8. M.O.S Perfect

1495 Words
8. M.O.S Perfect Gue jemput besok pagi. Lagi-lagi ucapan Sammy di telepon semalam membuat Dhea bergidik ngeri. Ada banyak pertanyaan yang menggelayut di benaknya. Bagaimana Sammy tahu nomor ponselnya? Atau Sammy diam-diam itu stalker. Menggelengkan kepalanya kuat, Dhea mengenyahkan opininya. Tidak mungkin seorang Sammy mengikuti dirinya. Apa istimewanya dia? Mendesah tak peduli, Dhea melanjutkan langkahnya cepat. Pagi ini, dia memutuskan untuk naik angkutan umum ke sekolah. Sengaja, dia berangkat pagi-pagi sekali, takut-takut apa yang dikatakan Sammy ternyata bukan hanya bualan saja. Tapi tunggu, Sejenak Dhea terkesiap dengan pemikiran baru yang melintas. Sammy berniat menjemputnya, dengan kata lain cowok itu mengetahui rumahnya. Oh tidak. Tidak. Astaga! Dhea semakin berpikiran rumit. Dia merasa tidak ada hubungan spesial dengan seniornya itu. Bahkan Sammy selalu memberinya hukuman untuk kesalahan sekecil apa pun yang Dhea lakukan. Dan Dhea tidak merasa jika interaksi penuh intimidasi itu bisa membuat Sammy menjadi seperti seorang teman. "Ah, sebodo. Paling cowok itu cuma menggertak. Toh siapa gue sampe dia harus repot menjemput." Dhea bermonolog, menggerutu sepanjang langkahnya terayun. Hingga tiba-tiba sebuah motor menghadang jalannya. Dhea mengernyit, dan memicingkan mata melihat seorang cowok yang duduk manis di atas motor hitam. Kak Dika? Bukan. Bukan. Cowok itu memakai seragam sekolah yang sama dengan sekolah Dhea. Dan lagipula meski motor itu warna hitam, jelas beda dengan milik sang kakak. "Udah gue bilang, gue yang jemput. Ngeyel sih." "Kak Sammy," Dhea melongo, ketika laki-laki itu membuka kaca helm full face nya. Sammy menarik sudut bibirnya membentuk sebuah seringai menakutkan. "Buru naik!" Dhea menggeleng cepat, dia jalan kaki untuk menghindari Sammy namun sialnya dia justru bertemu cowok itu. Oh, ayolah. Dhea berangkat jam enam pagi. Waktu sepagi itu kenapa seorang Sammy sudah nongol saja di depannya. Bahkan Dika, kakaknya itu masih malas-malasan untuk mandi ketika Dhea menghampiri kamarnya tadi. "Buru!" "Em, nggak Kak. Aku naik angkutan aja," Sammy menggeram, dia melemparkan tatapan tajamnya pada Dhea. Dia tidak suka dibantah. "Buru, atau gue bakal ngintilin lo di sekolah." "Jangan!!" jerit Dhea cepat. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana harinya di sekolah. Beberapa hari berurusan dengan Sammy sudah lebih dari cukup. Telinganya sudah panas mendengar cibiran, cemoohan dan apalah-apalah lain yang diucapkan fans Sammy. Oh, jangan lupa tatapan sinis dan tidak suka yang sering dia dapatkan. Sammy tersenyum penuh kemenangan. Nuraninya menjerit kegirangan. Hah. Ancaman menye-menye seperti itu bisa lebih praktis. Kalau dipikir logika, mana mau Sammy ngintilin Dhea. Sammy kan juga sibuk dengan urusannya sendiri. Dengan raut kesal, Dhea mulai menaiki motor Sammy, sedikit susah payah karena dia yang gengsi memegang bahu Sammy untuk berpegangan. "Kita sarapan dulu," ucap Sammy, ketika Dhea sudah nangkring di jok belakang motor sport-nya. "Aku udah sarapan Kak," timpal Dhea. Sammy mendengkus, dia melirik sesaat ke samping kirinya dan mengukir senyuman. Gadis diboncengannya terasa sekali duduk dengan canggung dan tidak nyaman, dan Sammy yakin Dhea pasti mencengkeram erat bodi motornya, berpegangan. Haha, padahal Sammy melajukan motornya di bawah rata-rata. Pelan sekali. Bahkan seorang pesepeda saja, sudah mendahuluinya. "Gue belom sarapan dan lapar," kekeuh Sammy. Dhea mencibir, dia juga lapar sih sebenarnya. Tadi cuma sempet minum s**u dan berniat sarapan di kantin karena datang lebih pagi. Tapi hei, mana mau dia sarapan bersama seorang Sammy. Gengsi lah. Seolah tersadar, Dhea menggerutu cukup keras. "Kok jalannya pelan banget sih Kak, kapan nyampe sekolahnya coba," Dhea menggelengkan kepalanya dan sedetik kemudian dua matanya melotot ketika lagi-lagi sebuah sepeda mendahuluinya. "Masa kalah sama yang naik sepeda!" cibir Dhea lagi. Sammy tersenyum tipis di balik helm fullface-nya. Mengabaikan ocehan apa pun yang keluar dari bibir Dhea. "Motor boleh gede, tapi kalah sama yang gowes." Dhea mencebikkan bibirnya. Merasa percuma naik motor karena sama saja lambat. Mungkin jika jalan kaki, Dhea bisa mendahului dengan mudah. Sammy terkikik pelan. Sedikit pun tidak tersinggung dengan kalimat ejekan yang Dhea lontarkan. "Sarapan bareng gue, atau mau jalan pelan gini terus nyampe sekolah," Lagi, Sammy sama sekali tak menyia-nyiakan kesempatan. Dhea berdecak. Akhirnya dia yang menyerah, atau sejak awal memang dia yang dituntut untuk menyerah. "Terserah Kakak lah." Satu kalimat pendek yang lolos dari bibir gadis di belakangnya membuat sunggingan tipis kembali menghiasi wajah tampan Sammy. "Oke. Siap-siap. Pegangan ya." Dan tanpa menunggu balasan dari Dhea, Sammy melajukan motornya lebih cepat. Dhea yang belum cukup mencerna ucapan Sammy tadi, serta merta mencengkeram pinggiran jaket milik Sammy erat. Pasalnya dia sempat hampir terpental ke belakang. "Kak Sammy!!!" teriak Dhea jengkel. Namun teredam deru motor yang mengaum bersahutan dengan kendaraan lain. Gadis itu menggeram marah, cowok di depannya benar-benar tidak sedikit pun memikirkan keselamatannya. Dhea melotot ngeri ketika Sammy melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Membabi buta membelah jalanan pagi itu. Seolah Sammy adalah seorang pembalap andal yang tidak akan tergelincir. Motor besar Sammy meliuk, mencari celah di sela-sela mobil, mendahului kendaraan lain dengan sesuka hati. Nyengir lebar, Sammy menghentikan motornya tepat di parkiran sekolah, di bawah sebatang pohon. Tak butuh waktu lama, karena kecepatan motor yang Sammy bawa tadi jauh di atas rata-rata. Jalanan masih cukup lengang sehingga memudahkan dia berkendara. Meliuk-liuk, menyalip beberapa kendaraan yang melaju santai. "Udah nyampe," ucap Sammy sembari menepuk punggung tangan Dhea di depan perutnya. Tangan gadis itu melingkari perutnya, entah sengaja atau pun tidak. Sammy terkikik keras. Paginya cukup menyenangkan. Dhea menarik tangannya cepat, wajahnya tiba-tiba bersemu merah. Dia yang tadinya hanya berpegangan pada pinggiran jaket Sammy memutuskan untuk memeluk perut cowok itu. Sebodo, mau dianggap apa, salah Sammy sendiri karena membuat Dhea hampir jantungan ketika hari masih pagi. Dengan wajah yang memanas, Dhea segera turun dari motor dan berlalu pergi tanpa terima kasih atau pun ucapan lain. "Lo traktir gue." "Eh," Dhea mengerjap, fokusnya teralih pada cowok yang kini berjalan di sampingnya. "Nggak mau, Kakak kan punya uang sendiri." "Pelit." cibir Sammy. Tidak terima, Dhea kembali menggerutu. "Uang kakak kan lebih banyak dari aku, dan lagi pula kenapa cowok minta traktir cewek." Tak menyahut ucapan Dhea, Sammy menarik salah satu kursi di deretan meja kantin yang masih kosong. Kemudian mendudukkan tubuhnya dengan bersedekap dan kaki menyilang. Dhea melirik kesal, namun dia pun melakukan hal yang sama. menarik salah satu kursi tepat berhadapan dengan Sammy dan mendudukan tubuhnya. Dua alis Sammy terangkat tinggi. "Kok duduk." "Terus, aku mau makan berdiri gitu." sungut Dhea. "Ck, yang pesen makanan siapa? Pesen gih." Sammy berdecak sembari menggerakkan dagunya. Dhea mengetatkan rahangnya. Menahan luapan emosi yang siap meluap. "Sabar, masih pagi. Nggak usah ladenin setan buluk itu," desah Dhea dalam hati sembari mengurut dadanya. "Bubur ayam sama teh hangat ya, gulanya sedikit aja. Nggak perlu manis-manis." Dhea mendengkus, rasa-rasanya dia ingin sekali menonjok wajah bossy di depannya, namun urung ketika dia melihat segerombolan siswa yang mulai memasuki kantin. "Kak, aku perjelas nih ya. Pertama, yang ngajak sarapan itu Kakak. Kedua, yang minta traktir itu Kakak. Dan ketiga, kenapa aku yang harus pesan makannya. Secara aku yang notabene cewek di sini." jelas Dhea, menatap wajah menjengkelkan di depannya dengan tatapan tajam. Sammy menyeringai. Dia memajukan tubuhnya dan menumpukan dua lengannya di atas meja. "Dek adek, dengerin nih. Pertama, gue udah jemput pagi-pagi. Kedua, gue yang jemput pagi-pagi. Ketiga, gue yang jemput lo pagi-pagi." Setelah mengatakan itu, Sammy terkekeh. Astaga! Tingkahnya kenapa jadi sekonyol ini jika berdekatan dengan seorang Dhea. Bener-bener out of Character. "Tapi, bukan aku yang minta jemput." kekeuh Dhea dengan menghentakkan kakinya jengkel. Sammy menggelengkan kepala pelan. "Udah buru, anggap aja tanda terima kasih," Dhea diam. Bibirnya terkatup rapat, masih belum menerima kekalahan. "Buruan Dek adek. Keburu rame nih kantin." Menyerah. Dhea beranjak dari duduknya kembali menghentakkan kaki dan melenggang memesan makanan. Dhea tak habis pikir kenapa seorang Sammy yang dielu-elukan banyak cewek di sekolah dengan embel-embel baik dan bertanggung jawab itu justru bertingkah sebaliknya jika dengan dirinya. Kenapa Sammy tidak ada baik-baiknya. Cowok itu selalu menyebalkan dan selalu sukses menyulut emosinya. Tak butuh waktu lama, Dhea kembali ke mejanya dengan nampan penuh berisi makanan. Dua mangkuk bubur dan dua gelas teh hangat. Dhea meletakkan mangkuk bubur dan teh hangat milik Sammy dengan sedikit keras. Sammy nyengir lebar dan tanpa embel-embel terima kasih, dia langsung melahap bubur ayam miliknya dengan semangat. "Kenapa nggak makan? Diet?" tanya Sammy, dia mendongakkan wajahnya dan menatap Dhea yang masih mematung di tempatnya. Dhea tersentak, sesaat lalu dia baru melihat binar bahagia di dua mata hitam kelam Sammy. Yang tak ayal membuat wajahnya sedikit memanas. Cowok itu terlihat sangat menggemaskan ketika melahap buburnya. Begitu bersemangat untuk menghabiskannya. "Apa seenak itu," gumam Dhea, dia mulai menyuap sesendok bubur ke dalam mulutnya. "Hm, enak banget. Jarang-jarang gue sarapan ditemenin kayak gini--" Sammy menghentikkan ucapannya sendiri, tersadar dengan hal yang tidak seharusnya terucap. Dhea bergeming, mengerjap pelan ketika Sammy terlihat terkejut dengan ucapannya sendiri. Dhea pun tak kalah terkejutnya ketika Sammy berucap seperti itu. Apalagi, raut wajah Sammy yang seketika berubah. Cukup lama keheningan menggantung di antara keduanya. Dhea, tak punya kata-kata untuk memecah kesunyian. Pikirannya tiba-tiba carut marut dengan segala ekspresi yang Sammy tunjukkan tadi. Mulai dari manja nggak ketulungan, binar bahagia dan terakhir kepekatan di wajah itu. Pekat yang benar-benar sebuah kepekatan. Sepekat gelap malam yang berkabut tebal, namun juga ada kesedihan menyelubungi di sana, terpeta jelas meski hanya Dhea lihat sesaat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD