Part 6. Poto Vulgar di Chat WA Suami

1052 Words
PART 6. POTO VULGAR DI CHAT WA SUAMI Yona menelepon pada dini hari. "Mas memblokir nomerku?" Suaranya nyaring di seberang telepon. Aku sedikit menjauhkan ponsel dari telingaku. Apaan sih? "Mas jahat ya." Dia terisak. "Token listrikku habis. Mas tolong ke sini, aku takut, rumah gelap." Bisiknya, penuh dramatis. Aku bengong, bukannya listrik di rumah mereka bayar tagihan bulanan? Kenapa tiba-tiba pakai token? Aku mendesah. Yona masih belum mau menyerah juga. *** "Mas, halo, halo!" Yona memanggil. Kutatap Mas Gibran yang masih pulas. Lalu, klik! Sambungan telepon kumatikan dengan bodohnya. Padahal itu seharusnya menjadi kesempatanku untuk melabraknya. Tetapi entahlah, selain aku tidak ingin membuat keributan di rumah mertua, aku masih berpikir untuk menjaga maruah Yona. Biar dia tidak malu. Dia pasti akan sangat malu jika ketahuan sudah menggoda suami orang di sepertiga malam yang senyap begini. "Istrimu kebangun ya? Sebuah pesan, masih melalui nomor Novita, masuk. "Mas buka blokiran nomerku dong, gak enak tau pake nomor Novita gini." “Mas, kok cuma dibaca sih, balas dong.” “Atau Mas ingin kukirimi poto? Aku memakai baju warna kesukaan Mas.” Lalu sebuah poto muncul di layar chating. Dengan caption, "bagian ini dulu yang membuatmu bahagia, Mas." Kuketuk gambar tersebut. Begitu terbuka, amarahku langsung memuncak. Seorang wanita dengan rambut terurai, bibir merah merona, dan d**a agak terbuka, sehingga belahannya terlihat dengan jelas, terpampang dilayar ponsel Mas Gibran. Astagfirullah, Yona benar-benar sudah melewati batas. Dengan emosi yang sudah sampai di ubun-ubun, kubalas pesan Yona itu. "Dasar gak punya malu kamu, Yona! Kamu sudah melebihi batas! Sepertiga malam bukannya taubat, malah menggoda suami orang dengan poto murahan kayak gini! Kuscreen shoot semua chatmu dan kuviralkan biar anakmu malu. Toh emaknya udah gak punya malu kan!" "Hei, ini siapa sih?" Balas Yona. "Besok kamu tanyai saja anakmu, malu gak kalau membaca chating emaknya yang sedang menggoda suami orang ini?" "Kamu jangan macem-macem ya! Anakku tidak tahu apa-apa, jangan dibawa-bawa!" “Aku gak akan bawa-bawa anakmu! Aku cuma mau nunjukin screen shoot ini aja ke dia, biar dia tahu bagaimana hapenya disalahgunakan oleh perempuan yang urat malunya udah putus!” Tidak ada balasan lagi, tetapi layar ponsel Mas Gibran berkedip, sebuah panggilan dari nomor Novita. Untung volumenya sudah kukecilkan hingga mentok di tombol silent, sehingga tidak mengganggu yang lagi pada tidur. Aku mendecih menyaksikan ponsel yang terus berkedip, sudi amat angkat panggilan dari perempuan gak punya malu kayak dia! Senyap. Lalu dengan sendirinya semua chat dari Yona menghilang. Rupanya dia ketakutan dengan ancamanku sehingga menghapus semua pesannya. Aku tersenyum sinis. Kenapa? Takut ya? Aku sudah screen shoot semuanya kok. Ini salah satu buktinya." Lalu kukirimkan lagi screen shoot-anku di bagian photo pamer dadanya tadi. "Jangan macam-macam kamu, aku akan tuntut ke meja hukum kalau kamu berani macam-macam!" Ancamnya. "Oh ya? Mari kita lihat, siapa yang bakal lebih dulu masuk penjara. Seseorang yang menggoda dan berniat merusak rumah tangga orang, atau seseorang yang memberi petunjuk kebenaran kepada pemilik hape, yang hapenya disalahgunakan? Dasar penipu laknat, rumah terang benderang ngaku gelap." Sent! Tidak ada jawaban lagi setelah itu. Aku yakin dia pasti sedang khawatir. Semoga saja dia jadi sadar dan taubatan nasuha! Aku masih gemetar dengan rasa marah yang belum hilang. Ingin rasanya melempar ponsel di tanganku ke kepala Mas Gibran, tetapi aku merasa kasihan melihatnya sedang mendengkur tak berdaya. Kutarik napas dengan berat. Lalu menghembuskannya dengan kasar. Inilah salah satu hal yang membuatku enggan tinggal di Surabaya. Apalagi di rumah mertua, karena mantan suamiku itu, pasti bakal merecoki rumah tangga kami. *** "Yona kamu apakan, Dik?" Aku sedang di dapur saat itu. Memotong daun bawang pre dan seledri untuk melengkapi soto yang sedang kubuat untuk sarapan keluarga. Mas Gibran tiba-tiba muncul dan langsung menanyakan itu. Nadhira dan Nadhifa bergelayut di antara kaki dan tangannya. Mereka baru saja pulang dari jalan pagi di Tugu Gresik. Jam menunjukkan angka 06:45. "Diapakan gimana?" Tanyaku tanpa menoleh. "Dengarkan ini." Ucapnya. Lalu menaruh ponselnya di atas kulkas. Suara perempuan yang yang tidak asing terdengar dari sana. Suaranya gemetar sambil menangis. “Mas tolong aku. Aku takut sekali. Aku takut sama istrimu. Dia mengancamku. Dia sepertinya berhasil membobol akun facebookku karena curiga sama kita, Mas. Dia mengambil gambar di f*******: yang sudah aku private, gambar tidak berjilbab jaman jahiliyahku dulu. Aku takut Mas, dia akan menyebarkannya di sosial medianya. Dia mengancamku semalam. Bahkan dia akan memenjarakanku. Tolong aku Mas.” Tanganku mencengkeram pisau dengan kuat. Gerahamku beradu. "Dik." Panggil Mas Gibran. Dia langsung mematikan suara dari ponselnya. Kutatap kedua matanya dengan amarah yang siap meledak. Aku yakin wajah dan mataku pasti merah saat ini. Mas Gibran menyentuh tanganku. "Kendalikan diri." Bisiknya lagi. "Bunda kenapa sih, Bund?" Suara imut itu menyadarkanku. Dua pasang mata bocah tak berdosa sedang menatapku dengan polos. Aku mendesah. Mengucap istighfar. Menepuk dadaku perlahan untuk bertahan. "Tidak apa-apa, Sayang. Bunda hanya kepanasan dikit." Kataku seraya menunjuk kompor dan menyentuh pundak Nadhira. "Ooo panas ya, Bunda." Kata Nadhira polos. "Huum." Aku mengangguk beberapa kali. "Sana ajak adeknya main di depan teve." "Baik, Bunda." Aku lega, Nadhira menuruti perintahku, ia menuntun adeknya menuju depan televisi. Kini tinggal aku dan Mas Gibran di dapur. Kedua mataku kembali tajam menatapnya. "Sekarang aku tanya sama Mas." Nada bicaraku meninggi, "Mas percaya sama aku atau Yona? Jawab dengan jujur!" "Mas percaya sama kamu, Dik." Sahutnya terdengar sedikit cemas. "Terus kenapa masih dipertanyakan?" Suaraku mulai gemetar. "Bukan mempertanyakan. Mas hanya ingin tahu saja, kamu apakan dia ampek nangis nangis gitu?" "Hooo jadi Mas merasa kasihan sama tangisannya? Merasa tidak tega pada Yona?" “Apaan sih Dik, kok gitu ngomongnya?” Aku menghentak tubuhku dengan kasar. Meninggalkan dapur, menuju meja makan. Ponselku ada di sana. Kuraih dengan kasar, kubuka gallery. "Lihat ini!" Aku benar-benar kalap sepertinya. Dadaku pun mulai terasa sesak. "Mas percaya sama kamu, Dik." "Lihat dulu!" Aku mendorong ponselku ke tangannya. "Perhatikan dengan baik, gimana dia bermaksud menggoda Mas semalam." Ya, setelah menscreen shoot semalam, aku langsung mengirimnya ke ponselku. Aku berpikir, mungkin itu bisa dijadikan bukti kejahatan Yona ke depannya jika dia tidak bertaubat juga. Aku bahkan mengirimnya ke email rahasiaku juga. Mas Gibran membuka-buka galleryku. "Ampun dah ah." Ucapnya seraya menaruh ponselku di atas kulkas. "Udah percaya, betapa tidak tahu dirinya mantanmu itu?" Serangku. "Iya, iya, Mas percaya sama kamu." Ucapnya. "Dari dulu juga Mas percaya, Dik." "Terus, Mas dapet suara Yona tadi dari mana? Kalian teleponan? Ngobrol berdua, atau ketemuan berdalih lari pagi? "Dik?" ______________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD