Part 3. Ngajak Ketemuan Di Cafe
Perlahan aku turun dari kasurku, melangkah ke lemari, mengecek dompet Nadira dan Nadifa. Gustiiii, aku langsung lemas. Uang satu juta diambil semua? Hatiku terasa nyeri. Tidak terima uang anak-anakku diberikan kepada kakaknya tanpa keikhlasanku!
***
Aku sangat kecewa begitu mengetahui uang anak-anakku diambil semua oleh Mas Gibran untuk kebutuhan Novita kemarin. Lebih sakit lagi ketika siang ini k****a status w******p anak itu pamer gambar jalan-jalan di kota Malang, bersama Yona dan beberapa anggota keluarga besar mereka. Penasaran aku mengomentari status tersebut.
"Seru ya Nov, kegiatan sekolah tapi bisa diikuti oleh seluruh keluarga?"
"Ini bukan kegiatan sekolah, Bunda. Rekreasi keluarga. Idenya Mama seminggu lalu." Balas Novita. Anak itu memang masih polos, dan tidak mau berdusta. Aku berjalan mendekati Mas Gibran yang sedang menonton televisi sambil minum teh buatanku.
"Mas lihat," kataku seraya meyodorkan layar ponselku ke depan wajahnya, "ternyata rekreasi Novita itu idenya Yona lho. Bukan kegiatan sekolah."
"Ya Mas gak tau. Yona WAnya bilang kalo Novita mau ada kegiatan outbond dari sekolah hari ini."
"Kok Mas gak bilang kalau Yona kirim pesan w******p?"
"Ya ini bilang."
"Kalau aku gak nanya mana bilang Mas!" Rasa kesalku benar-benar terasa ke ubun-ubun kali ini.
"Apaan sih, Dik."
"Mantan istrimu itu memang pendusta! Dan Mas masih aja bisa dikibulin ama dia. Dimanfaatin gak jelas. Aku gak ridho uang anak-anakku dipakai buat biayain mereka senang-senang. Balikin!" Tuntutku.
"Apaan sih, Dik. Iya nanti kalau Mas sudah ada uang." Sahut Mas Gibran tetap lembut.
"Tidak. Aku mau sekarang. Aku gak ridho!"
"Ya Mas gak ada uang sekarang." Sahutnya. Aku menghentak tubuhku. Berjalan menuju kamar. Rasa kesal membuatku menangis di sana. Mas Gibran menyusulku.
"Kamu kenapa sih, Dik." Tanyanya sambil hendak meraih bahuku, namun aku mundur dan menghindari sentuhannya. Mas Gibran berusaha merayu, aku bertahan dengan rasa kesal yang bertumpuk. Akhirnya Mas Gibran menyerah, dan keluar kamar lagi.
Mas Gibran suamiku merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ketiga saudaranya sudah sukses dengan pekerjaan masing-masing. Tentu saja mereka juga memiliki bagian di bisnis keluarga, namun mereka tetap bekerja di perusahaan orang lain karena domisili yang berbeda. Sedangkan Mas Gibran tidak pernah punya minat bekerja di perusahaan orang lain. Dia lebih suka membangun bisnis sendiri meskipun berkali-kali gagal. Untungnya, bisnis keluarga yang di kelola kakak perempuannya berjalan dengan baik, dan semakin besar, sehingga kami tidak mengalami kesulitan ekonomi, meskipun hidup secara sederhana. Lalu kenapa kami memiliki anak asuh? Namanya Hamish dan Haura. Tidak ada yang tahu jika mereka adalah anak asuh, kecuali Mas Gibran dan aku. Aku pun tahunya tidak sengaja, ketika Mas Gibran lupa menutup laci rahasia di lemarinya, saat kami berkemas akan berangkat ke Jakarta enam tahun lalu. Semua orang tahunya mereka adalah anak kandung Mas Gibran dan Raihannah. Tidak ada yang tahu jika Raihannah belum pernah melahirkan anak selama di perantauan. Dan Mas Gibran telah berjanji kepada almarhumah istrinya itu, "jangan pernah sebut mereka sebagai anak asuh, kepada siapapun. Karena mereka adalah anak-anak kita."
Mas Gibran memenuhi janji tersebut.
Raihannah adalah seorang aktivis pendidikan, dia sangat aktif menyuarakan pendidikan untuk anak kurang mampu. Bahkan dia bersosialisasi ke pelosok-pelosok. Hingga suatu hari, dia terdaftar sebagai tenaga pendidik untuk sebuah wilayah primitif di salah satu ujung negeri ini. Mas Gibran dengan setia menemani istrinya itu. Selama tiga tahun lebih mereka ada di rantau, tanpa pulang ke rumah di Jawa Timur. Di sanalah mereka bertemu Hamish dan Haura, dua anak malang dari TKI yang dipulangkan karena hamil di luar negeri. Hamish berusia 3 tahun, dan Haura berusia 1,5 tahun saat diadopsi. Sayangnya, tiga tahun setelah itu Raihannah meninggal dunia karena sakit, setelah kembali ke kota Gresik. Dua tahun kemudian, Mas Gibran menikahi Yona.
Hampir seharian aku mengurung diri di kamar. Rasa kesal membuatku tidak ingin bertemu orang-orang. Aku hanya keluar saat waktu sholat tiba, mendengar anak-anak ribut, dan makan. Kemudian masuk kamar lagi.
Jelang maghrib Mas Gibran kembali masuk. Wajahnya datar. Tidak terlihat kesal, tidak juga ada senyuman. Dia mengulurkan tumpukan uang seratus ribuan kepadaku.
"Nih Mas balikin." Katanya. Aku diam. Mas Gibran menaruh uang tersebut di sampingku, lalu keluar lagi. Dapat uang dari mana dia? Aku membatin. Kuambil uang itu, berjingkat menuju lemari. Kukembalikan uang tersebut ke dompet khusus milik Nadhira dan Nadhifa. Lalu, aku melangkah mendekati Mas Gibran.
"Mas," Panggilku.
"Hmm." Gumamnya tanpa menoleh. Masih fokus dengan ponsel di tangannya.
"Bisa kah Mas jangan komunikasi sama Yona lagi?" Pintaku. Mas Gibran mengangkat kepalanya, menatapku.
"Kami cuma ngomongin masalah anak, Dik."
"Novita sudah gede lho Mas. Apa yang dibutuhkannya, dia sudah bisa bicara langsung ke Mas. Kalian sudah bisa kok berdiskusi tanpa perantara Yona."
"Iya tapi kadang Yona ingin bicara langsung."
"Mas kok jadi bela dia terus sih?" Nadaku kembali meninggi.
"Apa sih Dik?"
"Dia itu udah mantan Mas. Ini bahaya kalau Mas terus-menerus menuruti permintaan dia. Atau Mas memang ingin memberi dia kesempatan merusak rumah tangga kita?" Mengatakan itu, dadaku rasanya sesak sekali.
"Kok gitu sih Dik ngomongnya?"
"Lha terus apa? Mas tanya deh sama Ustadz, boleh gak mantan saling ketemuan? Ngobrol berdua?" kesalku.
"Ya kalau begitu, besok kalau dia minta Mas ke sana lagi, kamu ikut saja." Kata Mas Gibran.
"Jadi masih akan terus bertemu? Sampai kapan?"
"Iya, iya, nanti Mas tolak dia, udah jangan dibahas lagi." Sahut Mas Gibran akhirnya, terkesan malas ribut denganku. Aku mendesah, menghentakkan p****t di kursi sampingnya.
Baru beberapa menit aku membuka sosial mediaku, ponsel Mas Gibran sudah melengking dengan musik yang tidak enak didengar oleh telingaku. Kulongok ponsel di tangan suamiku itu. Nama Yona terpampang di sana.
"Mau apa lagi, dia?" Kataku, seraya menyentuh tombol terima dan memberinya suara besar.
"Mas, Novita kecelakaan, bisa ke sini?" Suara Yona langsung terdengar nyaring.
"Hah, kecelakaan gimana?" Tanya Mas Gibran.
"Ya pokoknya kecelakaan."
"Kok bisa sih?"
"Ampuun pake nanya lagi! Ke sini saja napa! Udah gak peduli ya sama anak?" Seru Yona.
"Di mana?"
"Di cafe Moon And Start. Sendirian saja, jangan bawa siapa-siapa!" Kata Yona. Panggilan langsung dia matikan.
"Wow dah mulai ngajak ketemuan di cafe!" Sindirku.
"Kan kamu dengar sendiri, Dik. Novita kecelakaan."
"Mas yakin?" Kejarku. "Kalau benar kecelakaan, kenapa bukannya ketemuan di rumah sakit, tapi malah di cafe? Kan aneh?"
"Sudahlah, Dik. Mas ke sana dulu, kita lihat dulu keadaan Novita." Pintanya.
"Oke, tetapi kalau dia baik-baik saja, jangan salahkan aku ya kalau aku sumpahin kecelakaan beneran."
"Dik kok gitu sih ngomongnya."
"Habisnya udah sering ditipu, Mas masih aja percaya sama omongan Yona."
"Ya kita lihat nanti, apa dia nipu atau tidak." Sahut Mas Gibran lagi, seraya bersiap-siap untuk pergi.
"Nadhira!" Panggilku kepada anak sulung kami.
"Iya Bunda." Nadhira datang.
"Ayah mau jalan-jalan tuh. Sana ikut ayah." Ucapku tanpa meminta pendapat Mas Gibran. Kulihat Mas Gibran hanya bisa pasrah pada ulahku. Dia diam saja meskipun dari sorot matanya ada semburat protes. Aku tidak peduli. Hanya dengan cara ini, Mas Gibran tidak akan membonceng mantannya itu. Kuberi Nadhira jaket dan helm. Lalu dengan lincah anak itu duduk di jok motor depan ayahnya. Motor meluncur meninggalkanku di ambang pintu. Awas aja kamu Yona, kalau sampai kecelakaan itu hanya alasan agar bisa ketemu suami orang!