9. M.O.S Perfect

1447 Words
9. M.O.S Perfect "Dhe, minta tanda tangan Kak Sammy yuk," Dhea menghela napas dan mengukir senyuman tipis sebelum menggelengkan kepala. Seharian ini, dia sedikit kehilangan semangat. Entah lah, mungkin karena hal tadi pagi dan ketiadaan Sammy di dalam kelasnya. Bohong jika dia tidak mempedulikannya. Karena bagaimana pun, wajah kesedihan Sammy terus saja menggelayut dan membayangi benaknya. "Kok enggak mau, kan disuruh minta tanda tangan ke dia juga. Wajib lho." Maya kembali berucap. "Males ah, ketemu dia." Dan begitulah Dhea, gengsinya memang selalu tinggi. Mengalahkan rasa simpati yang mengakar di hatinya. Maya mendengkus, dia kembali menengok keluar pintu. Memindai situasi di luar kelasnya. Dan terlihat di ujung lorong, Sammy masih di sana, duduk di sebuah kursi dengan kerumunan anak-anak kelas sepuluh yang meminta tanda tangannya. Iya, kekonyolan hari ini. Bagi siswa baru kelas sepuluh, diberi tugas untuk mengumpulkan tanda tangan kakak kelas penanggung jawab MOS tahun ini. Dan bagi ketua osis dan wakil ketua tahun ini mau pun tahun sebelumnya hukumnya wajib. Anak-anak diharuskan mendapatkan tanda tangan dari ke empat orang itu, waktunya dua hari sampai besok. Kalau sampai lalai, siap-siap saja terima hukuman yang berlaku. "Ayo lah, Kak Sammy lagi baik itu, Dhe," ajak Maya lagi, kali ini dia berjalan ke arah Dhea dan menarik tubuh gadis itu agar duduk tegak. Dhea mengerjapkan mata, enggan untuk menimpali atau pun beranjak. Hari ini, dia ingin menjauh dari sosok Sammy. Untuk apa mendekat, sudah beruntung karena sejak bel masuk tadi pagi dia tidak berurusan dengan seorang Sammy. Hal langka seperti itu tidak akan Dhea sia-siakan. Meski mungkin dia mengkhianati dirinya sendiri. "Lo aja sendiri." Dan pada akhirnya kalimat itu yang lolos dari belah bibir Dhea. Maya menggeleng tak setuju. "Astaga Dhe, kalau nggak sekarang kapan lagi." kekeuhnya. Tidak menghiraukan ucapan Dhea, Maya menarik tubuh kaku Dhea. Gadis itu juga menyambar dua buku di atas meja. Bukunya dan buku Dhea yang berisi tanda tangan kakak kelas yang sudah didapatkan tadi. "Gue nggak mau May. Udah lah sendirian aja." gerutu Dhea. Maya mengukir senyuman mengejek. Heh. Bibir Dhea memang berkata tidak. Tapi langkah kaki gadis itu tetap saja mengikutinya. Bahkan jika Dhea mau menghentikan langkahnya, itu tidak terlalu sulit karena Maya sendiri tidak erat mencengkeram lengan Dhea. Tiba di depan Sammy, kerumunan yang tadi dilihat Maya sudah terurai, tinggal segelintir dan itu pun segera membubarkan diri. Mungkin sudah mendapatkan tanda tangan Sammy. "Mau apa?" Maya dan Dhea tersentak, keduanya menelan ludah gugup. Ucapan Sammy begitu dingin dan sarat intimidasi. Jauh dari sosoknya yang terkenal baik dan ramah. "Ma--mau minta tanda tangan Kak," cicit Maya, kemudian menyodorkan buku dan bolpoinnya. Sammy mendengkus kasar dan segera menyambar buku juga bolpoin Maya, setelahnya dia bubuhkan tanda tangannya. "Makasih Kak." takut-takut Maya kembali mengambil bukunya. "Hm," Mengembuskan napas, Dhea mengangsurkan bukunya juga. "Sekalian dong Kak," Sammy menaikkan sebelah alisnya, cukup lama dia menatap Dhea dan buku yang menggantung di antaranya bergantian. Sebelum akhirnya mengambilnya dan meletakkannya dipangkuan. "Ngapain masih di sini, udah kan?" Sammy menatap dua cewek di hadapannya bergantian. Dhea menggigit pipi dalamnya pelan, "Buku aku," "Duduk sana." perintah Sammy, menggerakkan dagunya menunjuk tempat kosong di sebelahnya. Mengabaikan ucapan Dhea yang meminta kembali buku miliknya. Dhea bergeming, begitu pula dengan Maya. Dua gadis itu hanya saling melempar tatapan penuh tanya. Sammy berdecak. Dia menyilangkan dua tangan di depan d**a. "Mau di situ aja atau duduk." Dhea mengerjap, kemudian mengambil tempat tepat di sebelah Sammy menyisakan jarak beberapa jengkal. "Lo ngapain di situ, udah dapat tanda tangan kan," ucap Sammy lagi ketika Maya masih saja berdiri. "Eh, iya Kak. Jadi aku boleh pergi," sahut Maya dan melempar tatapan melasnya pada sahabatnya itu. Sammy berdehem menyahut, dan tak berapa lama Maya segera melenggang pergi dengan sebelumnya meminta maaf pada Dhea. Mengucapkannya tanpa suara. Maya sendiri tahu apa yang akan dilakukan Sammy pada Dhea, pastilah memberikan kejahilan-kejahilan seperti yang sebelum-sebelumnya. Tapi dia bisa apa? Dia sendiri sudah diminta pergi. "Kak, buku aku," Sammy melirik Dhea dan menyungging senyum samar. "Kupasin jeruk noh." Ish. Dhea memanyunkan bibirnya. "Aku minta buku Kak. Buku. Kok dikasih jeruk." "Siapa yang ngasih lo jeruk. Gue nyuruh lo ngupasin jeruk itu, buat gue." tandas Sammy. "Aku bukan pelayan Kakak." "Terserah, mau dapat tanda tangan gue nggak?!" Dhea mendesah, ke mana Sammy yang tadi dibicarakan Maya. Yang katanya lagi baik. Di depan Dhea, Sammy tetaplah Sammy yang menyebalkan, tidak ada baik-baiknya. Terkesan licik malahan, memanfaatkan Dhea untuk hal-hal apa pun. Berat hati, akhirnya Dhea mengambil satu buah jeruk dalam kantong putih di sebelahnya dan mengupasnya. Tidak butuh waktu lama, setelah semua kulitnya terkupas dia memberikannya pada Sammy. "Suapin," Dhea menggeram, dua matanya membulat penuh. Menatap jengah pada sosok cowok yang tiba-tiba bersikap manja. "Nggak." "Lo kok gitu sih, sekali-kali nurut kenapa? Minimal baik sama gue," desah Sammy memasang wajah sok melasnya. Mencibir kecil, Dhea membelah jeruk di tangannya menjadi dua bagian. "Yang nggak pernah baik itu Kakak bukan aku," ucapnya, kemudian memasukkan jeruk yang sudah dia kupas, satu persatu ke dalam mulutnya. Hm, rasa manis jeruk menyeruak memenuhi rongga mulutnya. Memberi rasa baru pada lidahnya yang sedari tadi pahit karena tidak memakan apa pun. Dan bukan hanya itu, tapi tingkah Sammy kepadanya membuat hari Dhea menjadi pahit asem. "Enak?" tanya Sammy. "Enak," "Manis?" lagi Sammy bertanya ketika dilihatnya Dhea justru begitu menikmati jeruk miliknya. "Manis banget." Ups, Dhea membungkam mulutnya dan mendongak menatap Sammy. Dia lupa, jeruk yang sedari tadi dimakannya bukanlah miliknya. Menelan ludah, Dhea menyodorkan setengah jeruk di tangannya. "Maaf Kak. Habisnya Kakak minta aneh-aneh," Sammy menyambarnya cepat. Dan melahap buah orange yang mengandung banyak  vitamin C itu. Tidak menghiraukan Dhea yang melongo melihat tingkahnya. Biar, biarkan saja cewek di sebelahnya berpikiran macam-macam. Dia tidak peduli. Untuk apa? Lagi pula dia sendiri tidak mempedulikan kehidupannya. Tersenyum kecil, Dhea kembali mengupas jeruk dan memberikannya pada Sammy. Entahlah, yang dilakukannya berlebihan atau tidak. Dia masih anak baru, baru beberapa hari menginjakkan kakinya di sekolah, namun sudah berani bertingkah dekat dengan seorang Sammy yang notabene The Most Wanted di sekolahnya. Dhea sendiri merasa ada gravitasi yang menariknya untuk menurut dan bersikap baik pada seorang Sammy. Entah semenyebalkan dan semenjengkelkan apapun Sammy terhadapnya. "Nggak perlu berlebihan lihatin guenya. Gue sadar kok. Gue emang terlalu tampan, cakep, keren," Dhea mencibir. "Pe-de." Sammy tergelak. Tawa pertama yang berhasil lolos dari bibirnya hari ini. Tawa pertama yang berhasil membuat Dhea mematung dengan semburat merah muda menghiasi pipi. Tawa itu tidak renyah atau pun terlalu menawan. Tapi ketika Dhea mendengarnya, ada ketulusan di dalamnya dan begitu lepas. Seolah tidak pernah ada beban hidup atau masalah apa pun. Dan untuk beberapa puluh detik yang terlewat, dua insan itu bergelut dalam sekelumit tawa yang hadir. Memberi warna baru, memberi rasa baru. Bukankah bahagia itu sederhana, sekadar tertawa, melepas semua penat. *** Denting bel sekolah sudah berdering sejak bermenit-menit yang lalu atau justru memang sudah berpuluh-puluh menit berlalu. Dhea, duduk sendiri di dalam kelas, menatap kosong pada hamparan meja dan kursi tak berpenghuni. Berulang kali dia menghela napas panjang dan lelah. Pikirannya kembali carut marut, berbagai hal menyelinap. Membuat pikirannya tidak terkendali. Kenapa? Dhea mendapat pesan dari dua cowok berbeda. Dika yang mengabarkan tidak bisa menjemputnya karena latihan futsal sampai sore. Dan seorang lagi, Juna. Arjuna. Cowok itu mengirimi Dhea pesan singkat. Mengabari jika dia akan pindah keluar negeri, melanjutkan kuliah di negeri orang dan berangkat akhir minggu ini. Mendesah berat, Dhea beranjak dari duduknya dan berjalan keluar kelas, menelusuri lorong-lorong yang mulai sepi. Langkahnya pelan, terlalu pelan sampai-sampai tak menimbulkan bunyi berisik. Pesan Juna, kembali membayang. Bagus memang, jika cowok itu berada di jarak yang tak terjangkau Dhea. Membuat Dhea sedikit lebih mudah untuk melupakan perasaannya. Tapi, apa harus secepat itu, semendadak itu. Benar, Dhea sedang belajar menetralkan hatinya tapi tidak dengan Juna yang berada jauh dari jangkauan. Dhea akan berusaha keras, dia akan berusaha menerima segalanya. Hanya saja, biarkan dia tetap dekat dengan seorang Arjuna. Tapi itu tidak mungkin. Dhea menggeleng pelan. Biarlah, masalah itu dia pikirkan lagi nanti. Tercekat, Dhea menghentikan langkahnya, tubuhnya merepet ke dinding. Sekelebat orang terlihat tak jauh darinya. Memicingkan mata, Dhea mencoba memperjelas penglihatannya. Seorang cowok berjalan menjauh darinya dan Dhea tahu siapa itu. Sammy. Tadinya, Dhea tidak mengacuhkan dan berniat kembali melangkahkan kakinya keluar sekolah. Tapi ketika sesuatu terjatuh dari tas Sammy. Dia buru-buru memungutnya. Sebuah dompet. Dan ada kartu pelajar milik Sammy di dalamnya. Sammy. B. Dhea mendengkus membaca nama Sammy. Tetap saja ada singkatan yang tidak Dhea tahu kepanjangannya. Menimbang-nimbang, Dhea tampak berpikir. "Balikin sekarang atau besok," monolog Dhea. Dan Dhea memutuskan untuk mengikuti langkah Sammy yang sudah menjauh bahkan hampir tidak terlihat di balik gedung kelas. Sekali lagi, Dhea turut ikut campur, kembali berurusan dengan seseorang bernama Sammy. Sammy, seorang cowok yang selalu memberi kejutan untuk setiap kelakuan yang membuat Dhea jengah dan sebal. Dan Dhea hanya menuruti apa yang menurutnya baik. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD