10. M.O.S Perfect

1433 Words
10. M.O.S Perfect "Arrggghhh!!" Menghentikan langkahnya, Dhea berdiri mematung di ujung tangga. Teriakan seseorang yang menggema membuatnya merunduk ragu. Haruskah melanjutkan langkahnya dan kembali pada niatan awalnya atau lebih baik pergi, berpura-pura tidak mendengar apa pun. "Berengsek!!!" Lagi, kali ini u*****n keras yang menggema di gendang telinga Dhea. Dia tahu jelas siapa pemilik suara itu. Seorang cowok pemilik dompet yang sedang berada digenggamannya. Dengan langkah begitu pelan, Dhea berjalan maju, beberapa langkah kemudian dia merepet pada dinding. Berusaha menyembunyikan tubuhnya dari sosok Sammy di depan sana. Sammy sendiri berada tepat di depan pagar pembatas. Cowok itu terlihat meremas rambutnya kasar kemudian menendang sembarang kursi-kursi rusak yang kebetulan berada tak jauh di depannya. Menimbulkan suara berisik yang memekakkan telinga. Semakin merepetkan tubuhnya ke dinding, Dhea meremat dompet dalam genggamannya kuat. Netra hazelnya tak lepas menatap sosok Sammy. Dia tidak tahu, jika pada akhirnya dia kembali melihat sisi lain dari seorang Sammy. Sammy yang sore ini, terlihat begitu menyedihkan, rambutnya berantakan, bajunya kusut sekali dan kepekatan yang terasa jelas menyelubungi. Bukan Dhea takut akan jadi sasaran amarah Sammy. Tidak, bukan itu yang dia pikirkan. Dia lebih mementingkan jika hal buruk yang mungkin saja terjadi menyimak bagaimana Sammy terlihat begitu kacau. Dhea hanya mengikuti kata hatinya, sama ketika dia sebelumnya memutuskan untuk mengikuti Sammy sampai ke atap gedung sekolah lantai tiga ini. Merasa sudah cukup tenang, Dhea menghela napasnya lega. Baru saja dia akan keluar dari persembunyiannya sebelum sebuah suara menganggetkannya. "Ngapain lo di situ." Dhea meneguk ludahnya kasar. Bodoh sekali jika dia berpikiran Sammy tidak merasakan kehadirannya sejak tadi. Meneguhkan niatnya, Dhea berjalan menjauh dari dinding yang sedari tadi menyembunyikan tubuhnya. Meski pada akhirnya gagal. "Kak Sammy, maaf aku--" "Nggak nyangka ya. Ternyata lo itu stalker juga." cibir Sammy. Dia memicingkan mata melihat Dhea yang berjalan pelan dengan menundukkan kepala. Berusaha meredam emosinya, Dhea mengabaikan apa pun cibiran untuknya. Bukan saatnya bagi dia untuk melawan kata-kata Sammy. Mendongakkan wajahnya, seketika itu napas Dhea tercekat. Hatinya tersengat menyakitkan. Cowok yang biasanya tampil begitu keren, sore ini di jarak lima langkah di depannya, Sammy mengguratkan wajah penuh duka, kesakitan yang begitu kentara. Nada dingin cowok itu tidak mengubah apa pun. Raut datar Sammy tidak sedikit pun menggusur kesedihan di mata kelamnya. Apa yang terjadi? Dan ketika sepasang iris itu membalas tatapannya, lengkap sudah. Dhea sepenuhnya meluruh dalam debaran yang menyakitkan. Dia memang tidak mengenal Sammy lebih dalam. Tapi, hanya orang bodoh yang tidak bisa membaca kepedihan di wajah Sammy. "Kak," lirih Dhea, perlahan dia kembali melangkahkan kakinya. Semakin mendekat ke arah Sammy yang masih berdiri di tempatnya. "Ngapain lo ke sini?" tanya Sammy dingin. Dia membalikkan tubuhnya menghadap ke arah hamparan lapangan di depan sana. Dari lantai tiga, rerumputan hijau di lapangan belakang sekolah terlihat memukau dengan siraman sinar matahari. Dhea tidak mengindahkan pertanyaan Sammy, dia semakin melangkahkan kakinya dan berhenti tepat dua langkah di sebelah Sammy. Sama halnya seperti yang dilakukan Sammy, dia pun menatap hamparan rumput di bawahnya. "Aku nemuin dompet Kakak di lorong tadi," Dhea menyodorkan dompet kulit warna hitam milik Sammy. Sammy melirik dompet yang disodorkan ke arahnya kemudian menyambarnya cepat. "Nggak lo ambil kan isinya?" Dhea mencibir, namun perlahan senyuman samar terbit di bibirnya. "Enak aja. Meski pun aku nggak punya uang, mencuri bukan hal yang pantas dilakukan. Dosa." Sammy mendengkus keras sembari memasukkan dompetnya ke saku celana belakang. "Kali aja, pantas nggak pantas, namanya manusia itu suka khilaf dan serakah, meski pun udah tahu itu dosa." Kali ini senyuman Dhea semakin terukir lebar. Sammy sudah kembali pada mode menyebalkan. Pantang baginya untuk menurut tanpa usaha melawan balik. Dalam hal ini, lewat lontaran kata-kata. Dhea tahu batasan. Dia tidak akan mengulik atau pun kepo tentang apa yang sedang terjadi pada seorang Sammy. Biarlah, biarlah dia cukup melihat tanpa tahu apa-apa lebih jelasnya. Meski di dalam hatinya dia penasaran bukan main. Dia merasa tidak cukup pantas untuk mengetahui lebih dekat kehidupan Sammy. "Khilaf memang manusiawi Kak, dan kebanyakan orang selalu menginginkan lebih dan lebih dari yang telah dicapainya. Hanya saja aku bukan tipe orang yang seperti itu," ucap Dhea tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan untuk sekadar melihat lawan bicaranya. Membawa topik bahasan lain, memang lebih ampuh menetralkan suasana canggung meski terdengar berat. Sammy menumpukan dua tangannya di atas pagar pembatas. Dia menggeleng pelan dan mendecakkan lidahnya "Kenapa jadi ngelantur ngomongnya." Dhea tergelak pelan, kali ini dia mendongakkan wajahnya menatap cowok yang sepenuhnya memberi atensi pada rerumputan hijau. "Kakak yang mulai." dengkus Dhea. "Kenapa belum pulang?" tanya Sammy mengalihkan, merasa topik sebelumnya tak lagi cocok untuk dibahas. "Nggak ada yang jemput." sahut Dhea cepat. Dia menghela napasnya pelan sebelum kembali berucap. "Males ramai-ramai di halte jadi pulang terakhiran." "Terus ngintilin gue ke sini." Dhea menghentakkan kakinya gemas. Sammy kembali mengangkat bahasan stalker. Membuat dia dirundung kesal. "Bukan ngintilin Kak, mau balikin dompet. Ih, bukannya makasih udah dibantu." Sammy tersenyum geli, namun tetap tak menyahut. Hingga suara derap kaki menjauh barulah dia membalikkan tubuhnya. "Mau ke mana?" tanyanya ketika Dhea sudah beranjak dari tempatnya berdiri semula. "Pulang Kak, udah sore." Sammy mencekal lengan Dhea dan menarik tubuh gadis itu kembali ke tempat semula. "Pulang ntar aja, gue anterin." Dhea mengernyitkan keningnya samar namun tidak membantah ucapan Sammy. Dia kembali berdiri di sebelah Sammy, kali ini lebih dekat. Beberapa saat hanya ada keheningan yang menemani, bersama desau angin sore yang berhembus sejuk. Angin lembut membelai wajah keduanya, mencoba menghilangkan raut kesedihan yang sempat menyapa. "Kak Sammy," lirih Dhea memanggil, dia memalingkan wajahnya menatap Sammy yang kini tengah menutup mata. Seolah begitu menikmati terpaan angin yang membelai lembut wajahnya. Sesaat Dhea termangu, terpesona pada guratan wajah tampan ciptaan Tuhan. Mulai dari hidung mancung, bibir tipisnya, dagu runcing yang tampak tegas, semua itu membuat kombinasi sempurna di wajah Sammy. Ah, kenapa Dhea sampai pada tahap terpesona. Tidak. Tidak. Hal itu masih begitu dini. "Tempat ini yang paling menenangkan, biasanya sore hari  senja di ufuk barat terlihat mengagumkan," ucap Sammy tidak sedikit pun membuka matanya. "Benarkah?" binar Dhea. Dia kembali bersemangat melihat hamparan rumput dan langit biru di hadapannya. Namun tak lama, karena setelahnya dia mendesah kecewa. Hari masih terik dan senja masih beberapa jam lagi. Terlalu sore dan terlalu lama bagi dia jika harus menunggu senja datang. "Tapi nggak boleh pulang terlalu sore," desah Dhea lirih. Sammy membuka matanya dan menoleh menatap Dhea dengan dua alis terangkat. "Oh, pulang sekarang kalau gitu." Tidak menyahut, Dhea hanya menganggukan kepala, dan setelahnya membuntuti Sammy yang beranjak dari tempatnya berdiri. Berjalan dalam diam hingga sampai di parkiran sekolah yang sudah sepi. "Ck, lama." Dhea mengerjap, sesaat lalu fokusnya entah sedang di mana. Dia, menatap Sammy yang sudah duduk di jok motornya. "Ayo, buru." lagi, Sammy berucap. "Iya," sahut Dhea singkat kemudian menaiki motor Sammy. Dalam perjalanan, kembali tidak ada yang mengucap sepatah kata pun. Hanya deru kendaraan yang menemani kebisingan siang menjelang sore itu. Suara klakson kendaraan bersahutan mengiringi, menembus rentetan mobil yang berhenti menunggu lampu merah berganti hijau. "Kok berhenti." Dhea celingukan menatap sekitarnya ketika Sammy menghentikan motornya di depan taman kota yang mulai ramai pengunjung. Terlihat gerombolan anak-anak tengah bermain, entah itu jungkat jungkit atau pun sekadar berlarian di taman. Dan para orang tua yang mengawasi tak jauh dari anak-anaknya. "Turun." "Ngapain Kak, Kak Sammy nggak berniat buat nyulik--" "Bawel deh. Nggak ada kerjaan banget gue nyulik lo." Tak membantah, Dhea hanya memanyunkan bibirnya sebal dan turun dari motor. Disusul dengan Sammy yang segera berjalan ke arah segerombolan pengamen yang sedang menggelar konser kecilnya di pinggiran taman. Ada empat anak laki-laki berusia belasan yang sedang bernyanyi di sana. Dua bermain gitar akustik, satunya harmonika dan satu lagi bernyanyi. Musik yang dibawakan cukup enak didengar, tidak dimainkan secara asal-asalan. Mengikuti langkah Sammy yang sudah menjauh, Dhea ikut bergabung di lingkaran penonton. Mengambil tempat beberapa langkah di belakang Sammy berdiri. Senyumnya terbit menikmati alunan musik yang merambat gendang telinganya. Belum selesai satu lagu, Sammy memberikan lembaran uang yang sudah dilipat, memasukkannya pada kotak yang terbuka di depan sang penyanyi jalanan. "Kak, belum selesai," cegah Dhea, ketika Sammy melewatinya begitu saja. "Nggak pa-pa, ayo pulang." Sammy menarik lengan Dhea menjauh dari kerumunan. "Tapi aku masih mau lihat." Mendesah, Sammy menghentikan langkahnya sesaat. "Lain kali," Dhea memutar bola matanya malas, bersama Sammy dia tidak bisa membantah. Percuma saja, bantahannya, penolakannya, hanya akan jadi angin lalu di telinga cowok itu. Sammy terlalu bossy, tidak ingin dibantah. Apa yang diinginkan tak bisa terbantahkan. Meski bisa saja Dhea mendebat seperti yang sebelum-sebelumnya tapi urung dia lakukan, karena sesaat lalu tanpa sengaja Dhea melihat sebuah senyuman terbit di bibir cowok itu. Senyuman yang terlihat begitu tulus Sammy sunggingkan. Dhea jadi berpikiran kemana-mana. Apa mungkin sekadar melihat pengamen jalanan, seorang Sammy begitu mudah merubah mood-nya. Hah. Mudah sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD