BAB 2. Tertipu Oleh Anak Tiri
"Dasar gak ada akhlak!" Sebuah ungkapan yang sungguh merendahkan. Sisi hatiku ingin memberinya pelajaran sekaligus menyadarkannya, siapa yang tidak berahlak sebenarnya. Wanita yang mengganggu suami orang, dan hanya berani mengolok dengan menyindir, apa pantas disebut berakhlak?
Kakiku kembali melangkah. Jangan diladeni, teriak hatiku. Aku memilih menurut. Aku harus kuat pada prinshipku, selama orang itu tidak terang-terangan bicara kepadaku, biarlah ia menggonggong seperti anjing.
***
Sampai di rumah aku langsung menuju dapur. Menaruh belanjaan, cuci tangan dan masuk kamar. Melepaskan jilbab serta menaruh dompet di atas lemari.
"Novita kirim pesan." Mas Gibran menyambutku saat aku keluar dari kamar lagi.
"Kenapa?" Tanyaku mencoba sekalem mungkin, mengesampingkan bayangan Yona yang nyinyir di warung tadi. Walau bagaimana, Novita dan Yona dua sosok yang berbeda. Jika ada di antara mereka yang membuat masalah denganku, aku tidak boleh melibatkan yang lainnya, kecuali mereka yang mau melibatkan diri.
"Mau main ke sini." kata Mas Gibran lagi.
"Oh." Gumamku, seraya melangkah menuju dapur. Aku membeli kacang dan telor sebenarnya hanya untuk simpanan, kalau-kalau aku ingin makan sayur nantinya. Tetapi kali ini aku tidak jadi memasukkannya ke dalam kulkas. Sepertinya aku akan mewujudkan ucapan Yona tentang anaknya yang setiap kali ke tempat ayahnya, hanya disuruh makan dengan sayur kacang dan telur. Biar dia tahu, seperti apa rasanya sayur kacang dan dadar telur buatan ibu tirinya ini. Aku tersenyum sinis.
Padahal, selama lima bulan tinggal bersama ibu mertua, ini pertama kalinya aku membeli sayuran kacang panjang, niatnya cuma mau kurebus dan cocol sambal. Aku malas memasak sayuran satu ini karena membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk mengolahnya, dan bumbu juga harus lengkap jika mau enak. Aku lebih suka masakan sederhana yang paling hemat waktu saat dimasak dan dibersihkan. Seperti kol, sawi, kailan, bayam, dan sejenisnya. Yang bisa kutumis hanya dengan jahe iris dan garam. Sedangkan kacang panjang, kangkung, enaknya dengan bumbu komplit seperti bawang merah, bawang putih, cabe. Aku tidak telaten melakukan itu.
"Mas pergi dulu, Dik." Di tengah-tengah kesibukanku menyemai sayuran untuk kumasak demi Novita, Mas Gibran berseru, ia sudah bersiap hendak keluar. Mas Gibran memang suka semaunya kalau memanggilku. Terkadang menyebut namaku, terkadang Dik, terkadang Sayang. Yang nomot tiga itu, panggilan yang paling tidak kusukai.
"Kemana?" Tanyaku.
"Jemput Novita." Sahutnya.
"Pake dijemput?"
"Iya, Mas disuruh pamit ke Umminya dulu, kalo mau ajak Novita ke sini." Ummi adalah sebutan untuk neneknya Novita. Ibunya si Yona.
"Lah bukannya Novita yang mau main ke sini, gak ada yang ngajak?" Tanyaku mulai tidak enak hati.
"Iya, tapi kata Novita, Ummi meminta Mas tetap harus ke sana pamitin dia." Terang Mas Gibran.
"Ketemuan ama mantan lagi deh." Seruku kesal. Gak anak gak emak sama saja! Semoga saja Novita beda.
"Apaan sih Dik. Orang cuma mau jemput Novita aja kok."
"Novita udah segede itu, jelas-jelas mau main ke tempat ayahnya, perjalanan cuma tiga menit dari sana ke sini, pake suruh pamit, suruh jemput segala. Ribet amat!" Gerutuku.
"Mau gimana lagi, mereka maunya begitu." Datar Mas Gibran menjawab. Aku geram, tetapi ya sudahlah. Kubiarkan Mas Gibran pergi ke rumah mereka untuk menjemput Novita. Aku melanjutkan pekerjaanku.
***
Aku pecinta makanan pedas. Ingin rasanya menaruh banyak cabe pada sayur kacang berbumbu santanku ini. Tetapi aku teringat Novita, yang tidak suka pedas. Jadi aku mengalah. Gampang aku nanti bikin sambal, pikirku. Walau pada akhirnya aku memilih membeli sambal sachetan ketimbang bikin. Malas ribet.
"Yang, tolong isiin pulsa nomor Novita ya." Tiba-tiba Mas Gibran muncul di dapur. Jam 11:00, mereka sudah datang sejak satu jam setengah lalu. Novita sedang tiduran sambil menatap layar ponselnya di ruangan televisi. Dari suaranya itu adalah game yang memang biasa dia mainkan setiap berada di sini. Terkadang dia hanya menonton video di t****k dan Youtube.
"Perasaan belum lama diisi seratus ribu?" protesku.
"Iya sudah habis." Sahut Mas Gibran.
"Boros amat, aku aja yang buat kerja seratus ribu buat sebulan." lanjutku lagi.
"Iya dia buat nonton-nonton t****k dan Youtube makanya cepat habis." Sahut Mas Gibran lagi datar. "isiin yak."
"Aku selesaikan ini dulu." Aku pun mengalah. Sebenarnya biaya hidup Novita sudah diberikan kepada ibunya setiap bulan. Dari uang makan, biaya sekolah, uang jajan, pulsa, Internet dan lainnya, tetapi, entahlah, sepertinya masih kurang saja setiap bulannya. Ada saja yang dipinta Novita kepada ayahnya. Beli sepatu, beli sepeda, tas, baju, handphone, terakhir yang belum bisa kami penuhi adalah laptop. Dia belum membutuhkan benda itu.
"Makasih, Sayang." Sahut Mas Gibran seraya memegang pinggangku.
"Lepas." Aku menghentakkan diri. "Risih tau!"
Mas Gibran senyum-senyum sambil memainkan alisnya yang tebal. Aku sebal melihatnya. Beberapa menit kemudian, ia kembali ke ruangan di mana anak-anak berada.
Sambil menunggu sayur matang, kubuka mobile banking, membeli pulsa untuk Novita. Kulihat transaksi sebelumnya. Baru dua belas hari yang lalu nomornya kuisi pulsa seratus ribu. Agak malas akupun mengisi lima puluh ribu lagi pada nomor Novita. Setelah itu aku kembali ke dapur.
"Siang makan apa kita, Yang. Novita laper katanya." Lagi-lagi Mas Gibran masuk dapur.
"Iya ini udah mateng. Mas ambil piring aja ama nasi." Sahutku sekaligus memintanya membantu. Mas Gibran langsung mengerjakan apa yang kupinta. Aku menghidangkan sayur kacang dalam mangkuk besar, dan telur dadar dalam piring. Setelah semuanya siap, kami mulai makan bersama. Sayur santan kacang begini, sudah berbulan-bulan aku tidak memasaknya. Dan sekarang kami bisa menikmatinya lagi.
Saat sedang asyik menikmati sayur tersebut, tiba-tiba kulihat Novita menyendok sayur dengan sendok yang dia gunakan untuk memasukkan makanan ke mulutnya.
"Astaga, Novita?" Spontan aku bergumam. "Itu kan ada sendok sayurnya. Kenapa pakai sendok yang dipakai ke mulut?"
"Eh iya lupa." Sahutnya tanpa merasa bersalah. Gustii, aku memasaknya dengan perjuangan, dan baru menyendok satu sendokan sayur kecil, tetapi sayur itu bercampur dengan sendok bekas mulut Novita. Aku paling tidak bisa makan barengan kalau bukan dengan keluarga inti yang paling dekat denganku. Aku tidak akan mungkin memakan sayur itu lagi! Ugh… sekali lagi hatiku kesal.
***
Tiga jam kemudian.
"Yang ada uang?" Aku sedang tiduran sambil mengetik di ponselku, ketika Mas Gibran lagi-lagi muncul. Sebagai ibu rumah tangga, selain mengurus rumah, isi perut keluarga dan anak-anak, aku juga memanfaatkan waktu kosongku untuk bekerja sebagai freelancer online untuk menghasilkan uang. Aku juga nyambi mengelola online shop, agar hasilnya bisa kupakai bersedekah dan berbagi kepada keluargaku sendiri tanpa mengganggu uang pemberian suamiku. Terkadang juga hasil kerjaku itu bisa kami gunakan untuk menutup kebutuhan ketika suamiku sedang tidak memiliki uang. Karena, meskipun kami memiliki bisnis keluarga yang lumayan, kebutuhan keluarga kami juga sangat besar, sehingga terkadang kami kehabisan uang untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya. Seperti hari ini.
"Tinggal lima puluh ribu di dompetku." Sahutku. "Itu pun buat persediaan belanja besok."
"Kuranglah." Sahut Mas Gibran.
"Buat apa?"
"Novita butuh uang buat outbond besok."
"Ya kalau kita gak ada mau gimana? Mas kan tahu tabungan kita udah terkuras ludes buat renovasi rumah."
"Nadira sama Nadifa kan punya tabungan. Pakai saja uang mereka buat Novita." Tiba-tiba suara yang sangat kukenali sudah terdengar di belakang kami. Itu ibu mertuaku.
"Nggak bisa dong Bu. Uang mereka ya milik mereka, buat simpenan mereka. Kok suruh dikasihkan Novita. Aku gak setuju." Protesku.
"Ya mau gimana lagi, Novita butuh uang, ayahnya gak punya." Sahut Ibu mertua lagi. "Lagian Nadira sama Nadifa kan masih kecil, belum butuh uang. Paling juga nanti habis sama kamu."
"Sekarang belum butuh, ke depannya butuh. Aku keberatan uang mereka dikasihkan siapa pun. Aku saja biarpun kepepet tidak pernah pakai uang mereka." Tegasku, seraya melangkah meninggalkan Ibu mertua dan suamiku. Masuk kamar dan menghempaskan tubuh di atas kasur dengan dongkol.
"Ayolah, Dik." Rayu Mas Gibran yang ternyata menyusulku ke kamar.
"Terserah ya, yang jelas aku tidak setuju!" Sungutku.
"Di mana?" Mas Gibran tampak sama sekali tidak mengindahkan perasaanku.
"Dompet coklat, lemari." Sahutku ketus. Mas Gibran keluar kamar. Tidak lama kemudian kudengar pintu luar dibuka. Itu pasti Novita yang hendak pulang. Kemudian sepi.
Perlahan aku turun dari kasurku, melangkah ke lemari, mengecek dompet Nadira dan Nadifa. Gustiiii, aku langsung lemas. Uang satu juta diambil semua? Hatiku terasa nyeri. Tidak terima uang anak-anakku diberikan kepada kakaknya tanpa keikhlasanku!