Mala turun dari atas ranjang setelah melilitkan selimut di tubuhnya. Dengan manahan rasa sakit disekujur tubuh ia melepas sprei yang bernoda darah perawannya. Ia juga memungut pakaiannya yang berserakan di atas lantai. Pakaian yang tidak tampak sebagai pakaian lagi. Karena pakaiannya itu sobek di sana sini, setelah direnggut dengan kasar oleh Bisma, saat memaksanya untuk melayani nafsu b***t pria tua itu. Mala menyeret tubuhnya yang lemah, ke luar dari dalam kamar yang sudah memberikan kenangan buruk baginya. Dengan tatapan mengabur karena air mata, yang terus mengaliri pipi, Mala tetap berusaha menyeret langkah. Ia tidak ingin seorangpun di rumah itu tahu, kalau ia baru saja jadi korban kebejatan Tuan mereka.
Mala ingin ini jadi rahasia, antara dirinya, dan Bisma, ayah dari kekasihnya. Ingatan akan Bagas membuat air matanya mengalir semakin deras. Ia merasa gagal untuk menjaga apa yang harusnya ia persembahkan pada suaminya. Tapi Mala tidak ingin melaporkan pemerkosaan ini pada pihak yang berwajib, karena ia tidak ingin Bagas terluka dengan semua ini. Mala sangat mencintai Bagas, dan Mala tahu, bagaimana besar cinta Bagas pada ayahnya. Bagas sangat bangga akan ayahnya.
'Biarlah hanya aku yang tersakiti, biarlah hanya aku yang menderita. Aku tak ingin kau terluka, karena apa yang diperbuat oleh ayahmu sendiri. Demi cintaku padamu, aku akan bertahan menunggumu, aku berharap kau masih mau menerimaku, dengan segenap cintamu'
Mala masuk ke kamarnya, ia menyembunyikan sprei, dan pakaiannya di dalam kopornya yang kosong. Ia ingin semua rahasia ini tersimpan hingga akhir hidupnya. Mala duduk di tepi ranjang, ditatap foto kedua orang tua angkatnya yang ada di atas meja. Diraih foto berbingkai itu dengan satu tangan, diusap perlahan wajah kedua orang tuanya. Air mata mengalir deras membasahi pipinya.
'Aku merindukan kalian, aku merindukan kalian, aku tak punya tempat lagi untuk menumpahkan segala rasa yang menyesakan d**a. Maafkan aku, Ayah, Ibu. Karena tak mampu menjaga kehormatanku, hanya untuk suamiku. Tapi aku berjanji, untuk tegar menghadapi semua ini. Dan akupun berjanji, untuk bisa jadi kebanggaan kalian kelak. Aku hanya bisa berharap agar Bagas masih bisa menerimaku'
Sedu sedan Mala semakin nyaring. Ia berbaring di atas ranjang, dengan mendekap foto orang tua angkatnya. Sebenarnya orang tua angkatnya, tidak pernah ingin Mala tahu kalau ia bukanlah anak mereka. Tapi adik ayahnyalah yang memberitahunya, sejak ia beranjak remaja. Dan akhirnya, adik ayah angkatnya itu mengusirnya, saat ayah, dan ibunya harus pergi untuk selamanya.
Sementara itu di kamar lain, Bisma belum juga bisa memicingkan mata. Hatinya gelisah luar biasa. Ia merasa sangat bersalah pada putra tunggalnya, karena sudah menodai kekasih yang sangat dicintai oleh putranya.
'Arghhhh, aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Semoga Mala tidak sampai hamil karena perbuatanku. Bagas, maafkan Ayahmu ini. Maafkan Ayahmu karena mengambil lebih dulu yang seharusnya akan menjadi milikmu'
Bisma meremas rambut dengan kedua belah tangannya. Rasa penyesalan luar biasa tengah ia rasa. Tak bisa menjaga apa yang dititipkan putranya, untuk ia jaga dengan sebaik-baiknya.
***
Mala terbangun oleh ketukan di pintu kamarnya yang dibarengi dengan suara seseorang yang memanggil namanya.
Dengan menahan rasa sakit disekujur tubuhnya, Mala menyeret selimut dan langkahnya menuju pintu.
"Ya Bi" sahut Mala tanpa membuka pintu kamarnya. Ia tidak ingin Bik Anin melihat keadaannya yang terlihat sangat berantakan.
"Non hari tidak kuliah?" Tanya bibi.
"Tidak, Bi." Kepala Mala menggeleng seakan bibi ada di hadapannya.
"Non sakit?" Tanya bibi lagi, ada nada cemas pada suaranya, karena mendengar suara Mala yang tidak seperti biasanya.
"Cuma kurang enak badan, Bi," jawab Mala.
"Perlu dokter, atau obat?"
"Tidak, terimakasih, Bi." Kepala Mala kembali menggeleng.
"Ingin sarapan?" tawar bibi.
"Nanti bisa aku ambil sendiri, Bi."
"Baik Non, kalau perlu sesuatu panggil saja Bibi ya"
"Iya, Bi."
Bik Anin memutar tubuh, bermaksud meninggalkan depan pintu kamar Mala. Tapi ia terjengkit kaget, karena tuannya sudah berdiri di dekatnya.
"Tuan!" Bik Anin mengelus d**a, karena rasa terkejutnya yang luar biasa.
"Ada apa?"
"Non Mala katanya kurang enak badan, saya tanya apa perlu dokter atau obat, katanya tidak perlu."
"Ooh begitu ya. Aku ke kantor dulu. Kamu jaga dia, jangan sampai dia ke luar rumah tanpa pengawalan. Kamu paham!"
"Paham, Tuan." Bi Anin menganggukan kepalanya.
Bisma yang sudah rapi bergegas meninggalkan Bi Anin yang masih berdiri di depan pintu kamar Mala.
Ia turun ke lantai bawah, dan segera ke luar dari rumah, tanpa menikmati sarapan. Kegundahan masih memenuhi perasaannya, ia was-was dengan apa yang akan dilakukan Mala nantinya.
Apakah Mala akan lari dari rumahnya?
Apakah Mala akan melaporkannya pada yang berwajib, atas tindakan pemerkosaan?
Apakah Mala akan menceritakan apa yang terjadi pada Bagas nantinya?
Rasa cemas, dan was-was itu sungguh mengganggu pikiran dan perasaan Bisma. Rasanya, hidupnya yang selama ini terasa sangat nikmat mulai terganggu. Bisma ingin segera mencari tahu, siapa sebenarnya yang sudah mencampur minumannya dengan obat perangsang. Sehingga ia harus menanggung rasa bersalah yang luar biasa pada putranya.
***
"Ada yang tidak beres, Bos. Aku lihat sejak tadi pagi wajahmu terlihat sangat murung." Prita, tangan kanan, sekaligus asisten pribadi Bisma menatap Bisma dengan kerutan di keningnya. Mereka tengah makan siang di sebuah rumah makan.
Bisma menggelengkan kepala, meski ia tahu Priska sangat bisa dipercaya, karena Priska tahu segalanya tentang dirinya, tapi Bisma merasa enggan untuk menceritakan masalahnya yang satu ini. Ia ingin menyimpannya sendiri, sampai ia merasa tak sanggup lagi menanggungnya.
"Tidak ada apa-apa."
"Baiklah, mungkin Bos belum ingin membicarakannya denganku sekarang, tapi kapanpun Boss ingin menceritakannya, aku selalu siap untuk mendengarnya."
"Terimakasih, Ka. Apa agenda kita setelah makan siang?"
Priska menjelaskan apa saja agenda mereka setelah makan siang. Bisma berusaha fokus untuk mendengarkan, meski gelisah masih ia rasakan.
Usai makan siang, Bisma menelpon Bik Anin, ia ingin memastikan kalau Mala tidak berusaha lari dari rumahnya. Karena jika Mala lari, maka ia harus menerima kekecewaan dari putranya. Bik Anin mengatakan kalau Mala tidak ke mana-mana. Itu membuat perasaan Bisma menjadi lega karenanya.
'Kecewa, arghhh, bukankah aku sudah membuat Bagas kecewa, tanpa dia mengetahuinya. Bagas, maafkan ayahmu ini. Aku sangat menyayangimu, tapi apa yang sudah aku lakukan. Aku tidak mampu menjaga apa yang kau amanahkan pada ayahmu ini. Maafkan ayah, Bagas. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, hanya waktu yang bisa menjawabnya'
BERSAMBUNG