Sudah enam hari sejak kejadian itu. Mala mulai beraktifitas kembali, setelah bekas-bekas perkosaan yang ditinggalkan Bisma di tubuhnya menghilang, meski tak akan hilang dari jiwanya untuk seumur hidupnya. Hari ini Mala memutuskan untuk kembali masuk kuliah. Setelah mandi, dan berpakaian ia segera turun ke lantai bawah, ruang makan adalah tujuan utamanya.
"Non mau ke mana?"
"Kuliah, Bik."
"Mau sarapan dulu?"
"Iya, Bik."
"Sebentar Bibik siapkan ya."
"Terimakasih, Bik."
Mala menunggu bibik menyiapkan sarapan, ia berharap tidak bertemu dengan Bisma. Meski mereka harus bicara, tapi Mala merasa belum siap untuk saat ini.
"Silahkan, Non."
"Terimakasih, Bik."
"Sama-sama, Non. Non kuliah diantar Pak Muiskan?"
"Iya, Bik."
"Bibik beritahu Muis dulu ya, biar menyiapkan mobilnya"
"Terimakasih, Bik."
Mala makan sendirian, dalam diam, namun pikirannya berjalan tak tentu arah. Tanpa sadar air mata kembali merebak di pipinya.
'Apakah dengan bertahan di sini, aku sudah menggadaikan harga diriku? Apakah dengan bertahan di sini, aku menjadi wanita lemah. Yang tak mampu melawan keadaan, yang takut untuk bertahan hidup sendirian di luar sana. Tapi, aku harus berpikir realistis. Aku pergipun tidak akan mengembalikan keperawananku. Berada di luar sana, bisa saja membuatku terjerumus ke dalam jurang kenistaan. Berada di luar sana tidaklah aman bagiku. Karena di luar sana banyak b******n-b******n berkeliaran. Tempat ini, meski menorehkan luka, tapi aku masih merasa aman berada di sini.'
Tanpa menghabiskan sarapannya, Mala bergegas menuju teras rumah besar bercat putih itu. Tampak Pak Muis sudah siap di samping mobil. Mobil, dan Pak Muis memang khusus diperuntukan mengantar Mala kemanapun ia suka. Tapi tentu saja Mala tahu batasannya. Uang jajan yang ditransfer Bisma tiap bulan ke rekeningnya tak pernah dihabiskannya. Selama satu tahun tinggal di rumah Bisma, Mala tidak pernah merasakan kendala apapun, semua penghuni rumah baik, dan ramah kepadanya. Begitupun Bisma, meski ayah Bagas itu hanya bicara seperlunya saja.
***
Waktu cepat berjalan, beberapa minggu sudah berlalu dari waktu pemerkosaan itu, dan Mala belum juga mau bicara dengan Bisma. Bisma sendiri tidak ingin memaksanya, rasa bersalah di dalam hati membuatnya mengalah pada kemauan Mala.
Pagi ini Mala masuk ke dalam kamar mandi dengan membawa test pack di tangannya. Ia sadar haidnya sudah telat dua minggu dari waktu biasanya. Karena itu ia ingin memastikan secepatnya, apakah benih Bisma mulai tumbuh di dalam rahimnya. Mala ingin mengetahuinya lebih awal, agar ia bisa mengambil keputusan akan apa yang harus dilakukannya.
Mala termangu menatap hasil test urine yang ia lakukan sendiri. Air mata meluncur membasahi pipi. Tangannya gemetar, saat melihat hasil yang terpampang di depan mata. Dua garis merah, melintang pada test pack yang dipegangnya. Tubuh Mala luruh dan jatuh di atas lantai. Tangisnya bukan lagi sebagai tangisan, tapi ratapan yang menandakan betapa hancur dirinya.
"Tuhan, kenapa Kau timpakan cobaan yang tidak ada habisnya dalam hidupku, kenapa? Apa salahku, Tuhan? Aku tidak tahu siapa Ayah, dan Ibu kandungku, aku hanya sesaat merasakan kebahagiaan bersama orang tua angkatku. Dan kini, saat aku merangkai harapan bersama pria yang aku cintai. Kenapa Kau berikan aku cobaan seberat ini!?" Mala terisak dengan nyaring. Punggungnya bersandar di dinding kamar mandi. Dipeluk kedua kakinya, wajahnya tenggelam di atas lututnya, Mala terus menangis meratapi nasib buruknya yang setia menemani hidupnya.
***
Mala membuka mata, tapi matanya kembali terpejam, saat sinar lampu di langit-langit kamar menerjang matanya.
"Enghh ...." Mala menggumam pelan, karena merasakan sakit di kepalanya.
"Kamu sudah bangun?" Suara berat mengagetkannya. Mala menatap si pemilik suara, namun hanya sesaat saja, lalu ia buang pandangannya.
Bisma duduk di kursi kecil di depan meja rias. Ia duduk tidak jauh dari ranjang tempat Mala berbaring.
"Kita harus bicara sekarang, tidak bisa ditunda lagi," ujar Bisma tegas.
"Bagaimana aku bisa ada di sini, seingatku, aku di kamar mandi," sahut Mala tanpa menatap orang yang diajaknya bicara. Mala bangun dari berbaringnya. Ia duduk bersila sambil memeluk bantal. Suara petir di luar mengagetkannya, cuaca di luar gelap karena hujan yang begitu lebat. Sehingga semua jendela di tutup, dan lampu kamar dinyalakan.
"Kamu pingsan di kamar mandi. Aku yang mengangkatmu ke atas tempat tidur, dan aku menemukan ini di lantai kamar mandi. Ini pasti milikmu'kan?" Bisma mengacungkan test pack di tangannya.
"Tentu saja milikku, milik siapa lagi!?" Tatapan mata Mala menyambar mata Bisma. Bisma membalas tatapan Mala. Bisma bisa melihat dengan jelas ada kemarahan, dan kekecewaan dalam mata Mala. Mala membuang pandangan, saat air mata jatuh mengalir di pipinya.
"Anda sudah merusak masa depanku, Tuan Bisma. Aku tidak menginginkan anak ini. Kehadirannya adalah aib dalam hidupku, aku tidak ingin hidup dibayangi oleh aibku sendiri. Aku ingin menggugurkannya," ucap Mala dengan suara mulai terisak. Bisma tidak terkejut mendengar keputusan Mala. Tapi ia sendiri ingin Mala mempertahankan kandungannya.
"Mala, aku tahu, apa yang aku lakukan padamu adalah dosa besar, aku tidak ingin menambah dosa lagi, dengan membiarkanmu menggugurkan kandunganmu. Aku mohon padamu, biarkan benihku menumpang hidup sesaat di dalam rahimmu. Aku mohon Mala, hanya 9 bulan saja. Setelah itu kamu bebas untuk melakukan apapun yang kamu mau."
"Bebas! Anda tahu kalau aku tidak mungkin menikah dengan Bagas, aku tidak bisa bebas untuk menikah dengannya. Sedang anda tahu, itu adalah impian kami. Anda tahu kalau kami saling mencintai. Dan sekarang, semuanya hancur! Hancur karena anda, Ayah yang mengaku sangat mencintai putranya, tapi ... hhh ... hhh ...." Napas Mala terengah, ia mencoba menumpahkan semua kemarahan, yang sudah ia pendam sejak malam itu.
"Mala ...." Bisma ingin mendekat, tapi Mala mengangkat tangannya.
"Jangan mendekat!"
"Mala, aku mohon padamu, jangan bertindak bodoh dengan menggugurkan kandunganmu. Aku mohon, Mala. Aku akan menikahimu secepatnya, mungkin kita akan menikah siri saja, agar kelak saat kamu menikah dengan Bagas, statusmu tetap seorang gadis."
"Mana mungkin aku bisa menikah dengan Bagas, sedang aku sudah bekas ayahnya! Pernikahanku dengan Bagas itu hanya tiggal mimpi saja. Aku masih bertahan di sini, karena aku terikat janji untuk menunggunya."
Bisma menarik napas, dilema tengah menerjang perasaannya. Haruskah ia menceritakan pada Mala semuanya, dan membuka rahasia yang sudah terkubur belasan tahun lamanya. Tapi tak ada jalan lain, Bisma tidak rela jika Mala menggugurkan kandungannya. Apapun akan dilakukan, demi kelangsungan hidup benih yang ditanamnya di dalam rahim Mala.
'Perbuatanku memperkosamu adalah sebuah dosa, tapi setiap bayi yang baru dilahirkan suci adanya, meski mereka hasil dari kesalahan orang tuanya'
BERSAMBUNG
Target silang.
Komen 100 di sini, aku update Bang Satria.