Surga Yang Suamiku Janjikan

1032 Words
Aku mencintai Mas Fikram jauh dari apa yang Mas Fikram bayangkan, banyak hal yang ku pertaruhkan demi sucinya ikatan pernikahan ini, aku rela kehilangan pekerjaan yang ku pertaruhkan selama ini, aku pertaruhkan kesuksesanku demi memilih menjadi istri yang baik, karena aku tahu bahwa menjadi istri adalah ibadah terpanjang yang harus aku lalui. Tapi sayangnya hanya aku yang berjuang, Mas Fikram tidak. Setelah mengabdi menjadi istri yang baik, bekerja dengan giat sepanjang pernikahan yang sudah lima tahun ini, tak dibayar dan hanya lelah yang ku dapat, lalu aku harus memahami suamiku mendua? Aku dan Mas Fikram kini berada di kamar, Mas Fikram berusaha menjelaskan semuanya padaku. Tentang ia dan Nada yang berhubungan dibelakangku. Aku meninggalkan keluarga yang tak akan pernah membelaku, aku meninggalkan Nada. Lalu, Mas Fikram menyusul langkahku dengan hatiku yang pilu. “Kamu pasti marah padaku, ‘kan?” “Pertanyaanmu konyol, Mas.” Aku menggeleng. Aku berusaha tegar tidak mengeluarkan airmata, mungkin aku dididik menjadi kuat sehingga aku sampai lupa caranya untuk menangis. “Aku minta maaf karena mengkhianati kepercayaanmu, tapi aku dan Nada saling mencintai.” Dengan gelak tawa aku lemas dan duduk ditepi ranjang, sungguh biadap mulut suamiku, dia mengakui telah mencintai perempuan lain didepanku yang ternyata sepupuku sendiri. Aku yang memberikan kehidupan kepada Nada, tapi kenapa dia tega mengkhianatiku. “Kamu tetap istri sah di rumah ini, kamu tidak akan pernah tergantikan.” “Apa kamu pikir aku peduli dengan julukan istri sah? Kamu salah, Mas. Kamu sudah berbuat jahat, mana yang katanya kamu berjanji akan tetap mencintaiku meskipun aku gak bisa memberikanmu anak? Kamu yang selalu menenangkanku disaat aku hampir down. Kamu sendiri yang katakan, mencintaiku adalah pilihan kamu.” “Aku minta maaf, saat ini Nada hamil anakku, dan anak Nada adalah anak kamu juga. Mau tidak mau kamu harus menerima kehadiran Nada. Bantu aku untuk menjaganya. Jangan lakukan apa pun yang bisa membuat Nada terluka. Jangan salahkan aku jika aku ingin punya anak, setiap laki-laki pasti menginginkan anak agar ahli waris tidak terputus.” Aku terdiam. Aku sudah tidak ada tenaga untuk melawan perkataan Mas Fikram, meskipun mudah baginya mengatakan bahwa mencintai Nada. Tak ada yang bisa ku perbuat, andai aku memberontak semua itu tidak berguna, karena di rumah ini tidak ada yang membelaku. Semua orang sayang kepada Nada, karena Nada yang berhasil memberikan anak kepada Mas Fikram. Dulu aku yang menjadi ratu di rumah ini, awal aku dan Mas Fikram menikah kami begitu bahagia. Ibu dan Ayah menyayangiku, bahkan Mbak Mila menerimaku dengan senang hati, tapi setelah setahun menikah semuanya berubah, sikap mereka tidak ada yang manis. Semuanya berubah dan keaslian mereka terlihat. *** Mau bagaimana lagi aku jika tak menerima kehadiran Nada? Hanya aku yang tak terima. Semua orang di rumah ini menerimanya dengan sambutan yang baik, persis seperti aku dulu. Aku keluar dari kamar dan melihat keluarga ini bercengkrama, bahkan ku lihat dengan jelas Mas Fikram menyentuh perut Nada yang masih buncit. Aku kembali menertawakan kebodohanku, selama ini aku percaya dengan Mas Fikram, aku tidak pernah menyadari hubungan keduanya yang dijalin semenjak Nada masih di rumah ini. Pantas saja setiap kali aku memarahi Nada, Mas Fikram yang ada paling depan membela Nada. Gelak tawa semua orang terlihat jelas menjadi bayangan maut untukku. Kebahagiaan mereka adalah kehancuranku. Aku memang jauh dari kata sempurna, tapi aku berusaha menjadi istri yang baik dan mengabdi menjadi menantu yang berbakti. Aku kurang apa? Selama ini aku tidak pernah menuntut mau berapa pun Mas Fikram kasih, bahkan aku tidak pernah mengeluh pada Mas Fikram tentang uang yang ia berikan tak cukup. Ku tinggalkan karirku yang sedang berada diatas kala itu, diterima menjadi dosen paling muda disalah satu universitas di Surabaya. Aku kuliah sampai strata dua juga bukan karena aku memiliki uang, tapi aku memiliki kepintaran diatas rata-rata, aku selalu menang setiap ada lomba tingkat nasional dalam lomba cerdas cermat. Aku membanggakan dan mengharumkan sekolahku, dan kampus dimana aku kuliah. Semua itu ku tinggalkan, demi menjadi istri dan menantu yang baik. Aku mengira hidupku akan lebih baik jika menikah dengan Mas Fikram, karena Ummi dan Abi mengatakan bahwa menikah adalah ibadah terpanjang yang setiap perempuan lalui. Aku melangkahkan kaki menuju dapur, dimana semuanya masih berantakan, piring kotor yang digunakan semalam pun tidak dicuci, meja dapur bekas masak pun masih kotor. Mereka semua sibuk memuliakan Nada yang tengah hamil dan meninggalkan pekerjaan ini untukku. Nasibku memang. Air mataku luruh secara bersamaan ku iris jariku tanpa sengaja, aku merindukan Ummi dan Abi. Aku ingin pulang. Airmataku luruh begitu saja, bagai keran air, aku menutup mulutku agar aku bisa menangis sepuasku tanpa kedengaran, aku tidak sekuat itu menerima semua perlakuan tak adil ini. Kekuranganku selalu dijadikan tameng dan alasan setiap pertengkaran. Aku selalu salah dimata mereka semua. Ku usap pipiku untuk menghapus airmataku, dan segera aku bersihkan semua yang berantakan. Tumben sekali tidak ada yang membangunkanku, biasanya mereka akan marah ketika aku belum menyiapkan sarapan. Ku lihat meja makan berantakan banyak piring kotor dan juga kotak makanan yang sudah kosong, ku langkahkan kakiku dan melihat semua kotak makanan itu kosong, Mas Fikram memesan gofood, pantas saja mereka tidak ada yang marah ketika aku belum menyiapkan sarapan. Mas Fikram datang ke dapur dan meraih air putih, aku segera menghampiri Mas Fikram dan bertanya, “Mas, kamu pesan makanan online? Buatku mana?” “Hem? Astaga aku lupa, Syafa. Maafkan aku ya. Kamu pesan sendiri saja, aku yang akan bayar.” Mas Fikram buru-buru pergi meninggalkanku dan membawa segelas airputih itu untuk Nada. Seperti dugaanku aku dilupakan, tidak ada yang ingat kepadaku. Mas Fikram begitu santainya mengatakan bahwa aku bisa pesan sendiri, aku mengelus dadaku, aku suruh hatiku tabah. Aku semakin lemas, pandanganku teralih kepada meja makan yang sangat kotor. Mataku merah dan menghangat, sekali lagi ia berkedip, airmatanya pasti akan tumpah lagi. Ini kah surga yang Mas Fikram janjikan, ini kah yang selalu Mas Fikram katakan bahwa menikah dengannya aku akan sangat bahagia. Aku tak kuasa menahan airmata, ku bersihkan semuanya dengan airmata dan risau hati. Aku tidak sanggup melihat kekhawatiran dan kemesraan Mas Fikram dan Nada didepanku, tak ada yang melihatku di sini. Duniaku sudah hancur, istana yang ku bangun hancur berkeping-keping. Tidak ada yang perduli ada aku di sini, semuanya sudah teralih pada Nada, kehadiran Nada membawa kebahagiaan untuk mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD