Dipta, dia sungguh malu sekali, karena istrinya secara blak-blakan berbicara mengenai maharnya seakan-akan dia menjual Chandani dengan harga yang sangat mahal.
“Pak. Saya minta maaf kalau istri saya berbicara kurang sopan,” ucap Dipta menatap tajam istrinya.
Leta hanya diam sembari tersenyum kecut, karena Dipta mulai terlihat marah. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Chandani yang merasa mulai merasa aneh, dia semakin meremas-remas kedua tangannya. Dia sangat gugup sekali. Tapi dia juga tidak berani angkat bicara.
“Saya akan berikan apapun kepada kalian. Apa yang kalian minta, akan saya penuhi. Sebagai tanda terima kasih saya karena sudah merawat dan membesarkan calon istri saya Chandani dengan penuh kasih sayang,” ujar Zhain terlihat sungguh-sungguh. Sengaja mengatakan seperti itu karena ingin melihat reaksi mereka.
Mereka semua terdiam menatap Zhain. Keluarga Dipta mulai tegang karena ucapan Zhain.
Pasalnya apa yang dikatakan Zhain seperti tengah menyindir mereka. Mereka sadar kalau selama ini mereka belum sepenuhnya memberikan kasih sayang mereka kepada Chandani.
Bahkan Sinta dan Sahya pun melihatnya dengan tatapan tak percaya. Sungguh pria yang gentleman menurut mereka.
Sedangkan Arisha, dia melirik Chandani sekilas.
‘Gadis pintar. Kau sudah mencuci otak semua keluargaku,’ bathin Arisha sambil tersenyum palsu ke arah Chandani.
Dia sungguh tidak percaya, jika Chandani bisa membuat hati putranya, Zhain yang dingin bahkan yang tak bisa disentuh oleh wanita manapun. Kini menjadi hangat, melunak, dan membela seorang gadis sok polos dan licik seperti Chandani.
Zhain lalu berbicara lagi.
“Dan untuk mahar. Saya akan berikan berapa pun untuk calon istri saya Chandani. Karena itu adalah haknya. Dan sepenuhnya wajib dia gunakan sampai habis tak bersisa,” ucap Zhain sekadar mengingatkan mereka.
Semua keluarga Dipta terdiam, terutama Leta. Leta tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Bahkan rencananya untuk mengambil mahar sebagai hak penuh Chandani pun gagal. Karena Zhain seperti mengetahui niat buruknya itu.
Ida sangat bangga terhadap cucunya itu. Sangat bijak dan cepat memahami situasi dan kondisi. Ida pun sadar, kalau keluarga angkat Chandani sangat licik. Tapi dia tidak memperdulikan mereka semua. Yang dia pikirkan saat ini hanya Chandani, calon cucu menantunya.
Sedangkan Arisha? Karena merasa dirinya hanya diam saja, dia lalu angkat bicara.
“Sepertinya semua sudah jelas. Putraku sudah menentukan pilihannya. Dan dia sendiri yang akan mengurus semuanya. Jadi kalian tidak perlu repot-repot mengurus segala keperluan pernikahan ini. Karena ada kami yang akan mengurus segala kekurangannya,” ucap Arisha seraya menarik perhatian Mama mertuanya.
Ida tersenyum menatap menantunya itu. Walaupun dia tahu, menantunya itu belum sepenuhnya menerima Chandani. Tapi dia pikir, setidaknya Arisha sedikit mau ikut campur dalam keputusan ini.
Setelah berbicara panjang lebar. Akhirnya mereka membuat sebuah keputusan dan menyudahi pembicaraan mereka.
Chandani merasa lega karena akhirnya ketegangan itu telah berlalu. Sekarang saatnya dia mempersiapkan diri dan mentalnya untuk menjadi bagian dari keluarga Zhakaria Afnan. Keluarga terpandang dengan pergaulan kelas menengah ke atas yang selalu berkontribusi dengan para pengusaha dan orang-orang bertahta.
***
Ruangan ijab qabul bernuansa green white. Terdapat banyak bunga melati, mawar dan lily putih menghiasi sekitar dinding ruangan ijab qabul. Lampu-lampu putih menyelinap diantara tirai-tirai halus nan sutra disana.
Meja ijab qabul yang dilapisi kain sutra halus bermanikan butiran-butiran putih berkilauan. Terdapat enam kursi putih disekitar meja yang sudah dihiasi dengan pita dibelakangnya. Pita yang dihias dengan rangkaian beberapa bunga melati, mawar, dan lily putih.
Tidak lupa dengan aroma khas melati, mawar dan lily putih yang menambah kesan sakral acara ijab qabul tersebut.
Semua dekorasi ruangan ijab qabul tersebut sesuai dengan selera Chandani. Zhain menyuruh WO mereka untuk mendekor ruangan ijab qabul sesuai dengan keinginan calon istrinya, Chandani.
Sungguh ruangan yang penuh dengan kesucian dan ketegangan bagi mempelai pengantin yang akan duduk disana.
…
Zhaka tersenyum ke arah Zhain yang terus memejamkan matanya sembari mengatur nafas teraturnya. Dia lalu sedikit berdehem untuk menyadarkan Zhain dari ketegangannya.
Zhain lalu menatap ke arah Papanya. Zhaka sedikit menggoda putranya itu. Dia mengedipkan sebelah matanya kepada Zhain.
Zhain lalu memalingkan wajahnya dari papanya hingga direspon gelengan kepala oleh Zhaka. Keanehan antara Ayah dan putranya, bahkan disaat bahagia seperti ini.
Zhain gugup karena semua orang berfokus kepadanya. Dia juga penasaran dengan Chandani yang sengaja tidak diperbolehkan keluar dari ruangan sebelum ijab qabul dimulai.
Melihat kegugupan putranya, membuat Arisha tidak tahan. Dia lalu beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dari ruangan ijab qabul tanpa menghiraukan tatapan suami dan Mama mertuanya ke arahnya.
Zhain, melihat Mamanya pergi dari meja ruangan ijab qabul. Dia sedikit khawatir jika Mamanya mengatakan sesuatu kepada Chandani dan membuat Chandani menjadi takut dan membatalkan acara pernikahan mereka ini.
Zhaka berusaha menenangkan Zhain, seakan mengisyaratkan kepada Zhain kalau Arisha, Mamanya tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh.
Zhain dan Zhaka sungguh sangat memahami Arisha. sedangkan Ida, dia sudah menyuruh orang suruhannya untuk tetap menjaga Chandani di dalam kamarnya. Termasuk tetap mengawasi Arisha jika berani melakukan hal-hal aneh kepada Chandani atau keluarga angkat Chandani, Pradipta Salaman.
…
Kamar VVIP.,
Saat ini Chandani sudah siap dihias oleh seorang MUA terkenal di Indonesia. Wajahnya yang blasteran antara Indonesia dan Jepang. Wajah yang cantik bak Dewi Yunani dapat membuat siapa saja yang melihatnya menjadi terpukau.
Wajah aslinya saja sudah cantik. Ditambah lagi dengan hiasan make up natural ala Pakistan, menambah kecantikan tersendiri di wajah Chandani.
Aura yang luar biasa terpancar keluar dari tubuh Chandani yang berbalut busana khas Pakistan. Gown berwarna cream yang didesain khusus dengan ukiran unik diseluruh gown, ditambah aksen batu-batu manik disana.
Selendang berbahan sutra, berwarna senada dengan gown yang didesain dengan motif simple disana. Selendang sederhana yang menutupi sebagian rambutnya yang sudah di tata ke depan bagian kanan.
Rambut yang ditata sangat sederhana, mencerminkan kesederhanaan seorang Chandani Oyuri. Di bagian tengah rambutnya diberi hiasan sebuah batu mutiara cantik dengan beberapa butiran berlian di sekitarnya.
Tidak lupa kedua tangannya yang sudah dihiasi dengan ukiran inai merah yang cantik. Beberapa jarinya yang juga sudah mengenakan beberapa cincin yang terdapat banyak butiran berlian di setiap cincinnya.
Sungguh penampilan pengantin yang sangat sederhana sekali. Tetapi tetap terlihat anggun dan elegan.
Di hari bahagianya ini, Chandani terlihat seperti seorang ratu. Yah! Ratu sehari.
Tepat dihari ini, hari dimana dia akan sah menjadi istri seorang dr. Zhain Afnan, Sp. JP. Sekaligus dia akan menjadi ratu sehari dihadapan banyak orang.
Dimana dia akan bersanding bersama Zhain diatas pelaminan dengan dekorasi pernikahan yang dia impikan selama ini. Dan Zhain tentu saja memenuhi keinginan Chandani sebagai calon istrinya.
…
Ceklek…
Terlihatlah sebuah ruangan yang sangat luas sekali. Kamar VVIP di hotel berbintang lima ini. Di setiap sudut ruangan dihiasi dengan berbagai bunga mawar. Dan tentu saja terdapat bunga melati dan lily di setiap rangkaian bunganya. Furniture yang serba mewah dan elegan, mencerminkan betapa kayanya keluarga Afnan.
Arisha berjalan masuk ke dalam ruangan itu. Dia lalu bertanya kepada salah satu orang yang ikut menghiasi Chandani.
“Dimana dia?” tanya Arisha bersikap tenang dengan nada lembut.
Dia tentu saja tidak menunjukkan karakter aslinya di depan banyak orang, kalau dia tidak menyukai calon menantunya, Chandani. Walaupun sebenarnya dia sudah mulai jengah jika harus berakting kepada setiap orang yang menyapanya dan memberinya kata selamat.
“Di dalam kamar, Nyonya.” Salah satu dari mereka menjawab pertanyaan dari keluarga sang mempelai pengantin wanita.
Arisha lalu berjalan menuju kamar Chandani. Dia membuka knop pintu.
…
Kamar Chandani.,
Ceklek…
Seorang wanita cantik berparas bak pengantin Pakistan di dalam sana menoleh ke arah pintu yang terbuka. Wanita itu lalu berdiri dari duduknya dan berbalik membelakangi cermin, menghadap seseorang yang masuk ke dalam kamarnya.
Mereka saling berpandangan.
‘Aku akui kau sangat cantik Chandani. Tapi hatimu tak secantik wajah lugu dan polosmu itu.’ Bathin Arisha menatap tajam ke arah Chandani.
Chandani yang ditatap tajam oleh calon Mama mertuanya pun merasa sangat takut. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya ke bawah.
“Kebiasaan burukmu itu adalah selalu menundukkan kepalamu ketika orang lain sedang menatapmu. Kau pikir itu sopan??” ujar Arisha sambil memicingkan matanya.
Jika Chandani bersikap seperti itu, dia merasa sedikit sesak di dadanya. Sesaat dia merasa kasihan terhadap Chandani.
Tapi sedetik kemudian, dia beralih menepis itu semua. Karena dia yakin kalau Chandani hanya menutupi wajah busuknya dibalik topeng polos dan lugunya itu.
Chandani yang ditegur seperti itu oleh calon Mama mertuanya lalu mendongakkan kepalanya, menatap mata Arisha dengan wajah takut-takut.
Deg!
Seketika Arisha merasa iba kepada Chandani. Dia merasa kalau Chandani akan meneteskan air matanya.
‘Kau sangat lihai memonopoli perasaan orang lain Chandani!’ bathin Arisha menahan rasa sesak di dadanya.
“Dengar! Jangan keluarkan air mata buayamu itu. Karena itu akan merusak make up di wajah sok polos mu itu!” ketus Arisha bernada tinggi, masih berdiri di depan pintu.
Chandani menelan salivanya dengan susah payah. Dia mulai berkeringat dingin.
“Kau dengar aku tidak?!” ketus Arisha yang geram karena Chandani masih saja diam. Bahkan sama sekali tidak berontak.
Chandani hanya menganggukkan kepalanya saja. Dia sungguh takut jika harus berhadapan dengan Mama Zhain. Dia merasa kalau dirinya sangat tidak pantas untuk berada di posisinya sekarang.
“Apa kau bisu?!” tanya Arisha dengan nada semakin geram.
“Tidak, Bu. Chan-Chandani tidak menangis kok, Bu.” Chandani terbata-bata, mencoba membalas tatapan Mama mertuanya, Arisha di depannya.
‘Kau masih saja tetap memanggilku Ibu. Kau ini manusia jenis apa, sampai aktingmu bisa membuat semua orang terhipnotis dan iba terhadapmu!’ bathin Arisha berbicara dengan wajah datarnya.
“Dengar Chandani! Aku tidak mau uang putraku menjadi sia-sia hanya karena make up mu luntur. Bahkan jika kau bekerja sekalipun. Gaji setahunmu tidak akan mampu membayar MUA yang sudah disewa mahal-mahal oleh putraku hanya untuk menghias wajah sok polos mu itu!” ketus Arisha sambil menatapnya sinis.
Chandani hanya diam sembari menahan sesak di dadanya. Dia harus bisa menahan air matanya. Di dalam hati kecilnya, dia berjanji akan melunakkan hati Mama Zhain dan mau menerimanya sebagai menantunya.
“Dan satu lagi … kau harus menunjukkan senyuman khasmu. Supaya orang lain merasa kalau kau bahagia di hari ini. Kau mengerti?!” ketus Arisha masih menatap tajam Chandani.
“I-iya Bu, Chandani mengerti.” Chandini masih gugup sambil mengangguk iya.
“Dan, kau harus biasakan memanggilku dengan sebutan Mama. Tapi hanya di depan banyak orang, termasuk di depan Ibu mertuaku, suamiku, dan putraku. Kau paham?” tanya Arisha lagi pada calon menantunya itu.
“Iya Bu, Chandani paham,” jawab Chandani lalu mengangguk iya.
“Bagus. Sekarang persiapkan dirimu. Dan atur wajah serta akting mu supaya lebih meyakinkan mereka!” ketus Arisha lalu menutup pintu kamar dengan kasar.
Braaakkkk!!
Chandani melonjak kaget. Dia memegang dadanya dengan tangan kanannya sambil mengatur nafas pelan-pelan.
Dia lalu duduk di kursinya semula.
‘Ya Allah. Jika ini takdir yang terbaik darimu. Maka aku akan berterima kasih padamu ya Allah,’ bathin Chandani sambil menengadahkan kedua tangannya, lalu mengusapnya pelan di wajahnya, seraya berkata Amin. Dia lalu bercermin kembali.
Tidak lama kemudian, masuklah seorang MUA beserta para asistennya dan perancang busana Chandani untuk melihat Chandani serta memperhatikan setiap detail penampilannya.
Tokk... Tokk... Tokk...
Pintu kamar Chandani kembali diketuk oleh seseorang.
Ceklek…
Pintu terbuka. Dan tampaklah tiga orang wanita dengan outfit dress mereka yang terlihat mewah hari ini, siapa lagi kalau bukan ibu angkat dan kedua saudari angkatnya, Leta Niswari, Sinta Salaman dan Sahya Salaman.
Mereka menatap ke iri kepada Chandani yang sedang dirapikan oleh para MUA dan designernya. Wanita itu memang sudah cantik sejak awal, apalagi ketika dihias seperti ini. Wajahnya bahkan seperti boneka hidup.
Chandani tersenyum ramah kepada mereka, namun mereka tidak merespon apapun. Chandani sudah terbiasa diperlakukan seperti itu oleh ibu dan saudari angkatnya, jadi dia merasa biasa saja.
Sedangkan mereka yang masih mengurus Chandani merasa aneh melihat tiga orang wanita itu. Pasalnya mereka hanya diam menatap Chandani dengan tatapan sinis dan tidak suka.
“Enak sekali kau sekarang. Bakal jadi orang kaya raya,” ucap Sinta sinis sambil bersedekap di dadanya.
“Jelaslah! Pintar juga kau merayu kak Zhain. Sampai dia buta cinta dan mau menikahi bebek buruk rupa seperti mu!” ketus Sahya.
Para pengurus Chandani melirik ke arah mereka. Mereka semakin yakin, kalau keluarga Chandani tidak menyukai Chandani.
Sedangkan Leta, dia hanya diam saja mendengar ucapan kedua putrinya itu. Bukan dia membela ucapan kedua putrinya, tapi dia masih berkutat pada pemikirannya.
Dia merasa bahwa Chandani pantas bahagia bersama keluarga barunya. Tapi di sisi lain, dia merasa kalau ada sebagian keluarga barunya sedikit tidak menyukainya. Dia takut kalau ada yang menyakiti Chandani seperti selama ini yang mereka lakukan kepada Chandani.
Mengingat bagaimana sifat Chandani, yang hanya diam jika dihina bahkan disakiti secara fisik sekalipun. Dia tidak akan berontak atau membantah sedikitpun. Leta takut, kalau sewaktu-waktu Chandani disakiti oleh keluarga barunya itu.
Entah kenapa dia bisa berpikir seperti itu. Dan kenapa dia baru menyadarinya sekarang, kalau Chandani adalah gadis yang baik tanpa kepura-puraan. Selama 13 tahun dia mengenal Chandani, tidak pernah sedikitpun dia melihat Chandani membantah perkataannya atau mengadukan segala keburukan mereka kepada Dipta.
Dia sadar kalau Chandani adalah sosok yang begitu tulus. Seharusnya mereka membuat Chandani hidup bahagia. Senyuman yang terpatri di wajahnya harus sesuai dengan kebahagian dalam kehidupannya yang nyata.
Mulai hari ini, Leta berjanji pada dirinya sendiri. Jika terjadi apa-apa dengan Chandani di keluarga barunya, maka dia akan membawanya pulang kembali ke rumah mereka. Dia tidak akan lagi membiarkan seorang pun menyakiti putri angkatnya, Chandani. Terutama ibu mertuanya, Arisha.
Leta sudah sadar, bahwa Chandani harus bahagia bersama keluarga barunya. Dengan begitu hutang janji mereka kepada almarhum sahabat mereka yang juga merupakan almarhum kedua orang tua Chandani akan segera lunas. Jika Chandani bahagia, maka Leta akan merasa tenang, dan tidak terganggu lagi dengan perasaan bersalah terhadap anak yatim piatunya itu.
Ingin sekali rasanya dia berkata manis kepada Chandani, mengatakan kalau dia pantas untuk bahagia. Tapi entah kenapa bibirnya terasa berat untuk mengatakan itu.
“Icha. Bersiaplah. Aku akan mengantarmu kesana setelah Zhain mengucapkan ijab qabulnya,” ucap Leta menatap Chandani dari arah cermin.
Chandani terdiam sesaat mendengar ucapan ibu angkatnya itu. Bagi Chandani, ucapan Leta sangat tulus dan entah kenapa hatinya terasa damai. Tapi setelah dia sadar dari lamunannya.
“Ehh … i-iya, Bu.” Chandani sedikit gagap sambil tersenyum tulus pada Leta lewat cermin.
Deg!
Hati Leta terasa teriris. Dia tidak tahu kenapa. Padahal Chandani hanya tersenyum padanya tanpa membuka suara.
Tapi bagi Leta, senyumannya itu menyimpan sejuta rasa sakit yang teramat dalam di lubuk hatinya. Dan Leta tahu itu. Dia sangat tahu kalau Chandani menyimpan semua kesedihannya sendiri.
Leta lalu mendekatkan diri kepada Chandani. Para pengurus Chandani sedikit menjauh dari mereka, seakan memberi ruang untuk Leta mendekati Chandani.
Chandani sedikit takut sambil tersenyum kecut ke arah ibu angkatnya itu lewat cermin di depannya.
“Kau sangat cantik hari ini,” ucap Leta singkat menatap manik mata Chandani lewat cermin.
“Terima kasih Bu. Ibu, Sinta dan Sahya juga sangat cantik hari ini,” ujar Chandani sambil tersenyum kikuk.
Sinta dan Sahya hanya diam dengan pemikiran mereka masing-masing.
…
Di depan pintu kamar, seorang wanita mengintip pembicaraan mereka sedari tadi. Dan wanita itu adalah Arisha Cantara, Mama Zhain.
Dia memandang mereka dari kejauhan dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia lalu keluar dari kamar itu dan menutup pintu secara perlahan tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun.