PART. 3 BERTAHAN DEMI JANJI

1005 Words
Bisma memasuki rumahnya yang terasa sangat sepi. Rumah dua lantai itu seperti tak berpenghuni. Bik Anin yang menyambut kedatangannya. "Mala masih sakit?" tanyanya pada Bi Anin. "Non Mala tidak ke luar dari kamarnya, Tuan. Makannya saya antarkan ke kamarnya, itupun tidak dia habiskan makanannya," jawab Bi Anin. "Apa dia ingin dipanggilkan dokter?" "Non Mala bilang dia hanya perlu istirahat saja." "Ya sudah." "Tuan ingin makan malam?" "Tidak, aku ingin ke luar lagi nanti." "Baik, Tuan." Bisma menaiki anak tangga menuju lantai atas. Ia berdiri di depan pintu kamar Mala. Tangannya terangkat ingin mengetuk pintu kamar calon menantu, yang sudah ia nodai kehormatannya. Tapi tangan itu kembali jatuh di sisi tubuhnya. Bisma menarik napas sedalamnya, bagaimanapun ia harus bicara dengan Mala secepatnya. Dilonggarkan ikatan dasi di leher, ia mencoba untuk menghapus kegelisahannya. "Mala." Bisma mengetuk pintu perlahan. "Anda ingin apa?" Sahutan ketus terdengar dari dalam. "Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Bisma yang tiba-tiba merasa bingung harus menjawab apa. "Baik-baik saja!? Apa ada seorang gadis yang habis diperkosa, direnggut paksa kehormatannya, baik-baik saja, Tuan Bisma!?" Jawaban Mala sangat jelas bersaputkan kemarahan. Suaranya yang serak terdengar bergetar. Jelas sekali ia menahan rasa sakit pada jiwa, dan raganya Bisma menundukan kepala dalam, lalu ia dongakan kepalanya, dan kembali menarik napas sedalamnya. Ia harus bicara dengan Mala, tentang bagaimana yang harus mereka lakukan nantinya. "Kita harus bicara Mala," bujuk Bisma. "Kita memang harus bicara, Tuan Bisma, tapi tidak sekarang. Saat ini, saya masih terlalu takut untuk bertemu orang lain, lebih lagi bertemu anda, selamat malam!" Mala menutup mulutnya, agar tangisnya tak bisa didengar oleh Bisma. Matanya sudah sangat merah, dan bengkak. Karena terus menangis sejak semalam. Ia memilih untuk tetap bertahan di rumah ini, karena ia merasa tidak punya pilihan. Ia tidak punya siapa-siapa. Ia sebatangkara di kejamnya dunia. Mala tidak ingin mengambil keputusan yang salah, bagaimanapun ia harus tetap realistis. Ia butuh tempat tinggal, ia butuh tempat berlindung. Dan hati kecilnya juga yakin, kalau Bisma benar-benar sedang khilaf saat memperkosanya. Karena selama 1 tahun tinggal di rumah ini, ia tidak melihat sedikitpun tingkah Bisma yang tidak wajar. Bisma terlihat seperti seorang Ayah pada umumnya, yang sangat mencintai putranya. Bisma meninggalkan depan pintu kamar Mala. Ia menuju kamar tidurnya. Rasa bersalah benar-benar menyiksa batinnya. Meski ia bukan orang suci, meski ia kerap berpindah dari satu wanita ke pada wanita lainnya. Tapi semua atas dasar suka sama suka, dan kesenangan belaka, bagi ia, dan wanita yang dikencaninya. Tapi kali ini, ia merasa menjadi b******n yang tak punya hati, menodai gadis yang menjadi calon menantunya, kekasih dari putranya sendiri Bisma duduk di tepi ranjang, ditatap fotonya bersama Bagas, putranya. Rasa bersalah semakin menyesakan d**a, diremas rambutnya dengan kedua belah tangan. "Tuhan, kenapa begitu berat cobaan yang Kau berikan padaku. Kenapa semua ini harus terjadi dalam hidupku? Bagaimana bisa aku melakukan ini terhadap putraku? Argghhhh, semoga Mala tidak hamil karena perbuatanku." Bisma mendongakkan wajahnya ke atas, ia ingin mengurai rasa sesak di dadanya. Suara ponsel yang berbunyi mengagetkan Bisma. Bisma mengambil ponsel dari saku kemejamya. "Bagas!" Tangan Bisma bergetar saat membaca nama yang tertera di layar ponsel. Bisma memejamkan mata, berusaha menenangkan perasaannya, sebelum menjawab panggilan dari putra tunggalnya.. "Ayah!" "Bagas, bagaimana kabarmu, Nak?" "Aku baik Ayah, kabar Ayah bagaimana?" "Ayah juga baik, Ibumu bagaimana?" "Ibu, dan Dad juga baik. Tadi aku baru saja menelpon Mala." Deg. Jantung Bisma serasa berbenti berdetak, ia diam seribu bahasa, karena kehilangan kata-kata. Tangannya yang memegang ponsel semakin bergetar, bahkan kini terasa berkeringat. "Ayah, Mala sedang tidak enak badan, apa Ayah tahu?" tanya Bagas. "Ooh, iya ... iya, Ayah tahu, Bik Anin yang mengatakannya," jawab Bisma. "Apa tidak sebaiknya Mala diperiksa dokter, Ayah? Aku takut penyakitnya parah, sepertinya dia flu berat. Suaranya tidak seperti biasanya." "Ayah tadi sudah menawarkan hal itu padanya, tapi dia menolaknya," ujar Bisma. "Sebenarnya aku tadi sudah coba membujuknya, tapi dia bilang tidak perlu dokter, Ayah." "Ooh ...." "Tolong jaga dia ya, Ayah," pinta Bagas yang membuat hati Bisma terasa di cubit. "Ya, aku pasti menjaganya untukmu, kamu fokus saja pada kuliahmu ya," jawab Bisma, dengan usaha keras agar suaranya terdengar biasa saja. Padahal ia tengah meringis, menahan rasa bersalah luar biasa di dalam hatinya. "Baiklah Ayah, terimakasih karena mengijinkan Mala tinggal di rumah Ayah, dan sudah membantu Mala untuk melanjutkan kuliahnya. Aku sayang Ayah, sekali lagi titip calon menantumu ya Ayah." Bagas terdengar ceria saat mengucapkan kalimatnya. "Ya, Nak, apapun akan Ayah lakukan untukmu, Ayah mencintaimu," ucap Bisma dengan mata berkaca-kaca. "Aku juga mencintai Ayah, byee, Ayah." "Bye." Bisma menghempaskan punggung ke atas kasur. Baginya, masalah yang dihadapi saat ini, adalah masalah terpelik dalam hidupnya selama ini. Lebih pelik dari perceraiannya dengan ibu Bagas 10 tahun yang lalu. Mereka bercerai, setelah 10 tahun menikah. Bisma memijit kepalanya perlahan, dipejamkan matanya rapat. Ia terbaring masih dengan mengenakan kemeja kerjanya. "Kenapa ini harus terjadi, kenapa? Huuuhhh!! Aku harus mencari tahu, siapa yang memasukan obat itu keminumanku, karena dari sanalah masalah ini berasal!" Bisma bangun dari berbaringnya. Ia ingin membersihkan dirinya, laku ke luar untuk pergi ke tempat di mana ia minum semalam. Sementara itu di kamar Mala. Mala duduk di atas ranjang dengan memeluk lututnya. Telpon dari Bagas membuat air matanya kembali mengalir, rasa bersalah sungguh mengganjal dalam hatinya. Ia tidak mungkin berkata jujur pada Bagas, ia tidak tega menghancurkan hubungan Bagas dengan ayahnya. Mala sangat tahu kalau Bagas begitu memuja ayahnya. Ayahnya yang pengusaha sukses. Ayahnya yang menjadi pujaan banyak wanita. Ayahnya yang kaya raya. Ayahnya yang cerdas, dan lihai dalam mengelola perusahaannya. Dan, ayahnya yang sangat mencintainya Mala tak sanggup jika harus merubah penilaian Bagas terhadap ayahnya, dengan menceritakan apa yang sudah menimpanya. Mala tak ingin, gambaran Bagas tentang ayahnya yang sempurna ternoda. 'Biar kutanggung semua ini sendiri, meski aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada hubungan kita nanti. Tapi aku ingin kamu tahu, Bagas. Hanya kamu yang aku cintai, hanya kamu. Kamu memberiku kebahagiaan, tapi sayangnya, ayahmu memberiku penderitaan. Aku akan tetap menunggumu sesuai janjiku, meski pada akhirnya kamu tak akan bisa jadi milikku.' Mala menyusut air mata yang kembali membasahi pipinya. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD