7. M.O.S Perfect

1124 Words
7.M.O.S Perfect "Dhe ...!" Dhea menggulingkan tubuhnya, menatap kakak laki-lakinya yang menyembulkan kepala dibalik pintu kamarnya. Dia sedang membaca sebuah novel dengan posisi tengkurap, sebelum Dika menyambangi kamarnya. "Ada apa?" tanya Dhea, menatap gemas pada sang kakak yang hanya diam di tempatnya. Dika nyengir lebar. "Boleh masuk?" "Hm ..." Merasa diizinkan, tanpa menunggu lama, Dika segera memasuki kamar sang adik. Dia duduk di kursi belajar Dhea samping ranjang. Meja belajar gadis itu dipenuhi dengan t***k bengek perlengkapan MOS. "Masih suka sama Juna, Dhe," Terkesiap. Dhea membulatkan matanya. Apa kata Dika tadi? Kenapa kakaknya menyinggung tentang Suka dan Juna. Mendesah, Dika menyandarkan tubuhnya disandaran kursi, tatapannya meneliti tempelan kertas-kertas kecil dan beberapa foto polaroid di dinding atas meja. Kebanyakan foto dirinya dan Dhea, juga Ayah dan Bunda. "Kakak udah tahu kok perasaan kamu ke Juna sejak dulu." "Aku nggak ngerti Kakak ngomong apa?" Dhea bangkit dari tidurannya. Menyandarkan punggung di kepala ranjang dengan sebuah bantal dipangkuannya dan novel yang sedang dibacanya tadi. Berdecak, Dika mengalihkan tatapannya. Kali ini ditatapnya Dhea lekat. Sejujurnya, dia tak ingin membahas perihal perasaan Dhea pada Juna. Tapi melihat wajah sembab Dhea tadi siang sewaktu pulang sekolah bersama Juna, mengusik nuraninya sebagai kakak. "Kakak tahu, melupakan sebuah perasaan dan menghilangkannya pasti sangat sulit, tidak seperti saat perasaan itu hadir. Begitu mudah, mengalir." Dhea mengernyit, namun dia juga menahan tawanya. Sejak kapan seorang Dika pandai berkata-kata bijak seperti itu. "Memang sulit." Pada akhirnya Dhea menimpali, meski sempat terkejut dengan ucapan awal Dika tadi dan sempat menyangkalnya juga. Tapi Dhea kembali berlogika. Dia memang tidak bisa berbohong pada seorang Dika. Tanpa diberi tahu pun Dika memang sudah mengetahuinya. "Kakak tahu, pasti kamu denger ucapan Juna waktu itu," Dhea berdehem dan menerawang. Kilasan tentang percakapan Dika dan Juna yang dulu sempat didengarnya kembali berkelebat. Saat-saat di mana dia menyadari tak ada lagi harapan baginya. Perasaan sukanya pada seorang Juna tidak akan pernah bersambut. Dan saat-saat itulah dia berusaha melepaskan. Merelakan perasaannya begitu saja. Sebelum nantinya semakin menggunung dan berakhir dengan dia yang lebih tersakiti. "Jadi, kenapa kamu nangis siang tadi. Masih suka sama dia, terluka karena perasaannya nggak disambut." Dhea mendengkus keras. "Sok tahu." Sedikit terkejut dengan reaksi Dhea, Dika semakin intens menatap adiknya. Menelisik raut wajah Dhea hingga kedalaman matanya. Kenapa reaksi Dhea jauh sekali dari ekspetasinya. Padahal Dika sudah menyiapkan berlembar-lembar kata-kata bijak dan kalimat motivasi cinta untuk Dhea. "Kok nggak terkejut, aku tahu segalanya lho." Dhea tertawa lepas. Apalagi melihat raut wajah sebal milik Dika. "Memang Kakak berharap aku gimana? Terkejut, nangis guling-guling gitu." Tak menghentikkan tawanya, Dhea menutupi mulutnya. Sungguh, dia tidak kuasa melihat ekspresi sebal sang kakak. "Kakak lucu, sumpah." Mencibir, Dika kembali berucap. "Huh, kirain lagi patah hati. Kalau ternyata enggak, bagus juga sih. Aku nggak perlu menghibur." Dhea menghentikkan tawanya seketika. Menatap nelangsa pada Dika yang kini mengalihkan tatapannya pada foto polaroid miliknya. Dhea menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. "Kak," panggil Dhea, dia menyampingkan tubuhnya agar berhadapan dengan Dika. "Hmm ..." "Maaf," "Buat?" Mendesah dalam hati. Dhea menyungging senyum tipis. "Karena ngetawain Kakak tadi," melasnya. Dika bergeming, dia tidak sebal sebenarnya, hanya saja -entahlah. Ingin memberi pelajaran saja pada Dhea. "Tapi Kak, makasih lho Quotes-nya tadi. Kakak copas dari mana?" Kali ini Dika menggeram. "Menurut kamu?" Dhea terkekeh. "Hehe ... Maaf. Yang diomongin Kakak emang bener kok. Aku suka Kak Juna. Dan aku juga patah hati. Tadi siang aku juga sempet nangis karena sakit hati." Dika mengernyit. Akhirnya Dhea membuka tentang perasaannya juga. Hm, nggak sia-sia dia ngumpulin quote tadi, kalo nanti Dhea masih terluka karena patah hati dia bisa menggunakannya untuk membesarkan hati adiknya. Bijak sekali, Mana ada kakak seperhatian itu pada adik perempuannya yang sedang patah hati. Repot-repot nyariin quote dari berbagai laman media sosial. Hanya Dika. Hanya seorang Dika Pradana yang bisa melakukan itu. Meski terdengar miris memang, menganggap sepele masalah perasaan. Tapi tidak kok. Dika sepenuh jiwa, setulus hati menyayangi Dhea. "Tapi, sekarang udah enggak lagi. Aku udah semakin sadar dan mengerti diri sendiri. Juna menganggap aku sebagai adiknya, itu sudah lebih dari cukup." What! Dika melotot tidak percaya. Astaga! Bodohnya dia yang masih berpikir bahwa Dhea patah hati dan sulit terobati. Tapi di sisi lain, Dika juga mendesah lega. Nyatanya hanya cinta monyet. "Syukurlah, Kakak takut kamu bakal nangis semaleman." Dhea meringis. "Aku emang sempet nangis dan patah hati. Tadinya juga mau nangis semaleman, tapi nggak jadi, keburu Kak Dika datang." Dika mengulurkan tangannya, mengusap surai lembut Dhea penuh sayang. Adik satu-satunya, tanggung jawabnya untuk melindungi. "Jadi, sekarang nggak ada suka-sukaan dan sayang-sayangan lagi buat Juna," "Masih sayang lah, Kak Juna kan Kakakku juga." Dhea memberengutkan bibirnya. Dika terkekeh geli. "Iya iya, yang punya dua kakak. Tahu lah," Mengulas senyuman manis, Dhea menepis tangan Dika di atas kepalanya. Kakaknya sudah tidak lagi mengusap-usap kepalanya, lebih pada ngacak-ngacak. Membuat rambutnya berantakan dan dia yakin, pasti ada beberapa helai yang saling kait. "Ya udah, tidur gih. Ingat jangan nangis," pesan Dika sebelum beranjak dari duduknya dan berjalan keluar kamar. "Yee ... siapa juga yang mau nangis," timpal Dhea berseru. Setelah pintu kamarnya tertutup rapat, Dhea kembali membuka novelnya. Oleh-oleh dari Juna tadi siang. Bicara tentang Juna, membuat senyuman geli terukir di bibirnya. Dhea sendiri tidak menyangka, pertemuannya dengan Juna setelah beberapa minggu ini menjauh justru membuka mata hatinya lebar-lebar. Dhea sadar, perasaan tak bisa dipaksakan. Sama seperti hadirnya yang mengalir begitu saja. Tak tahu apakah jalan yang dilaluinya terjal dan curam atau mulus lurus. Perasaan itu datang dengan sendirinya tanpa bisa dicegah. Dan kini Dhea pun merelakan. Membiarkannya lepas perlahan, mengalir untuk meninggalkan. Memang ini yang terbaik. Dhea sudah cukup puas dengan rasa sayang yang dimiliki Juna untuknya sebagai adik. Dia tidak mau membebani Juna atau siapa pun dengan perasaan suka di hatinya. Meski terkadang hatinya masih berdenyut sakit, Dhea akan mencoba. Seberapa lama pun waktu yang dibutuhkannya. Terlalu larut dalam pikirannya, Dhea sedikit berjengit mendengar getaran ponselnya di meja belajar. Dia menutup novel yang hanya dibukanya tadi, meletakkannya di meja dan beralih mengambil ponselnya yang bergetar. Sedikit mengernyit, Dhea menimbang-nimbang apakah akan mengangkat panggilan dari nomor asing itu atau dibiarkan saja. Dan Dhea terkesiap. Tubuhnya menegang kaku, dengan mata yang membulat lebar. Setelah ponselnya ditempelkan di sebelah telinganya. Suara seseorang yang meneleponnya begitu familiar di gendang telinganya. Seorang cowok yang seharian menempelinya dan mengerjainya ini itu. Tapi, dari mana cowok itu bisa tahu nomor ponsel Dhea. Karena seingatnya, Dhea tidak sembarangan membagi nomor pada orang lain. "Gue jemput besok pagi." Dan sambungan tertutup sebelum Dhea sempat berucap, sekadar membantah atau pun menerima ajakan itu. Bukan ajakan Dhea pikir. Lebih pada sebuah perintah tersirat. Tidak boleh dibantah pun diabaikan. Hah. Dhea kesal sekali. Dari mana? Dari mana cowok menyebalkan itu mendapatkan nomornya? Dhea blingsatan hanya karena satu baris kalimat pendek. Dia merasa, tidak akan ada lagi hari tenang yang dia idamkan selama ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD