Part 4. Jangan Ajak Siapa-Siapa

1135 Words
Bab 4. Jangan Ajak Siapa-Siapa Jika sampai kecelakaan itu hanya akal-akalan Yona, lihat saja apa yang akan terjadi, aku pasti akan membalasnya. *** Satu jam berlalu sejak kepergian Mas Gibran dan Nadhira. Belum ada kabar separah apa Novita kecelakaan. Aku menunggu dengan tenang. Mas Gibran pasti bakal segera mengabariku jika benar Novita parah. Sambil menunggu aku membuka laptopku, untuk memasukkan catatan keuangan harian. Sejak kemarin aku belum sempat memasukkan. Terlalu sibuk dengan rasa jengkel dan dongkol di hatiku. Saat baru selesai menginput pengeluaran, kulihat layar ponselku berkedip. Nama Mas Gibran muncul di panggilan w******p. "Halo, Yang." Panggilnya ketika sudah kutekan tombol terima di layar. "Ya?" "Mau pesan sesuatu gak?" tanyanya. "Loh?" "Iya, Novita gak kenapa-napa." Lanjut Mas Gibran. Nah kan dikerjain si Yona lagi. "ini Mas mau pulang sama Nadhira, kamu mau nitip sesuatu ta?" "Emang punya uang?" Tanyaku dengan nada mengejek. Jelas-jelas uang kami sedang ludes tak bersisa, sok nawarin jajan segala. "Ada, kan kemarin pinjem ke Mbak Dian buat ngembaliin uang anak-anak. Sekalian aja minjem buat pegangan." Kudengar diujung penjelasannya Mas Gibran tertawa. "Potong jatah Novita bulan depan buat balikin ke, Mbak Dian." Seruku kesal. Mbak Dian adalah kakak perempuan suamiku satu-satunya. Dia yang mengelola bisnis bersama keluarga, karena dia satu-satunya kakak iparku yang tidak pernah meninggalkan kota Surabaya. Kakak sulung ada di Jakarta bersama keluarganya. Begitu juga kakak ipar kedua yang ada di Malang beserta keluarganya juga. Sedangkan Mas Gibran, meskipun dia memiliki rumah di Kota Gresik, dia lebih sering ada di luar kota. Dia menetap di Gresik hanya ketika menjalani rumah tangga dengan Raihanna dan Yona saja. Itu pun tidak lama. Dan Yona juga tidak mau tinggal bersama anak-anak Mas Gibran, sehingga ia tidak tinggal di rumah itu. Yona minta dikontrakkan rumah sendiri bersama Novita. Mas Gibran tidak menanggapi ucapanku. Sebagai gantinya dia mengingatkanku pada tujuannya menelepon. "Gimana, mau nitip nggak?" "Gak minat!" Seruku masih kesal. Novita sudah peroleh jatah lima juta setiap bulannya. Seharusnya itu lebih dari cukup. Namun sangat mengherankan, uang sebesar itu tidak cukup untuk satu anak. Sedangkan kami berempat saja hanya menghabiskan sekitar tujuh juta, untuk semua kebutuhan. "Ya wes, Mas pulang nih." Sahut Mas Gibran masih memberiku peluang. "Ya, pulang aja." tandasku dengan penekanan. Lalu kumatikan sambungan. "Jadi beneran Yona hanya ingin mengajak suamiku nongkrong di cafe?" Gumamku, resah. *** Sehari setelah kejadian itu, saat iqamat isya di masjid baru berhenti, Novita muncul di rumah kami. Nadira yang membukakan pintu. "Ayah mana, Bund?" Tanyanya ketika melihatku duduk di kursi makan. Kuperhatikan tubuhnya dari ujung kaki hingga kepala, tidak ada tanda-tanda anak itu habis kecelakaan. "Sholat isya di masjid." Sahutku datar. Dalam hati ada sedikit rasa tidak nyaman. Antara marah dan rasa yang membuatku takut akan membencinya. Walau bagaimana dia kakak anak-anakku. Kelak jika kami, orang tuanya sudah pada tiada, merekalah keluarga. Mereka harus saling menjaga. Aku mendesah berat. Aku tidak boleh menyalahkan Novita, apalagi membencinya. Kecuali jika memang anak itu melakukan sesuatu yang patut kubenci. "Mama Yona bilang kamu kecelakaan, kecelakaan apa?" Tanyaku saat Novita sudah duduk di kursi dekat meja makan. "Nggak kok Bund. Bohong Mama tu." Sahut Novita. Kemarin cuma kesrimpet plastik kresek, hampir jatuh tapi gak jadi, ditangkap Cintya." Cintya adalah sepupunya, anak kakak perempuannya Yona. "Oh, kirain parah. Mama sampai telepon Ayah suruh ke sana." "Mama bilang ke aku, 'gak pengen ta ngopi bareng ayah' aku bilang pengen tapi gak enak mau ajak ayah." Cerita Novita. Diam-diam aku mengulas senyum tipis. Anak ini benar-benar polos. Aku ingat waktu pertemuan pertama kami. Usianya tujuh tahun saat itu, dia bahkan berkata, "aku tidak suka mama, tukang bohong dan galak", hal itu dibenarkan oleh Mas Gibran. "Emang bener kata Novita." Begitu waktu itu Mas Gibran berkata. Dan anehnya, sampai sekarang Mas Gibran masih saja suka merasa tidak enak untuk menolak Yona yang pendusta itu. "Novita sudah makan?" Tanyaku. Rasa marahku yang sempat menyusup ke hati sejak kedatangannya tadi, kembali luntur. Anak itu benar-benar tidak tahu apa-apa. Mungkin karena dia jarang bergaul dengan teman di luar rumah, makanya meskipun usianya sudah lima belas tahun, dia tetap polos untuk aib ibunya yang seharusnya dia tutupi dariku. "Sudah, Bunda." Sahutnya. "Ya sudah. Bunda juga tidak masak. Kalau belum makan Bunda pesenin via online. Atau kalau mau dibeliin ayah." Kataku. "Hape ayah dibawa ta Bund?" Tanyanya. "Nggak. Masak iya sholat ke masjid bawa hape." Sahutku. Lalu berjalan mencari ponsel Mas Gibran di atas lemari. Ada apa dia nanya ponsel ayahnya? Aku kembali curiga. Aku langsung membuka aplikasi w******p di ponsel Mas Gibran, begitu benda itu ketemu. Benar, ada pesan dari Novita yang belum dibaca, sejak jelang maghrib tadi. Dari tadi Mas Gibran memang sibuk dengan beberapa tamu yang datang, sehingga dia belum sempat membuka ponselnya. Kuusap dengan ujung jariku, pesan yang belum terbaca itu. "Ayah, setelah maghrib, mama nyuruh ayah ke sini, seperti biasa, sendirian, tidak boleh ngajak siapa-siapa." Aku mendesah berat. Lagi. Wanita itu benar-benar tidak punya malu. Sepertinya aku benar-benar harus turun tangan untuk mengatasinya karena Mas Gibran terlalu lemah untuk menolak permintaan mantannya itu. "Ini yang menulis pesan kamu, Nov?" Tanyaku. Kedua mataku lurus menatapnya. "Iya Bunda." Sahutnya, "Mama yang nyuruh." Aku diam beberapa saat, mataku terpaku pada pesan lain yang sudah dibuka namun belum dibalas sama Mas Gibran. Sepertinya memang tidak dibalas karena pesan tersebut sudah jam 12 malam kemarin. "Mas sudah tidur ta? Aku tidak bisa tidur. Aku gelisah.” Begitu bunyi pesan tersebut. Sepuluh menit kemudian. "Mas besok kalau nganter sekolah Novita pakai mobilku saja ya, jangan naik motor, sekalian anter aku belanja kebutuhan sekolah Novita." Ganjen! Batinku. Kutatap Novita. Wajahnya yang mirip sekali dengan Yona membuatku kembali kesal. "Nov." Panggilku pelan. Novita mendongak. "Apa, Bund?" "Gini," aku menelan ludah. Dalam hati menyebut bismillah, berharap Novita bisa memahami maksud yang akan kuucapkan. "Bunda keberatan kalau Ayah terus-menerus ketemu Mamamu." Kupandangi wajah Novita. Dia sudah kembali menunduk dengan ponsel di tangannya. "Tahu kenapa? Karena memang tidak boleh. Secara hukum agama juga tidak boleh. Ayah sama mamamu sudah bercerai. Sudah gak boleh ketemuan lagi. Hukumnya juga haram." Novita masih diam. Entah, apakah dia paham atau tidak. Aku tetap melanjutkan, "Novita kan sudah besar, sudah bisa bicara langsung pada Ayah. Jadi Bunda minta sama Novita, ke depannya apa pun yang Novita inginkan dari Ayah, bicara sendiri langsung padanya. Tidak perlu lagi melalui perantara Mama. Novita paham kan maksud Bunda?" "Paham Bund." Sahutnya sambil mengangguk. Aku lega. Bersamaan dengan Mas Gibran yang mengucap salam dari depan. Aku melangkah menuju pintu. "Ada Novita." Kabarku kepadanya. "Halo anak-anak" sapa Mas Gibran. Novita langsung menyalami ayahnya. Saat aku pura-pura tidak melihat mereka, Novita berbisik ke telinga Mas Gibran. Apa lagi kali ini? Masih nekat menyampaikan pesan mamanya agar kesana tanpa mengajak siapa-siapa? Mas Gibran menatapku gelisah. Kumainkan wajah dan mataku untuk menuntutnya. Dia pun mendekatiku. "Yona menyuruhku ke sana lagi." Bisiknya. "Mas mau ke sana?" Kejarku. "Baiknya gimana?" "Gak papa, sekali ini saja." Mas Gibran menatapku tidak yakin. "Aku ikut!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD