Part 7. Pindah Rumah
"Terus, Mas dapet suara Yona tadi dari mana? Kalian teleponan? Ngobrol berdua, atau ketemuan berdalih lari pagi?
"Dik?"
***
"Mas tolong aku. Aku takut sekali. Aku takut sama istrimu. Dia mengancamku. Dia sepertinya berhasil membobol akun facebookku karena curiga sama kita, Mas. Dia mengambil gambar di f*******: yang sudah aku private, gambar tidak berjilbab jaman jahiliyahku dulu. Aku takut Mas, dia akan menyebarkannya di sosial medianya. Dia mengancamku semalam. Bahkan dia akan memenjarakanku. Tolong aku Mas."
Aku mendengarkan berulang-ulang kalimat demi kalimat Yona tersebut. Sungguh licik wanita itu. Setelah apa yang dia lakukan, lalu playing victim, seolah orang yang paling terdzalimi, dan aku adalah penjahatnya. Mari kita mainkan kartu AS masing-masing.
Mas Gibran muncul dari arah ruangan belakang. Wajah dan di beberapa titik pakaiannya basah. Dia pasti baru keluar dari toilet, pikirku.
"Kok masih dengerin itu aja sih, Dik." Kata Mas Gibran yang melihatku duduk di kursi sambil ngemil kacang bawang. Suara Yona yang keluar dari ponselku terdengar dengan jelas. Ini kusalin tadi pagi. Sementara yang di ponsel Mas Gibran sudah dihapus. Aku mendongak. Mendapati Mas Gibran masih menatapku.
"Yona tiba-tiba muncul pas Mas lagi di bunderan taman tadi." Katanya ketika pagi tadi kutanya asal-muasal rekaman tangisan Yona tersebut.
"Lalu Mas ngobrol sama dia?"
"Mas berniat pergi, tapi dia langsung mencegah, dan nangis. Mas diam-diam merekam curhatnya." Jelas Mas Gibran.
"Untuk menanyaiku, apa benar aku sekejam itu?"
"Kamu kayaknya gak percaya banget sama Mas sih, Dik." Tuduhnya. Dari kedua bola matanya, kulihat sorot lelah menghadapi semua tuduhanku. Aku kasihan sebenarnya, tetapi aku juga sama lelahnya dengan kelemahannya menghadapi Yona. Ketidakmampuannya menolak setiap permintaan Yona dan Novita. Sebab itulah terpaksa aku mendominasi banyak keputusan dalam rumah tangga kami.
"Aku mau pastikan, bahwa mantan perempuanmu itu memang gila." Jawabku untuk pertanyaannya tadi, sambil mematikan suara di ponsel. Aku masuk ke kamar. Mas Gibran menyusulku.
"Mas sudah pernah berjanjanji padamu, tidak akan pernah meninggalkanmu. Mas tidak akan pernah kembali kepada Yona." Katanya sembari memelukku dari belakang. Hatiku terasa trenyuh, kedua mataku menghangat.
"Mari kita sudahi semua ini Mas." Kataku pelan.
"Kita mulai berkemas besok. Kita pindah ke rumah sendiri saja di Gresik. Hari ini insya Allah selesai bebersihnya.
Alhamdulillah.
***
Meskipun naik mobil hanya memakan waktu lima belasan menit, setidaknya itu memberiku ruang untuk bernapas agak lega. Minimal Yona dan Novita tidak bisa lagi menahan suamiku sepulang dari masjid untuk mampir dulu di rumah mereka. Juga tidak bisa lagi seenaknya nyuruh-nyuruh datang seperti yang mereka lakukan lima bulan terakhir. Aku mendesah lega.
Hari ini seminggu sejak keributanku dengan Yona di rumah mertua. Semua perlengkapan kami sudah tertata rapi di kamar baru, di rumah kami. Rumah Mas Gibran tepatnya, karena rumah ini dibangun ketika dia masih menikah dengan Mbak Raihannah, sekitar 17 tahun yang lalu. Mereka menikah muda saat itu.
Hamish dan Haura menyambut Mas Gibran dengan binar bahagia. Sedangkan kepadaku ekspresinya biasa saja. Tidak masalah, mungkin mereka perlu penyesuaian lagi. Karena dulu awal-awal aku masuk ke rumah ini, mereka juga sangat dingin menyambutku. Bahkan aku mendengar Haura bicara kepada Mbak Dian dan Hamish, "paling juga awal-awal aja dia baik sama kami. Sebulan dua bulan pasti keliatan aslinya, kayak Tante Yona." Aku tidak ambil hati perkataan itu. Karena aku tahu, kedua anak itu masih trauma atas kehadiran Yona sebelumnya, sehingga mereka waspada kepadaku. Jam sepuluh pagi, aku melihat Bi Sumi, ART di rumah ini, masih duduk santai di depan televisi.
"Bi Sumi tidak pergi ke pasar?" Tanyaku heran.
"Lah kan belum dikasih uang, Bu?" Balasnya.
"Yang kemarin saya kasih?" Aku heran. Masak iya uang satu juta habis dalam tiga hari? Padahal yang kami makan sangat sederhana. Pagi roti, selai dan s**u. Itu pun susunya kami yang beli, tanpa mengambil jatah belanja. Siang kami tidak makan nasi. Bukan tidak pernah, tetapi jarang sekali. Seringnya olahan mie, bihun, macaroni, kentang, atau spaghetti. Dengan topping berganti-ganti, jamur, sayuran, bakso, sosis, telur, daging atau ayam, dan sebagainya. Malam, selama tiga hari ini juga hanya di hari pertama kami makan kepiting saus Padang. Dan aku tahu itu kepiting seberat satu kilo harganya cuma 70 ribu di penjual pinggir jalan arah Benowo. Selebihnya, hanya tumis sawi putih, ayam goreng, sambal, goreng tempe dan tahu. Makanan sederhana seperti pada umumnya. Selama di Jakarta dan lima bulan di Surabaya, aku masak dan belanja sendiri semua itu, sehari tidak sampai seratus ribu. Kecuali pada saat masak kepiting.
"Ya ampun Bu, ya sudah habislah." Sahut Bi Sumi tidak suka, “uang sejuta dapet apa sih di jaman sekarang? Apa-apa mahal, Bu.”
"Oh, ya sudah nanti kita belanja bareng saja, sekalian ambil uang di ATM, karena kemarin itu cuma ambil itu doang, jadi gak megang uang lagi. Kecuali yang buat jajan anak-anak." Kataku. Lalu pergi meningggalkan Bi Sumi yang masih bergeming di depan televisi. Aku masuk ke ruang keluarga. Di sana anak-anak dan Mas Gibran sedang berkumpul.
"Minta tolong Bi Sumi bikin camilan yuk, Bund." Haura yang melihatku masuk dan duduk di sofa langsung berkata.
"Bunda baru buka kulkas, gak ada isinya." Sahutku, "emang pingin ngemil apa, Haura?"
"Apaan kek, yang gurih-gurih gitu. Tahu isi misalnya." Sahut Haura.
"Ya udah Bunda minta Bi Sumi beli tahu ama sayuran." Kataku. Lalu kepada Mas Gibran aku berkata, "Mas ada, uang? Minta buat beli bahan."
"Bi Sumi kan masih megang uang belanja, Nda." Sahut Mas Gibran.
"Nggak, barusan aku nanya dah habis katanya." Sahutku.
"Lah kan baru tiga hari, masak dah habis?" Mas Gibran juga terlihat heran.
"Tuh kan Haura, bukan cuma aku yang bilang Bi Sumi boros." Hamish menimpali. Aku menoleh kepadanya.
"Selama Ayah dan Bunda di Jakarta kan yang megang uang dia, Bund. Itu selalu minta lagi ke Hamis, dia tu." Katanya. Aku melongo. Enam juta perbulan untuk tiga orang masih minta lagi? Padahal kami yang berlima saja cuma tiga juta perbulan hidup di Jakarta. Itu pun kadang masih sisa.
"Kadang enam ratus ribu tiga hari habis buat makan kita bertiga." Lanjut Hamis. Yang dia maksud bertiga adalah, dirinya, Haura dan Bi Sumi sendiri.
"Lah emang kalian makan apa sehari dua ratus ribu?" Tanyaku penasaran.
"Ya biasa Bund. Seperti yang kita makan gitu. Cuma paling lauknya dikurangin, gak sebanyak kalau ada Ayah sama Bunda." Terang Hamish.
"Mending mulai besok Bunda aja deh yang belanja." Ucap Haura. Aku menoleh.
“Hihi kalau Bunda nggak males sih?" Haura meringis sambil mengangkat dua jarinya membentuk huruf V. Aku ikut tertawa bersamanya.
"Idemu bagus kok." Sahutku.
"Eh beneran ta, Bund?" Haura tampak tidak percaya. Dia bergerak cepat dan duduk di sampingku. Tangannya memegangi lenganku, dan kepalanya bergelayut di sana.
"Dih manja!" Hamish meledek. Haura membalas dengan menjulurkan lidah kepadanya. Aku bahagia, karena akhirnya bisa dekat dengan anak-anak.
***
Hari ini genap sebulan aku berada di rumah kami sendiri. Kukira aku sudah bisa bernapas dengan lega, karena tidak akan bersinggungan dengan Yona lagi. Tetapi Yona memang sungguh luar biasa. Rupanya dia tidak akan pernah membiarkan kami menikmati hidup dengan tenang.
Pagi ini ketika aku sedang di dapur, aku melihat ada tas kertas yang dikemas sangat bagus. Menandakan ada sesuatu yang mewah di dalamnya. Aku penasaran. Kudekati benda tersebut. Baru akan kusentuh, tiba-tiba sebuah suara mengejutkan di belakangku.
"Apa yang kamu lakukan?" Aku langsung terlonjak. Saat aku menoleh, Bik Sumi ada di sana.
"Ah, maaf." Sahutku berusaha tenang. "Ini apa ya, Bi?"
"Itu kan privasi, Bu. Ibu tidak boleh dong sembarang menyentuh barang saya." Sahut Bik Sumi ketus.
"Oh iya, maaf Bi. Tapi Bi Sumi kan punya kamar, taruh aja di kamar, karena kalau di dapur semua bakal mengira punya kita semua." Sahutku.
"Ya kan saya sibuk, Bu, belum sempat. Saya bukan pengangguran." Sahutnya tak bersahabat. Aku mendesah.
Tak mau ambil pusing, aku segera menyampaikan keperluanku, "bersiap ya Bi, kita ke pasar." Tanpa menunggu jawaban aku langsung berlalu. Ada apa dengan Bi Sumi? Kenapa dia seperti marah?
Di kamar aku melihat ponselku. Sebuah pesan baru masuk dari nomor Khumaira, sepupu suamiku.
"Mbak, baca deh status WAnya Bik Sumi." Dahiku mengernyit. Lalu membuka story. Namun aku tidak menemukan status apa pun dari nomor Bik Sumii.
"Tidak ada tuh," balasku ke Khumaira, "ada apa emang?"
"Berati Mbak diblokir dari statusnya." Balasnya sambil mengirimkan gambar screen shoot status Bik Sumi.
Poto Bik Sumi dengan Yona terpampang di layar ponselku. Dengan caption berbahasa Inggris yang artinya, "Dia adalah nyonya terbaik. Nyonyaku yang sebenarnya. Terima kasih banyak Bu, untuk kiriman hadiahnya hari ini. Kangen."
Aku mendongak, mencoba menetralisir hati, Yona mulai mendekati Bik Sumi dengan cara sampah murahan. Apa rencananya?