---**---
Rumah Zhakaria Afnan, Jakarta.,
Pagi Hari.,
“Chandani!!” teriak Arisha memanggilnya dari dapur.
Chandani lalu spontan mencampakkan baju-bajunya di atas tikar gulung. Dia lalu segera keluar dari kamarnya, dan tergesa-gesa menuruni anak tangga.
Di dapur, wajah Arisha sudah merah padam. Dia lalu melihat Chandani yang sudah berjalan ke arah dapur.
Praaangg!!
Arisha melempar sebuah piring kaca ke arah Chandani. Emosinya sudah tidak tertahan lagi.
Chandani terkejut. Dia sedikit memundurkan langkah kakinya. Dia hampir saja meneteskan air matanya.
“Kenapa kau berdiri disitu, huh?! Cepat kemari!” teriak Arisha padanya dengan kedua tangan sudah menggepal kuat.
Chandani menegukkan salivanya dengan susah payah. Dia lalu berjalan pelan ke arah Mama mertuanya, Arisha. Dia sangat takut sekarang. Dia tidak tahu lagi, apa kesalahan yang dia lakukan hari ini. Dan apa yang akan Mama mertuanya lakukan padanya sekarang.
Arisha tersenyum remeh padanya. Inilah yang Arisha inginkan, melihat Chandani ketakutan ketika berhadapan dengannya.
Dia pernah berpikir, kalau dia mungkin Mama mertua yang sangat jahat. Tapi dia segera menepis itu semua dengan pikiran bahwa Chandani adalah wanita yang licik. Dia hanya mau menguasai harta putranya saja.
Sungguh Arisha sangat salah menilai Chandani. Dia belum tahu apa-apa mengenai ketulusan menantunya itu.
Chandani sudah berada di hadapan Arisha. Mereka hanya di halangi oleh meja makan.
“Kau tahu apa salah mu??” ketus Arisha sedikit meninggikan nada bicaranya.
Chandani hanya menggelengkan kepalanya seraya mengatakan tidak.
“Biar aku beri tahu. Kau lihat ini hah? Ada gelas kotor disini. Dan kau tidak mencucinya. Kau pikir, kau jadi menantu disini hanya untuk berleha-leha saja, huh?!” ketus Arisha sambil membanting gelas yang dia pegang ke arah kaki Chandani. Dia mulai emosi.
Cettaarrr!!
Chandani terlonjak kaget. Dia benar-benar tidak tahu kalau masih ada gelas kotor di wastaple.
Karena seingatnya, dia sudah mencuci semua piring kotor. Dapur sudah dia bereskan sampai bersih. Ingin sekali rasanya dia membuka suaranya saat ini.
“Dengar! Jangan kau pikir dengan ibu mertua dan suamiku selalu membela dan memanjakanmu, lalu kau bisa terbebas dari segala pekerjaanmu di rumah ini. Jangan harap Chandani! Jangan harap!” ketus Arisha dengan emosi meluap-luap.
Tubuh Chandani bergetar. Dia sangat takut sekarang.
“Kau memang benar-benar gadis bisu. Setiap kali aku bertanya dan berbicara, kau hanya menggeleng atau mengangguk iya. Sungguh kasihan sekali putraku menikahi gadis licik dan bodoh seperti mu!” ucap Arisha tersengal akibat emosinya.
Chandani masih tetap diam menundukkan kepalanya sambil meremas-remas kedua tangannya. Dia ingin sekali mengatakan sesuatu.
“Lihatlah! Orang tua mana yang mau menikahkan anaknya dengan gadis kampungan seperti mu. Dan aku rasa, tidak ada satupun orang tua yang mau menerima menantu seperti mu. Dasar licik!” ketusnya dengan nafas tersengal.
Chandani sudah tidak tahan. Akhirnya, dia memberanikan diri membuka suara.
“Bu, apa salah Chandani? Kenapa sampai saat ini Ibu belum bisa menerima Chandani di rumah ini?” tanyanya dengan suara hampir menangis.
Arisha berjalan mendekatinya. Tangan kanannya mulai tergepal kuat.
Chandani bingung sekarang. Apakah dia harus menjauh atau tetap diam dalam posisi berdirinya.
Plaakk!! Plaakkk!!
Arisha menampar pipi kanan dan kiri Chandani, hingga kedua pipi Chandani terlihat merah karena kulitnya yang putih dan mulus. Dia melakukannya atas gesekan emosi yang tidak terbendung lagi.
Chandani memegang pipinya yang di tampar oleh Mama mertuanya itu. Air mata mulai menggenang di kedua mata hitamnya itu.
“Berani sekali kau bertanya padaku, huh? Kau pikir, kau ini siapa di rumah ini??”
Dia menatap Chandani penuh amarah.
“Jangan kau pikir aku tidak tahu, kalau putraku belum bisa menerimamu sebagai istrinya! Kau ingat ini baik-baik!”
Arisha masih mengeraskan deretan giginya.
“Kau memang menantu di rumah ini. Tapi, sampai kapanpun, aku tidak akan menerima dirimu sebagai menantuku! Dan putraku, kau pasti sudah paham itu! Kalau kau tidak akan pernah mungkin bisa menyentuh hati putraku. Karena dia tidak akan membiarkan itu terjadi!!”
Dia berbicara sambil memicingkan matanya.
“Jadi, kau sudah tahu posisimu di rumah ini bukan?? Jangan sekali-kalinya kau berani bertanya padaku! Karena kau tidak mempunyai hak apapun atas diriku! Kau paham?!” ketus Arisha panjang lebar meluapkan semua emosi di hatinya. Karena masih belum bisa menerima Chandani sebagai menantunya.
Chandani hanya diam. Dia berusaha tenang dan menahan air matanya itu.
“Dasar wanita licik!!” ketusnya lagi lalu berjalan menyenggol bahu Chandani. Dia meninggalkan Chandani seorang diri di dapur.
Chandani hampir saja jatuh karena senggolan dari Mama mertuanya itu. Mengingat banyaknya pecahan kaca di lantai, akibat piring dan gelas yang dibanting oleh Mama mertuanya, Arisha.
Chandani lalu berjalan mengambil nampan sampah dan sapu untuk membersihkan kaca yang berserakan dilantai. Dia lalu mengutipnya satu persatu dengan hati-hati.
Air matanya sudah berada di pelupuk matanya sekarang. Dia tidak tahan mendengar bentakan dan hinaan Mama mertuanya itu. Menurutnya, Mama mertuanya itu sudah sangat keterlaluan sekali padanya.
Sudah hampir 3 minggu dia menjadi menantu di keluarga Zhakaria Afnan, tapi dia bahkan belum bisa mengambil hati Mama mertuanya itu.
Apapun yang dia lakukan selama ini selalu saja salah dimatanya. Bahkan dia sampai rela melakukan apapun keinginan Mama mertuanya, agar Mama mertuanya itu memberikan sedikit saja belas kasih terhadapnya. Karena sejujurnya, Chandani pun ingin sekali merasakan bagaimana rasanya di beri perhatian dan kasih sayang dari Mama mertua sendiri.
Setelah membereskan kaca yang berserakan di lantai, dia lalu berjalan ke halaman belakang dan membuang serpihan kaca itu ke dalam tong sampah. Lalu meletakkan kembali nampan sampah dan sapu di dekat dapur.
Chandani lalu berjalan menuju kamarnya. Dia melihat sebuah kamar besar. Dan sangat nyaman. Bahkan bisa membuat nyaman sang pemilik kamar.
Namun tidak bagi Chandani. Dia merasa kamar yang dia tempati ini tidak membuatnya nyaman. Dia lalu berjalan menuju sudut kamar yang disekat oleh sebuah lemari hias kecil miliknya.
Dia duduk di atas tikar, tempat dimana baju-baju sederhananya belum ia lipat. Pandangannya saat ini kosong. Dia meringkuk, memeluk kedua kakinya. Menenggelamkan wajahnya di balik tumpuan kakinya itu.
Chandani tidak mampu menahan sesak di dadanya lagi. Tangisnya pun pecah. Dia mengeluarkan air matanya sederas mungkin tanpa menimbulkan suara tangisannya. Dia takut kalau suaminya, Zhain akan mendengarnya. Dia tidak ingin suaminya juga membentak dan memarahinya lagi seperti biasa.
Dalam tangisnya, dia mulai mengingat kembali tentang hidup baru yang dia jalani setelah sehari menjadi istri seorang dr. Zhain Afnan, Sp. JP.
---**---
1 Bulan yang lalu.,
Rumah Zhakaria Afnan, Jakarta.,
Kamar Zhain dan Chandani.,
Pagi Hari.,
Saat ini Chandani sedang membaca Al-Qur’an nya. Sedangkan suaminya, Zhain, dia sedang menunaikan sholat shubuhnya. Yah! Mereka sholat masing-masing. Dan belum ada percakapan apapun di antara mereka berdua sejak kemarin malam.
Selesai dari acara resepsi pernikahan, mereka berdua memilih untuk kembali ke rumah keluarga Zhakaria Afnan.
Dan sekarang kehidupan baru Zhain Afnan dan Chandani Oyuri pun di mulai.
Setelah selesai membaca Al-Qura’an, Chandani membereskan perlengkapan alat sholatnya. Dia melihat suaminya, Zhain berada di luar, di balkon kamar mereka.
Chandani ragu, sejujurnya dia ingin sekali mendekati suaminya itu dan mencoba untuk menyelami kehidupannya agar tidak terjadi kecanggungan diantara mereka.
Dia memilih untuk duduk di king size nya sambil memilin baju tidurnya. Ia bingung harus melakukan apa sekarang, melihat sekarang jam menunjukkan pukul 04.30 pagi.
Setelah berpikir beberapa menit, dia akhirnya memilih untuk pergi ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk keluarga barunya. Dia pikir, mungkin suaminya sedang ingin sendiri. Dan Chandani tidak berani mengganggu waktunya.
Dia lalu membuka pintu kamar hendak berjalan menuju dapur.
Ceklek!
Zhain mendengarnya. Dia mendengar bunyi suara pintu kamarnya tertutup. Dia lalu menoleh ke arah belakang. Istrinya sudah tidak ada lagi di kamar. Pikirnya Chandani pasti ke dapur. Mengingat status wanitanya itu sekarang adalah seorang istri. Dia harus melayani suami dan keluarganya.
Zhain menghela nafasnya pelan sambil menyangga kedua tangannya pada kaca pembatas balkon. Dia menyadari bahwa dia sudah tidak lajang lagi. Dia sudah menjadi seorang suami. Bukan hanya menafkahi secara lahiriah, dia juga harus menafkahi istrinya secara bathiniah.
Itu membuat Zhain bingung. Pasalnya sampai saat ini Zhain belum memiliki keberanian untuk mendekati istrinya yang pendiam itu. Bahkan dia ragu untuk berbicara dengannya. Bagaimana tidak, istrinya saja selalu bergemetar ketika Zhain hanya berhadapannya.
Dia sempat berpikir, apa yang membuat istrinya itu menjadi penakut ketika berhadapan dengan seseorang. Istrinya bahkan tidak berani untuk mengutarakan apa yang ada di hatinya. Dan itu membuatnya sulit untuk memahami bagaimana perangai istrinya. Apa yang istrinya suka dan tidak suka.
Bagaimana pun Chandani, dia tetap istrinya. Zhain sudah yakin menikahinya, berarti Zhain harus berani menerima segala resiko, halangan, dan rintangan yang terjadi di dalam rumah tangganya untuk ke depannya.
Dia juga akan menjaganya apapun yang terjadi. Mulai hari ini, dia pikir dia harus memulai rumah tangganya dengan beberapa hal kecil yang bisa membuat dia dan istrinya saling mengenal satu sama lain.
Kemudian saling mendekatkan diri satu sama lain. Dengan begitu, dia bisa dengan leluasa memberi istrinya nafkah secara bathiniah tanpa ada rasa canggung.
Dan awal untuk menjalankan niatnya itu adalah komunikasi. Dia harus melakukan komunikasi sesering mungkin kepada istrinya. Agar semua berjalan lancar. Dan dia juga tidak ragu untuk menyentuh istrinya walau hanya mengecup singkat pipi mulus istrinya atau memanggilnya dengan panggilan yang romantis.
Dia juga seorang laki-laki, tidak menampik bahwa dia selalu b*******h ketika melihat penampilan sederhana istrinya. Wajah naturalnya, kulitnya yang putih dan mulus, leher jenjangnya, serta kakinya yang benar-benar mulus.
Kepolosan istrinya yang menambah nilai plus tersendiri bagi Zhain. Menurut Zhain, istrinya itu benar-benar polos. Dan itu menandakan bahwa istrinya belum pernah mengenal pria lain sebelumnya kecuali dengan dirinya yang sudah sah menjadi suaminya.
Zhain menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Bisa-bisanya dia berpikiran kotor di saat shubuh begini. Sialnya, yang di bawah sana mulai bangun. Oh Zhain tentu saja tidak tahan.
Dia masuk ke dalam kamarnya lagi. Berjalan menuju kamar mandi, melampiaskan hasratnya itu dan menjadikan istrinya sebagai objek fantasi liarnya. Setelah melampiaskan hasratnya itu, dia lalu mandi junub kembali. Sungguh pagi yang sangat menyebalkan baginya.
…
Dapur.,
Chandani melihat ke arah dapur. Sudah ada Bi Atik dan Bi Susi, Eyang Ida, dan Mama mertuanya, Arisha. Walau dengan langkah ragu, Chandani tetap melangkahkan kakinya menuju dapur.
Semua orang melihat siapa yang datang. Arisha yang mengetahui Chandani terlebih dulu, dia segera membuang wajahnya. Dan kembali fokus pada masakannya.
Sedangkan kedua pembantu mereka, tersenyum dan menyapa Chandani dengan sebutan Nyonya.
“Selamat pagi Nyonya Chandani.” Mereka menyapanya kompak.
Chandani tersenyum kikuk.
“Eh … Pagi Bi Atik, Bi Susi.” Chandani melirik ke arah Mama mertuanya yang memandangnya sinis.
Ida meletakkan mixer yang dia pegang, lalu berjalan ke arah Chandani.
“Ayo sini bantu kami memasak, Nak.” Ida tersenyum ramah sambil menggandeng tangan Chandani menuju meja masak.
Kedua pembantu mereka tersenyum ke arah Ida dan Chandani, lalu sekilas melirik ke arah nyonya besar mereka, Arisha. Mereka sudah tahu, kalau nyonya besar mereka tidak menyukai Chandani sejak awal.
Mereka sendiri juga tidak paham, kenapa nyonya besar mereka bersikap kasar terhadap Chandani. Padahal Chandani sendiri tipikal wanita yang lembut dan bertutur kata sopan, pikir mereka.
“Nak, kamu kan pengantin baru. Kenapa cepat sekali bangun, hmm? Tubuhmu pasti Lelah, bukan? Karena seharian melayani tamu kemarin?” tanya Ida sambil mengaduk adonan kue yang dia buat.
“Enggak apa-apa, Eyang. Chandani sudah terbiasa bangun pagi dan beres-beres di dapur,” jawab Chandani kikuk, lalu ikut membantu Eyangnya.
Mereka semua memasak dengan di selingi beberapa percakapan antara para bibi dan Ida. Mereka mencoba membuat Chandani untuk nyaman tinggal di rumah ini.
Berbeda dengan Arisha, dengan niatnya yang ingin membuat Chandani supaya tidak betah di rumah mereka, dan segera memisahkan putranya dengan Chandani. Dia diam sedari tadi. Jika bukan Mama mertuanya, Ida yang mengajaknya bicara, dia tidak akan membuka suaranya.
…
Beberapa menit kemudian.,
Mereka sudah berkumpul di meja makan. Tapi tidak ada Arisha disana.
“Zhaka? Dimana Ica, Nak?” tanya Ida kepada putra satu-satunya itu.
“Dia bilang ada yang dia mau ambil dari kamarnya. Dia menyuruh kita untuk sarapan duluan,” jawab Zhaka.
Zhain menyimak. Dia pikir, Mamanya tidak akan mau sarapan karena ada istrinya, Chandani. Dia lalu mengambil sikap.
“Biar Zhain yang memanggil Mama. Kalian sarapan duluan saja,” ucap Zhain berdiri dari duduknya yang tepat di samping Chandani.
Chandani melihat suaminya. Sesaat itu juga, Zhain membalas tatapan istrinya lalu tersenyum ke arahnya.
“Sarapanlah duluan. Aku akan panggil Mama dulu,” ucap Zhain membelai lembut rambut istrinya.
Chandani mengangguk iya sambil tersenyum manis. Seketika itu, hati Chandani merasa terenyuh. Sangat nyaman baginya, walau hanya dengan belaian di rambutnya saja.
Ida yang melihat sikap cucunya itu, menjadi senyum-senyum sendiri. Dia bahkan tahu, kalau Zhain sedang beradaptasi dengan Chandani. Dia yakin kalau suatu hari, mereka akan bersikap selayaknya suami istri tanpa ada rasa canggung satu sama lain.
Sedangkan Zhaka, dia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Pasalnya selama ini dia tidak pernah melihat putranya menjalin hubungan dengan wanita mana pun.
Jadi, baginya ini adalah pemandangan pertama yang sangat membahagiakan dalam hidupnya. Dia tidak menyangka, kalau anaknya mau menerima Chandani secara perlahan.
…
Kamar Zhaka dan Arisha.,
Zhain mengetuk pintu kamar mamanya.
Tokk... Tokk... Tokk...
Zhain membuka pintu kamarnya. Dia melihat Mamanya sedang duduk di depan cermin rias.
Arisha menatap anaknya dari depan cermin riasnya. Kedua sudut bibirnya sedikit mengembang.
Zhain berjalan mendekati Mamanya. Dia lalu memeluk lembut Mamanya dengan membungkukkan tubuhnya. Dia mencium puncak kepala Mamanya itu.
“Ma, ayo kita sarapan bersama dibawah. Ikut sama Zhain,” ujar Zhain lembut kepada sang Mama.
Arisha menggelengkan kepalanya, melempar pandangannya ke arah lain.
“Ma? Cobalah untuk menerima istriku. Dia wanita yang baik, Ma.” Zhain berusaha menenangkan hati Mamanya.
Zhain berusaha untuk membuat Mamanya luluh dan mau menerima istrinya, Chandani.
Arisha lalu melepas pelukan sang anak. Dia lalu berbalik menghadap Zhain dan berdiri dari duduknya. Dia mendongakkan kepalanya, karena tubuh Zhain yang lebih tinggi darinya.
“Dari mana kamu tahu kalau dia wanita baik-baik? Sudah berapa lama kamu mengenalnya, Zhain? Dan sejak kapan kamu mulai mengetahui seluk beluk hidupnya? Katakan pada Mama sekarang,” ujar Arisha beruntun dengan wajah datarnya, menatap manik mata sang putra kesayangannya itu.
Deg!
Zhain tidak bisa menjawabnya. Dia hanya diam memandang sang Mama yang ternyata masih belum bisa menerima kehadiran istrinya di rumah ini.
***
***
-Chandani Oyuri-
Ya Allah Ya Tuhanku
Kuatkan aku
Kuatkan aku untuk menghadapi takdir hidup yang kau berikan padaku
Ya Allah Ya Tuhanku
Aku memohon belas kasihmu untukku
Luluhkan lah hati seluruh keluarga suamiku agar menerima ku dengan tangan terbuka
Izinkanlah aku untuk menunjukkan rasa hormat dan baktiku sebagai menantu di rumah ini
Ya Allah Ya Tuhanku
Kuatkan hatiku
Pegang teguh pendirianku
Aku yakinkan diriku
Aku bisa melembutkan hati mereka
Terutama hati ibu mertuaku