridha Allah,” jelas Zhaka panjang lebar, dia hampir meneteskan air matanya.
Zhain masih bersimpuh di kaki Zhaka. Sambil terus mencium kedua tangan Zhaka.
“Dan satu lagi Nak. Jangan pernah menyia-nyiakan istrimu. Jangan sakiti hatinya. Jangan berbicara kasar padanya. Tegur dia jika dia melakukan kesalahan. Jangan membentaknya apalagi memukulnya. Dan ingat, jangan sekali-kali kau mengucapkan kata talak kepadanya, meskipun itu hanya sekedar bercanda. Karena sekali kau mentalak dia, maka rumah tangga itu, tidak akan nyaman lagi. Sebab seorang istri merupakan pokok utama sebagai sumber kebahagiaan dalam sebuah rumah tangga,” jelas Zhaka lagi sambil mengelus-elus tangan putranya itu.
Zhain mengangguk iya. Dia lalu memeluk papanya dengan erat sambil tetap menahan mata yang terasa perih.
Zhaka yang tak tahan, dia pun meneteskan air matanya. Dia tidak menyangka, putranya yang dulu masih di dalam kandungan istrinya Arisha, kini sudah menjadi seorang suami.
Dunia ini cepat sekali berputar. Dia masih terus memandangi wajah putranya itu. Wajah yang dulu masih terlihat mungil dan menggemaskan. Bahkan dia masih bisa merasakan tangan mungil Zhain saat dia baru pertama kali belajar berjalan. Zhaka benar-benar memutar kembali memori otaknya tentang masa kecil Zhain saat ini.
“Nak, berbahagialah. Buatlah istrimu bahagia. Bahagiakanlah keluarga kecilmu. Hingga maut memisahkan kalian berdua,” ujar Zhaka lagi lalu mencium kening putra semata wayangnya itu.
Zhain mengangguk iya.
“Terima kasih Pa. Terima kasih banyak. Zhain akan selalu mengingat pesan Papa,” ucap Zhain lalu memeluk Papanya lagi, tanpa dia sadari air matanya pun mulai membasahi wajah tampannya itu.
…
Disisi lain...
Chandani bersimpuh di kaki Arisha. Dia memegang kedua tangan Mama mertuanya itu, tapi Arisha menggenggam kedua tangannya seakan tidak memberi izin Chandani untuk menyentuhnya.
Chandani seketika merasa ciut saat itu juga. Dia berpikir, apakah dia begitu rendah sehingga Mama mertuanya tidak ingin disentuh olehnya. Tapi meskipun begitu, Chandani tetap memegang gepalan tangan Arisha.
Arisha pun tidak bisa berkutik lagi. Karena fokus semua orang tertuju pada mereka. Mau tidak mau, dia harus membiarkan Chandani menggenggam kedua tangannya.
Chandani bingung harus mengatakan apa. Dia takut salah bicara dan membuat marah Mama mertuanya itu.
Melihat kebingungan Chandani, membuat Arisha memajukan wajahnya membisikkan sesuatu di telinga Chandani.
“Kau mau bicara apa, huh? Kau mau bilang kalau kau telah menang, iya? Sudah bisa masuk ke dalam keluarga kami. Kau memang sudah sah menjadi istri putraku. Tapi jangan berharap aku mau mengakuimu sebagai menantuku!” ketus Arisha berbisik sepelan mungkin di telinga Chandani.
Bisikan Mama mertuanya itu masih bisa terdengar oleh Chandani. Saat itu juga Chandani ingin meneteskan air matanya. Tapi dia berusaha menahannya sekuat mungkin.
Apakah hidup ini adil? Bahkan Mama mertuanya pun belum bisa menerimanya. Dan tidak mau mengakuinya sebagai menantunya.
Tapi dia kembali pada kelembutan hatinya. Dia yakin dengan kesabarannya, lambat laun Mama mertuanya pasti bisa menerimanya dan menyayangi dia selayaknya putri kandungnya sendiri.
Chandani tidak bisa berkata apapun. Dia hanya diam sembari tersenyum kecut.
Setelah membisikkan sesuatu di telinga menantunya itu. Dia lalu menjauhkan wajahnya dari Chandani dan sedikit menggerakkan kedua tangannya seraya memberi kode kepada Chandani untuk segera melepaskan tangannya.
Chandani yang mengerti kode dari Mama mertuanya pun lalu melepas genggamannya. Dia menahan air matanya dengan sekuat tenaga.
Di hari bahagia seperti ini, seharusnya semua menantu mendapatkan restu dari mertuanya. Terutama Mama mertuanya. Sang Mama mertua pasti akan memberikan beberapa wejangan kepada menantu perempuannya.
Tapi berbeda dengan Chandani. Dirinya malah mendapat ucapan yang tidak mengenakan hati. Bahkan ucapan itu seperti duri tajam yang menusuk serta langsung menembus ke hatinya.
Acara sungkeman itu lalu berganti posisi.
Saat Chandani hendak berdiri, dia seperti kesulitan karena heelsnya yang ternyata menginjak gownnya. Arisha yang mengetahui kesulitan menantunya itu bahkan tidak membantunya berdiri.
Zhain yang melihat itu langsung menghampiri Chandani dengan langkah lebarnya. Dan memegang pinggang dan lengan kanan Chandani lalu membantunya berdiri.
Deg!
Jantung Chandani seperti berhenti berdetak. Tubuhnya seperti disengat listrik karena merasakan tangan kekar suaminya itu yang sangat terasa di pinggangnya.
‘Ya Allah. Kenapa jantungku tiba-tiba seperti ini,’ bathin Chandani meneguk salivanya susah payah.
Dalam diamnya dan masih memegang pinggang istrinya, Zhain lalu mengarahkan istrinya untuk bersimpuh di kaki Zhaka.
Arisha yang melihat itu menjadi panas. Dia sungguh belum rela jika anaknya bermesraan dengan Chandani. Bahkan dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Chandani sudah sah menjadi menantunya.
…
“Ma, Zhain memohon—” ucapan Zhain disela cepat oleh sang Mama, Arisha.
“Mama memaafkan segala kesalahan mu, Sayang. Mama menghargai segala keputusanmu. Mama berharap kau segera mendapatkan kebahagiaan seperti yang kau impikan,” ucap Arisha lalu mengecup lama kening putra satu-satunya itu.
Zhain hanya diam mendengar dan menelaah ucapan Mamanya. Dia merasa bahwa Mamanya sungguh tidak menginginkan pernikahan ini untuk terjadi. Dia paham kalau Mamanya sudah mulai tidak nyaman. Dia lalu mencium kedua pipi Mamanya untuk mengakhiri acara sungkeman mereka.
…
Disisi lain…
Chandani menundukkan kepalanya mencium kedua tangan Papa mertuanya, Zhaka.
“Pa, Te-terima kasih sudah mau menerima Chandani menjadi menantu, Papa.” Chandani terbata seraya takut-takut.
Zhaka mengerti kalau menantunya pasti grogi bicara kepadanya.
“Iya, Chandani. Sekarang kau adalah menantuku. Menantuku satu-satunya. Papa akan selalu mendoakan supaya kalian hidup bahagia dan tetap berada di dalam lindungan Allah,” ucap Zhaka mengelus pelan puncak kepala menantunya.
“Terima kasih untuk doa papa kepada kami,” balas Chandani lalu mendongakkan kepalanya dan tersenyum kepada Papa mertuanya itu.
Zhaka lalu memeluk menantunya sambil mengelus pelan punggung menantunya.
‘Berbahagialah Nak. Papa tahu, kau gadis yang sangat tulus. Ketulusanmu akan menyadarkan istriku, Arisha. Kau pasti bisa mengambil hatinya.’ Bathin Zhaka memeluk hangat menantu satu-satunya, Chandani Oyuri.
…
Setelah mereka bersungkem kepada kedua orang tua Zhain. Mereka lalu bersungkem kepada Dipta dan Leta sebagai perwakilan keluarga dari Chandani.
“Zhain, walaupun Chandani adalah putri angkat kami. Tapi kami sangat menyayanginya. Almarhum orang tuanya menitipkan dia kepada kami dan berharap kami menikahkan dia dengan seorang pria yang mampu menjaga dan memberinya kasih sayang tulus di sepanjang hidupnya.”
Deg!
Zhain diam, mendengar kalimat dari Ayah mertuanya itu.
“Saya sangat berharap banyak padamu Zhain. Tolong bahagiakan Chandani. Jangan biarkan dia kesepian. Jangan sakiti hatinya apalagi fisiknya.”
Dipta masih menahan air matanya.
“Tolong lindungi dia. Lindungi dia dalam situasi dan kondisi apapun. Aku serahkan dia sepenuhnya padamu Zhain. Aku serahkan amanah almarhum kedua orang tuanya kepadamu mulai sekarang.”
Dia masih mengusap pelan kedua bahu pria yang kini sudah ia anggap sebagai menantunya sendiri.
“Dan mulai hari ini, Chandani sudah menjadi tanggung jawabmu sepenuhnya. Aku menyerahkan putriku padamu,” ucap Dipta sambil meneteskan air matanya.
d**a Zhain terasa sesak. Entah kenapa cara bicara Ayah mertuanya itu membuat dia semakin ingin mengenali Chandani lebih dalam lagi.
“Aku akan membuat istriku bahagia. Aku akan membahagiakannya semampuku,” jawab Zhain singkat sambil mengangguk iya.
Mereka lalu saling berpelukan.
…
Disisi lain…
Chandani bingung harus mengatakan apa kepada Ibu angkatnya, Leta. Dia bahkan tidak berani membuka suaranya.
Leta yang mengerti kalau Chandani takut menghadapinya. Dia lalu mengambil kedua tangan Chandani hingga membuat Chandani sedikit terkejut.
Dia mendekatkan wajahnya ke arah Chandani dan mulai membuka suaranya.
“Bicaralah Icha. Katakan apa yang ingin kau katakan,” ucap Leta sambil menggenggam kedua tangan Chandani.
Chandani diam sesaat. Dia sangat tidak menyangka, kalau Ibu angkatnya itu mau menggenggam tangannya dan mendengar ucapannya.
“Eumh …Bu—”
Dia sempat menjeda kalimatnya untuk mengambil napas sejenak.
“Chandani memohon restu dari Ibu untuk per-pernikahan kami,” ucap Chandani singkat dan gagap karena bingung ingin mengatakan apa lagi kepada Ibu angkatnya itu.
Leta masih memperhatikan gerak gerik dan mimik Chandani. Dia sendiri pun tidak tahu akan membalas ucapan Chandani dengan kalimat seperti apa. Dia masih menjaga image nya.
‘Kau masih sama Chandani. Kepolosan dan keluguan di wajahmu masih seperti yang dulu,’ bathin Leta berwajah datar.
Mereka masih sama-sama diam.
‘Berbahagialah. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan dari keluarga barumu Chandani. Maafkan kami. Maafkan sikap kami yang selama ini tidak bisa memberikan kebahagiaan yang utuh kepadamu. Berbahagialah, Nak,’ bathin Leta seraya berdoa untuk putri angkatnya, Chandani.
Dia menahan air matanya. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan Chandani. Dia tidak ingin Chandani berpikir yang tidak-tidak karena air matanya itu.
“Aku doakan supaya kalian hidup bahagia dan hanya maut yang bisa memisahkan kalian,” ucap Leta singkat tanpa menggerakkan tangannya.
…
Leta menatap menantu laki-lakinya itu dengan penuh ketegangan. Dia sangat yakin jika pria ini penuh kasih sayang. Menantunya ini pasti bisa menjaga putri angkatnya, Chandani.
Zhain masih menundukkan kepalanya di kaki Leta.
“Zhain, sekarang kau sudah sah menjadi suami anak kami Chandani. Sayangi dia dan jangan sakiti hatinya, apalagi … apalagi sampai menyakiti fisiknya,” ujar Leta dengan suara lembut, menatap Zhain dengan pandangan yang kosong.
“Iya, Bu. Saya akan menjalankan amanah mu, Bu.” Zhain sambil mengangguk iya. Dia lalu mencium tangan Ibu mertuanya itu.
“Dan satu lagi Zhain,” ujar Leta seraya menyuruh Zhain untuk mendongakkan kepalanya.
Zhain lalu menatap Leta.
“Jika kau sudah tidak mencintai dan menyayanginya lagi, kembalikanlah dia ke rumah kami dengan cara baik-baik. Atau panggil kami, agar kami menjemputnya kembali,” ucap Leta dengan wajah serius dan meneteskan air mata di sudut mata sebelah kirinya.
Zhain terdiam. Dia melihat kesungguhan di wajah Ibu mertuanya itu, lalu mengangguk iya.
“Aku akan selalu melindungi dan menyayanginya dalam kondisi apapun, Bu.” Zhain tersenyum.
‘Aku tidak tahu harus balas ucapanmu dengan kata apa, Bu. Tapi, aku akan berusaha untuk melindungi dia. Itu janjiku pada kalian dan pada almarhum orang tuanya,’ bathin Zhain lalu berdiri dari posisi bersimpuhnya.
Selanjutnya, mereka lalu bersungkem kepada Ghayda Hamrah, Eyang mereka. Ida memberikan banyak wejangan kepada kedua cucunya itu. Selain bahagia, Ida juga berjanji pada dirinya sendiri akan selalu melindungi Chandani selama dia masih bernafas. Karena Ida sudah menganggap Chandani sebagai cucu perempuannya sendiri.