Awan hitam menggelayut di langit, tandanya sebentar lagi akan hujan, meskipun ada kata pepatah mengatakan mendung bukan berarti hujan, tapi setiap sore selalu saja mendung dan tak lama kemudian disusul dengan hujan deras. Sudah beberapa hari ini juga hujan tidak lelah untuk turun, tanah-tanah menjadi basah.
Seperti hujan yang tak lelah turun, begitupun aku yang tak pernah lelah mengabdi pada keluarga ini meskipun sering kali tidak terlihat dan diabaikan, ku lihat kemesraan Mas Fikram dan Nada yang terlihat sangat bahagia sebentar lagi mereka akan punya anak, aku di sini di dapur sendirian, tidak ada yang membantuku. Aku bekerja pagi, siang, malam tanpa dibayar. Tapi aku ikhlas melakukannya, tidak ada kata mesra yang keluar dari mulut Mas Fikram, tidak ada elusan yang biasanya dia lakukan seperti dulu, semua perhatian dan kekhawatirannya sudah teralih oleh Nada yang tengah hamil anaknya.
Aku paham kebahagiaan Mas Fikram, aku paham bagaimana dia menantikan ingin memiliki anak, aku bersyukur jika sebentar lagi kebahagiaan Mas Fikram lengkap, meskipun ada yang tersakiti di sini.
Aku tak pernah menyalahkan takdir, aku tidak pernah menyalahkan dunia yang kejam kepadaku, aku juga tidak pernah berhenti berdoa agar Tuhan bisa memberiku kebahagiaan dan bisa memberiku mukjizat-Nya.
“Apa sudah selesai? Kami lapar loh, daritadi kamu ngapain aja sih?” Datanglah Mbak Mila dengan mulut lantamnya, yang tidak pernah menghargai usahaku, yang mengabaikan seluruh pekerjaan rumah dan mengalihkannya kepadaku, padahal dia sudah dewasa bahkan lebih tua dariku, tapi semuanya harus disiapkan.
“Sebentar lagi selesai,” jawabku. Tak akan ada gunanya bertengkar ataupun berdebat dengan manusia yang tidak akan pernah tahu dan tidak akan pernah menyadari letak kesalahannya dimana.
“Kasihan lo si Nada, dia daritadi ngeluh lapar. Jadi, siapin cepat.”
Aku mengangguk. Mbak Mila lalu pergi meninggalkanku alih-alih membantuku ia malah berlalu pergi seperti tidak memiliki hati melihatku kerepotan di dapur.
Setelah perempuan lain datang ke kehidupan suamiku dan aku tahu semuanya, aku masih berharap Mas Fikram menjadi suami yang adil, aku paham keinginannya memiliki anak itu besar sekali, sejak dulu meskipun ia sering mengatakan bahwa kehadiran anak adalah bonus, tapi aku tahu dia memang menginginkan itu. Apa gunanya bekerja banting tulang jika dia tidak memiliki ahli waris.
Ku dengar gelak tawa, gelak tawa itu dari keluarga ini yang dilengkapi kebahagiaan. Seolah kehadiranku di sini tidak penting, seolah kehadiranku di sini tidak dianggap.
Semua orang perhatian kepada Nada, semua orang ingin Nada mendapatkan perlakuan yang layak. Mungkin, Nada meramu kata dengan manis dan cerdik, hingga akhirnya Mas Fikram tersulut perasaan sehingga mereka melakukan hubungan terlarang itu.
Ku langkahkan kakiku menuju meja makan, ku tata semua makanan dengan rapi, ku letakkan masing-masing piring di depan kursi dimana semua pemiliknya ada. Setelah semua selesai segeralah ku panggil mereka semua untuk datang makan malam, sementara aku memilih untuk tetap di dapur dan merapikan yang berantakan.
Ku lihat perlakukan Mas Fikram yang menarik kursi untuk Nada duduk, ku lihat Mas Fikram membelai rambut Nada, aku menitihkan airmata, rasa cemburu membakarku perlahan, tak ada yang akan baik-baik saja, mungkin di dunia ini sebagian orang menerima suaminya menikah lagi, menerima jika suaminya membawa istri keduanya ke rumah dan tinggal bersama. Tapi, tidak semua orang sesanggup dan sehebat itu, aku mengakui diriku yang tidak akan pernah sekuat itu.
“Nada, makan yang banyak ya, bayimu itu butuh asupan gizi yang baik.” Ibu menyentuh lengan Nada, yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya untukku.
“Terima kasih ya, Tante.”
“Eh kenapa masih panggil Tante? Panggil Ibu aja. Kamu sekarang kan menantu Ibu.”
Semuanya tersenyum dan mengangguk membenarkan perkataan Ibu.
Aku menyalahkan diri karena tidak becus membuat suamiku betah, dan aku menyalahkan diri yang sudah kehilangan harga diri.
“Syafa, ayo makan sama-sama,” ajak Mas Fikram yang ternyata menyadari tatapanku.
“Gak, Mas. Silahkan makan sendiri.”
“Udah gak usah dipaksa. Kamu ini buat dia besar kepala aja,” sambung Mbak Mila dengan mulut yang tidak bisa dikontrol.
“Benar kata Mbakmu. Udah gak usah dipeduliin. Kalau dia mau makan ya makan, gak usah dipanggil,” sambung Ibu.
Aku memang sudah tidak punya tempat di rumah ini, semuanya membuatku tak nyaman, kata-kata ibu tidak ada yang dapat menenangkanku, semuanya menyerangku. Aku berusaha tenang dan mendamaikan perasaanku, aku tidak mau terluka lagi.
Ku langkahkan kaki menuju kamarku, ku tatap rapat-rapat dan ku banting sebelumnya.
Rasanya aku tidak punya muka lagi untuk ditampakkan didepan keluarga ini. Aku menangis setiap kali ku ingat perlakukan Ibu dan Mbak Mila yang begitu menggerogoti tubuhku, yang tidak pernah memberiku kesempatan untuk berbicara.
Ku pikir Mas Fikram akan menyusulku masuk ke kamar dan membujukku, namun nyatanya tidak, ku dengar sesekali gelak tawa dari mereka semua, kehadiranku sudah tidak dibutuhkan lagi, tapi aku harus kemana, aku tidak punya tujuan lagi. Ummi dan Abi memang masih ada di Surabaya, mereka selalu bertanya kapan aku bisa punya waktu untuk pulang tapi aku pernah berjanji kepada Ummi dan Abi bahwa aku akan menjadi istri yang baik untuk Mas Fikram, dan aku pernah berjanji tidak akan membawa pulang masalahku ke rumah.
Beberapa saat kemudian, hujan turun dengan bising, karena suara hujan deras yang bising aku pun menangis sebisaku, ku tumpahkan segalanya kekesalanku, kekecewaaanku dan pilu hatiku. Tetesan air dibalik jendela seolah membentuk bayangan kenangan indah yang pernah ku lalui sebelumnya, dimana Mas Fikram menjadikanku ratu, meskipun tidak berlangsung lama. Semua ini karena aku tidak bisa memberikannya anak. Bukan karena aku mandul, tapi karena aku yang susah hamil. Bayangan itu pun kembali, dimana ketika Mas Fikram datang untuk memintaku baik-baik didepan Ummi dan Abi, untuk ia jadikan pasangan hidup.
Setiap perempuan diluar sana pasti tidak ingin memiliki nasib yang sama sepertiku, setiap perempuan pasti ingin membahagiakan suaminya yang telah bekerja keras untuknya, aku memang gagal menjadi istri yang sempurna, aku memang gagal menjaga suamiku dan aku gagal menjadi menantu yang tidak bisa memberikan kebahagiaan pada kedua mertuaku.
Aku selalu mengatakan kepada hatiku untuk ikhlas, semua ini sudah terjadi ujian ini Allah berikan karena aku mampu karena aku akan naik kelas. Tidak ada yang bisa ku lakukan selain menerima semuanya, menerima perlakuan tak adil ini, aku memang tidak pernah dipukuli suamiku ataupun keluarga ini, namun mentalku yang dipukul habis-habisan oleh mereka.
Aku mengusap airmataku, ku lihat figura foto yang ada didepanku, figura itu menunjukkan kebahagiaanku dulu, aku tersenyum simpul menyambut tamu undangan dan Nada menjadi penerima tamu di undanganku tersebut, yang ternyata menjadi istri ke dua suamiku.
Ikhlas memang jalan yang lebih baik yang harus ku terima, percuma aku menangis, percuma aku bersedih jika tidak ada yang melihat.