Part 5. Belum Menyerah

1033 Words
BAB 5. Belum Menyerah Mas Gibran menatapku gelisah. Kumainkan wajah dan mataku untuk menuntutnya. Dia pun mendekatiku. "Yona menyuruhku ke sana lagi." Bisiknya. "Mas mau ke sana?" Kejarku. "Baiknya gimana?" "Gak papa, sekali ini saja." Mas Gibran menatapku tidak yakin, "aku ikut!" ______________ Setelah memastikan dandananku menawan, aku keluar dari kamar, dan langsung mendekati Mas Gibran. Dari binar mata dan senyumnya yang lebar, aku bisa pastikan dia sedang terpana dan takjub melihat penampilanku. Sekaligus, heran. Namun, aku percaya diri berdiri di depannya. Aku cantik. Mas Gibran berdiri menyejajariku, lalu saat Novita tidak memperhatikan dia berbisik di telingaku, "apa ini tidak berlebihan, Dik?" "Kenapa? Merasa kasihan pada mantanmu itu?" Desisku dengan nada mengancam. "Tidak juga." "Lalu?" "Dandananmu lebih cocok untuk ke kondangan." "Aku hanya ingin Yona sadar, bahwa aku masih cukup cantik untuk bisa membuat suamiku bertahan dalam pelukanku, dan tidak bakal berpaling kepada mantannya yang ganjen itu!" Dengusku tidak mau kalah dari Mas Gibran. Pria itu tertawa. "Ayo." Akhirnya. Mas Gibran melangkah mendahuluiku. Aku mengikuti di belakangnya. Nadhifa ada dalam gendongannya sementara Nadhira berjalan di sampingnya bersama Novita. Hanya tiga menit berjalan kaki, kami telah sampai di rumah Yona. Rumah berpagar hitam dengan tembok dominan abu-abu tua itu tampak gelap dari luar. Hanya diterangi oleh lampu kecil di salah satu pojok teras. Mas Gibran menarik slot gerbang perlahan. Kami masuk. Di garasi samping rumah ada dua mobil berwarna hitam dan rose gold. Novita membuka pintu seraya mengucap salam. Mas Gibran masuk setelah Novita. "Eh sudah datang ya." Suara semringah Yona terdengar jelas. Dia langsung menunduk di depan Mas Gibran, menarik tangannya lalu mencium punggungnya. Aku gemas menyaksikan itu. Beruntung Mas Gibran segera menarik tangannya. "Kok bawa anak-anak sih?" Ketus Yona bertanya begitu melihat Nadhifa yang masih digendong Mas Gibran, dan Nadhira di sampingnya. "Iya anak-anak minta ikut." Sahut Mas Gibran. Yona mencelos kesal. "Aku juga ikut kok." Aku muncul di hadapan Yona. Seketika wajah kesalnya tampak semakin tak bersahabat. Rasain, batinku. "Duduk, Yah, Bund." Ajak Novita. Kami duduk di sofa empuk di ruang tamu. Yona melengos pergi dari hadapan kami. Lima menit berlalu. Sepuluh menit, belum ada tanda-tanda Yona muncul kembali. Kusenggol kaki Mas Gibran, dengan mimik wajahku, kuberi dia isyarat untuk mempercepat hal penting yang mau dibicarakan. "Mana Mama Nov, katanya ada hal penting yang mau dibicarain?" Tanya Mas Gibran. "Gak tau." Novita mengedikkan bahu. "Panggil, Nov." Perintahku kesal melihat anak itu tanpa inisiatif. Novita berdiri, lalu masuk ke ruangan di mana Yona menghilang tadi. "Maa." Terdengar suaranya memanggil. Lalu senyap. "Ada hal penting beneran atau hanya ingin ketemuan sih ini?" Gumamku sinis. Mas Gibran hanya menoleh sebentar. "Mana? Nyatanya setelah tahu aku ikut dia langsung minggat!" Ketus aku melanjutkan. Mas Gibran masih diam. "Kalau benar ada yang penting, kan mestinya dia paham, kalau aku ini istrimu, juga ibunya Novita. Aku wajib tahu juga hal penting yang berkaitan dengan suamiku dan Novita." "Sudahlah, Dik. Kita tunggu dulu." Sahut Mas Gibran pelan. "Jangan mau jadi kacung, Mas!" Tegasku, "kalau dia gak mau bicara ya sudah kita segera pergi, ngapain lama-lama di sini." Aku tidak sabar. Kulihat Novita muncul lagi. Kami menatapnya. Lagi-lagi anak itu mengedikkan bahunya. "Kenapa?" Tanya Mas Gibran. "mana Mama?" "Mama malah tiduran di kamarnya." Sahut Novita. "Heh." Aku tersenyum sinis. "Benar kan kataku." "Novita gak bilang apa-apa?" Tanya Mas Gibran lagi. "Aku bilang, 'mama ditungguin', tapi mama bilang "bodo amat'" sahut Novita. Seketika aku tertawa. Novita dan Mas Gibran menoleh kepadaku. Aku meraih tangan kedua anakku, "Ayo Dek pulang." Ajakku seraya berdiri. "Mas mau pulang denganku, atau mau di sini terserah." Aku melangkah. Kulihat Mas Gibran ikut berdiri, "Ayah pulang, Nov." Pamitnya kepada Novita. Kami meninggalkan rumah berpenghuni aneh tersebut. Untuk kedua kalinya hati kecilku mempertanyakan, "jadi sekarang, siapa yang tidak berakhlak?" *** Begitu sampai di rumah kembali, aku langsung menaruh pantatku di kursi busa ruang makan. Diikuti oleh Mas Gibran. "Lihat w******p Mas, dia pasti kirim pesan." Kataku. "Itu di atas lemari." Sahut Mas Gibran malas. Aku berjalan ke lemari, dan meraih ponselnya. Benar saja ada pesan dari Yona di sana. "Kamu emang sudah beda. Kamu sudah gak sayang lagi sama Novita, anakmu sendiri." "Aku kan sudah bilang jangan bawa siapa-siapa ke rumahku, kenapa bawa keluarga?" "Sudahlah nggak usah pedulikan Novita, urus saja keluargamu itu!" Selesai membaca pesan singkat itu, kuberikan ponsel tersebut ke Mas Gibran. "Nih baca." Lalu kepada Yona aku mendumel, "dasar gak punya malu!" Mas Gibran tidak menanggapiku. Tetapi dia membaca pesan dari Yona tersebut "Sekarang, Mas atau aku yang mau ngeblokir nomor dia?" Tantangku. "Iya iya, ini Mas blokir." Sahutnya. Aku berjalan ke kamar, berganti pakaian, lalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu mengajak anak-anak kami untuk persiapan tidur. Aku masih tidak habis pikir, ada berapa banyak di bumi ini wanita seperti Yona? Mas Gibran selalu mengelak setiap kali aku bilang bahwa mantannya itu seperti ingin kembali. "Gak mungkinlah." Katanya, tetapi faktanya dia terus menggoda. Mas Gibran menyusul ke kamar untuk membantuku menidurkan kedua anak kami. Untung Rizki, anak angkat bawaanku sangat betah tinggal di rumah barunya bersama Hamish dan Haura. Tentu saja ada pembantu yang mengurus makanan dan pakaian mereka. Kami pun menjenguk setiap hari. Menghabiskan waktu tidak kurang dari 3 jam setiap harinya bersama mereka. Bahkan terkadang seharian penuh kami di sana. Mas Gibran memelukku, "kamu pasti sangat lelah ya, Dik?" Tanyanya. "Sekarang baru Mas tanya." Kataku. Anak-anak sudah terlelap. "Kemarin-kemarin Mas hanya peduli Yona dan Novita." "Iya maaf. Setelah ini kita bisa pindah ke Gresik." Sahutnya. Malam itu aku berharap bisa tidur dengan tenang. Berharap Yona tidak akan mengganggu kami lagi. *** "Ugh!" Aku berjingkat bangun, ponsel Mas Gibran melengking panjang. Kulihat jam dinding menunjukkan angka 02:10. Nomor Novita terpampang di sana. "Astagfirullah, ngapain sih ini jam segini menelepon." Dengusku. Mas Gibran masih pulas. Begitulah dia. Kalau sudah tidur ada suara apa saja jarang bisa bangun. Berbeda sekali denganku yang mudah terbangun. Ibarat kata, ada bayangan nyamuk melintas pun aku bisa terbangun. Kuusap tombol hijau tanda terima panggilan. "Mas memblokir nomerku?" Yaa Allah, suara Yona nyaring di seberang telepon. "Mas jahat ya." Dia terisak. "Token listrikku habis. Mas tolong ke sini, aku takut, rumah gelap." Bisiknya dramatis. Aku bengong, bukannya listrik di rumah itu bayar tagihan bulanan? Kenapa tiba-tiba pakai token? Aku mendesah. Yona masih belum mau menyerah juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD