6. M.O.S Perfect

1238 Words
6.M.O.S Perfect Ketika hati berkata tidak namun bibir berucap beda. Dengan tangan sedikit bergetar, pada akhirnya Dhea menyerah. Sekeras apa pun dia menjeritkan untuk melupakan, dia masih tetap tak bisa. Tidak semudah yang dia inginkan. Perlahan, Dhea menempelkan ponsel di telinga entah sudah panggilan yang ke berapa baru dia angkat. "Halo, Dhea. Syukurlah akhirnya kamu angkat juga," suara Arjuna menyambut. Terdengar kelegaan dan bahagia dalam nada suaranya. "Kamu udah pulang atau masih di kelas, kakak di depan sekolah kamu lho." lanjut Arjuna lagi. Masih saja begitu bahagia dan bersemangat. Berbanding terbalik dengan Dhea yang kini membungkam mulutnya, menahan isakkan. Air matanya sudah sedari tadi jatuh dan mengalir di pipi putih bersihnya. "Dhe, haloo ... dengerin Kakak kan." Arjuna memastikan, karena tidak ada sedikit pun sahutan dari Dhea. Dhea menganggukkan kepalanya. Rasanya ketika sakit hati, apa pun memang tidak dipikirkan lebih dulu. Seberapa banyak pun Dhea menganggukkan kepala, tetap saja takkan terlihat apalagi terdengar oleh Juna -Arjunanya. Begitu tersadar, Dhea segera memukul sebelah kepalanya. Merutuki tingkah bodohnya. "Dhe," Menarik napas panjang, Dhea menyeka air mata di pipinya dengan sebelah tangan. Beberapa kali dia memastikan agar suaranya tidak terdengar serak. "Dhea masih di kelas Kak, bentar lagi keluar," ucapnya. Dia harap Juna tidak memperhatikan suaranya yang berbeda. "Hm, gitu. Oke deh, Kakak di sebelah gerbang. Buruan ya, panas nih." Setelah mengucap itu, sambungan telepon diputus. Kembali Dhea menarik napas panjang, berusaha menormalkan dirinya. Mengusap wajah dengan tisu basah, Dhea menatap mata sembabnya di kaca saku. Beberapa kali kembali dia usap memastikan jika wajahnya tak lagi terlihat habis menangis. Dhea keluar dari persembunyiannya, dengan sebelumnya memakai penutup kepala dari jaket yang dipakainya. Berjalan waspada, dia menengok kanan kiri, siapa tahu Sammy memergokinya. Kemungkinan memang kecil karena sekolah sudah mulai sepi. Hanya tinggal segelintir siswa yang menunggu jemputan atau memang sengaja berlama-lama di sekolah. Menggigit bibir bawahnya, Dhea semakin menguatkan hati, ada luka namun juga kerinduan di dalam hatinya pada satu-satunya cowok yang sejak tadi masih betah berada di tempatnya. Hingga ketika langkahnya mulai mendekat, cowok berkacamata hitam yang sedari tadi bertengger di atas kuda besinya mendongakkan kepala. Menatap Dhea dengan senyuman terukir di bibirnya. Manis sekali. Apalagi ketika dia melepas kacamata yang menghalangi mata indahnya, rasanya lengkap sudah kesempurnaan dalam wajah tampan itu. Dhea membalas senyuman Juna, samar. Dibuat sebiasa mungkin. Meski begitu sulit untuk tersenyum seperti biasa ketika hatinya perih teriris. Inginnya dia segera nangkring di atas motor, tanpa embel-embel percakapan apa pun. Tapi sayangnya tidak dengan Juna. Cowok itu justru turun dari motor. "Kakak kangen tahu," ucap Juna ketika Dhea sudah berdiri di sebelahnya. Senyuman manis terus saja dia ukirkan di bibir. Tatapannya yang selalu teduh dan menenangkan. Membuat siapa pun akan merasa nyaman jika didekatnya. Dhea bungkam, sekilas dia menatap Juna kemudian kembali menundukkan wajahnya. Masih belum berani menatap Juna terlalu lama dengan wajah kacaunya. "Hei, kamu nggak kangen kakak yah." Juna mendesah berat, nada suaranya dibuat begitu kecewa. Mendengar itu, kedua mata Dhea menjadi berkabut, kelabu menggantung di pelupuk matanya. Kangen. Tanpa ditanya pun sudah jelas dia sangat merindukan sosok cowok di depannya. Tak mampu lagi menahan bendungan di dua matanya, dan tak ingin jika Juna melihatnya menangis. Akhirnya Dhea melemparkan tubuhnya, untuk pertama kalinya selama mengenal Juna dia memeluk cowok itu erat. Rasanya begitu nyaman. Dhea melingkarkan dua lengannya di leher Juna dan menopang dagunya di atas bahu lebar cowok itu. Air matanya mengalir deras, dia rindu. Sangat merindukan. Tapi dia pun tahu rindu yang dirasakannya jelas berbeda dengan apa yang Juna katakan tadi. Rindunya adalah rindu seorang perempuan pada sang pujaan. Sedang Juna hanyalah rindu pada sosok perempuan yang dianggapnya adik. Terkesiap, beberapa kali Juna mengerjapkan mata. Kelakuan Dhea yang memeluknya tiba-tiba itu menimbulkan banyak pertanyaan di benaknya. Dhea yang dia kenal adalah Dhea yang periang dan cerewet, tidak seperti tadi yang hanya diam. Dan Dhea yang dikenalnya juga paling anti untuk berpelukan dengan cowok apalagi di tempat umum, seperti sekolah. Dan di pinggir jalan pula. "Kamu nggak pa-pa?" akhirnya Juna menanyakan hal itu. Pelan, dia menaikkan dua lengannya membalas pelukan gadis itu yang sejak tadi dia biarkan. Meski tak seerat pelukan Dhea. Juna mengusap punggung Dhea teratur, bahkan sesekali dia mengusap belakang kepala gadis itu. Hal yang menurutnya wajar dilakukan oleh kakak beradik. Dia hanya tidak ingin orang-orang yang melihat mereka akan berpikiran yang tidak-tidak. Dan nantinya akan menyusahkan gadis itu. Dhea menyusut air matanya. Sudah cukup baginya menangis, jika terlalu lama Juna hanya akan mengetahui tangisannya. Dan itu akan semakin menyusahkan, menjelaskan secara detail hanya akan membuat waktunya terulur lebih lama. Namun di samping itu, meski Juna tak melihat dia menangis. Di sisi lain, seorang cowok justru melihatnya dengan jelas. Jaraknya yang tak jauh dari Dhea membuat cowok yang sejak tadi terus memperhatikannya itu sedikit terkejut. Dia bahkan menggeram marah menyadari jika Dhea tengah menangis. Menangis dipelukkan cowok lain. *** Juna menoel gemas sebelah pipi Dhea. Setelah acara peluk-peluk di pinggir jalan depan sekolah tadi, Dhea segera meminta Juna untuk mengantarnya pulang. Bahkan Dhea tak sedikit pun membiarkan Juna menatap wajahnya. Dia berpura-pura kesal, hingga permintaannya tanpa bantahan segera dikabulkan cowok bermata hitam gelap itu. "Eh, kok merah mata kamu, Dhe?" tanya Juna. Toelan di pipi Dhea membuat gadis itu mendongak, sehingga mata merahnya tertangkap jelas oleh Juna. "Kelilipan debu, kan nggak pakai helm." kilah Dhea, kembali dia memanyunkan bibirnya kesal. Juna meringis, menyadari kebodohannya yang tidak membawa helm untuk Dhea. "Sorry," katanya. Tak ada sedikit pun kecurigaan dalam dirinya. Tersenyum samar, Dhea mengangguk. Sedikit bernapas lega karena Juna tidak mempertanyakan tentang mata merahnya lebih detail. "Oleh-oleh buat aku mana Kak?" tagih Dhea cepat. "Ha ...?" sahut Juna. Dua alisnya terangkat tinggi dengan bibir terbuka. Dhea mendengkus jengkel. Dia sudah kembali pada mode cewek berantakan dan urakan. "Oh, jadi nggak ada oleh-oleh buatku." tudingnya. Mungkin cara termudah untuk melupakan dan move on adalah bersikap biasa. Lebih ke arah slenge'an. Menggelengkan kepalanya, Juna mengukir senyum tipis kemudian membuka ransel yang sedari tadi memang masih melekat di punggungnya. Dia mengambil bungkusan yang sudah dia siapkan sejak kemarin. "Masa Kakak lupa, nih buat adekku yang jutek, cuek ini." ucapnya. Menyerahkan bungkusan itu untuk Dhea. Memberengutkan bibirnya, Dhea menerima bungkusan itu dengan gerak cepat. "Makasih," Mengulurkan tangan, Juna mengusap puncak kepala Dhea. Dhea yang kesal memang nyebelin namun juga menyenangkan untuk dijahili. "Kakak mau mampir?" Juna menggeleng, "Enggak. Takutnya kamu masih marah entar tambah marah lagi kalau aku main." Dhea mencibir kecil. "Aku nggak marah Kak. Ihh, sok tahu banget sih." Mengangkat dua alisnya tinggi-tinggi, Juna memggelengkan kepala kemudian. Tidak percaya. Jelas kok kalau Dhea ngambek pasti nggak mau membalas pesannya. Dan gadis itu melakukannya sampai siang tadi. "Bohong. Kenapa nggak balas pesan aku." Dhea meringis, menampilkan wajah tanpa dosa andalannya. "Hehee ... maaf, lain kali aku bales deh." Masih dengan mencibir, akhirnya Juna menyerah. "Janji ya. Kalo kamu ngambek dan nggak mau jadi adik kakak lagi. Ntar kakak nyari adik ke mana?" Dhea tertawa, tawa pertama dalam sehari ini. Dia tidak menyangka seorang Juna, mahasiswa tingkat tiga yang terlihat macho dan gagah bisa merengek juga. "Janji." balas Dhea, mengacungkan jari kelingkingnya ke udara yang tak berapa lama disambut senang oleh Juna. "Kakak pulang dulu. Sampai jumpa." Dhea menahan napas, ketika Juna berbalik dan mulai melajukan motornya menjauhi rumahnya. Dia menurunkan sebelah tangannya yang tadi sempat melambai mengiringi kepergian Juna. Dhea tidak boleh egois. Perasaannya memang sudah salah sejak awal. Bagaimana mungkin, Dhea mengkhianati ketulusan Juna padanya. Kasih sayang cowok itu seolah tanpa jeda. Tak meminta balasan lebih kecuali Dhea yang mau terus bersamanya menjadi adik tersayangnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD