bc

Ditalak Suami Dinikahi CEO Dingin

book_age18+
5.0K
FOLLOW
44.9K
READ
HE
age gap
drama
campus
like
intro-logo
Blurb

Ini kah surga yang Mas Fikram janjikan untukku? Dia mengatakan menikah dengannya akan memberiku bahagia dan kedamaian. Namun, sayangnya itu berlangsung beberapa bulan saja. Selama 5 tahun aku mengabdi pada suami dan keluarganya, meninggalkan karirku yang sudah menganjak sebagai dosen muda di salah satu universitas di Surabaya.Lima tahun bukan hal yang mudah aku lalui, semuanya harus penuh dengan pilu karena tak ada yang suka padaku."KAMU MANDUL, SYAFANA!" Kata-kata itu yang selalu saja melukai hatiku. Menghancurkan perasaanku dan merusak mentalku.Kekuranganku itu dijadikan tameng dan alasan setiap pertengkaran, hingga pada akhirnya Mas Fikram menikah dengan Nada, sepupuku sendiri. Yang ku bawa ke Jakarta dan ku beri hidup yang layak. Sayangnya setelah ia mendapatkan kesuksesan, ia malah merebut suamiku.STAY WITH MEE, GAISS!!!IG : SEPTEMBERSNOW.28

chap-preview
Free preview
Pertengkaran
Aku yang duduk di ujung sofa itu diam saja ketika hujatan demi hujatan keluar dari mulut suami dan ibu mertuaku. Hujatan itu keluar begitu saja menyakiti hati dan jiwaku. Aku sekuat tenaga berusaha menjaga kewarasanku agar tidak melawan perkataan dua orang yang aku kasihi itu yang salah satunya adalah laki-laki yang menikahiku 5 tahun yang lalu. Laki-laki yang berjuang mendapatkan hatiku, namun setelah mendapatkannya, semuanya berubah. Syafana Giska, itu namaku. Aku perempuan yang sudah hampir berusia 30 tahun dan aku adalah ibu rumah tangga seutuhnya. Aku perempuan yang selalu mendengar hujatan dari mulut suami dan ibu mertuaku sendiri, dan hujatan itu berhasil menghancurkan mentalku ‘Kamu mandul dan kamu tidak sempurna.’ Itu lah yang selalu ku dengar setiap kali pertengkaran terjadi, aku tidak tahu apa yang terjadi kepada suamiku, kenapa sikapnya berubah, kenapa ia membentakku dan tidak pernah membelaku didepan ibunya. Dua ratu dalam satu rumah. Itu lah yang terjadi antara aku dan ibu mertuaku. Fikram Jul adalah nama suamiku. Setiap kali aku mengeluh tentang Ibu kepada Mas Fikram. Bukan kata ‘sabar’ yang aku dengar dari mulutnya, melainkan pembelaan yang berlebihan. Ia membela ibunya dan mengatakan bahwa aku tidak boleh melukai hati Ibu, yang secara langsung mengatakan bahwa aku dan Ibu dua orang yang berbeda, dua orang yang memiliki tempat berbeda dihatinya. Dan, tempat tertinggi dimiliki oleh Ibu. Setiap kata ‘mandul’ keluar dari mulut ibu dan mas Fikram, tak ada derai air mata yang tumpah, selain tatapan pilu mewakili hatiku yang pedih dan hancur. Aku tahu bahwa posisiku tidak akan pernah sama dengan posisi Ibu di rumah ini, karena Mas Fikram juga harus berbakti kepada Ibu, tapi apa harus aku yang terabaikan di rumah ini, seolah luka hatiku tak penting bagi Mas Fikram, yang terpenting adalah aku yang tidak boleh menyakiti hati Ibu, secara tak langsung Mas Fikram menyuruh hatiku saja yang sakit, hati Ibu jangan. Ketika Mas Fikram gajian, Mas Fikram hanya memberikanku 300k, Ibu diberikan 1,5. Dan, sisanya disimpan sendiri oleh Mas Fikram. Tidak adil, ‘kan? Semua itu sudah aku lalui selama lima tahun. Jangan tanya hatiku terbuat dari apa, hatiku terlalu lemah sehingga aku terinjak sendiri. Ku tatap suamiku dengan tatapan pilu, berharap ada sedikit rasa ibah yang bisa ia tunjukkan kepadaku, tapi sayangnya itu tak akan pernah ku dapatkan. Sejak empat tahun yang lalu aku tidak lagi melihat tatapan sayang dan cinta suamiku. “Kamu harus tahu kekuranganmu.” Mas Fikram menatapku dengan kesal. Tak ada tatapan sayang dan cinta lagi. Aku yang mencintai tanpa mendapatkan balasan. “Mas, kenapa sih selalu saja mengatakan hal itu? Banyak kok diluar sana yang gak memiliki anak, bukan hanya aku saja,” kataku. Konyol memang, jawaban itu tidak akan pernah dipahami olehnya. “Sudah aku katakan kepadamu, Syafa. Jangan buat Ibu kecapean, kalau aku pulang malam artinya aku kerja lembur, buat siapa? Buat kamu juga. Jadi, jangan pernah menuntut aku harus seperti apa yang kamu mau, tugasmu itu hanya menjaga Ibu dan mengurus rumah. Jadi pahamilah. Dan, sedikit tahu lah kekurangan kamu.” Tatapan Mas Fikram benar-benar melukai harga diriku, dia menatapku tanpa belas kasih, sementara aku menatapnya penuh pilu dihati. Hanya kekuranganku saja yang menjadi masalah di rumah ini, kekurangan Mas Fikram? Kekurangan Ibu? Apa yang harus ku lakukan? “Kapan sih nak, kamu ceraikan Syafa? Udah lah. Kamu gak bisa bertahan terus menerus sama dia, dia gak bisa kasih kamu anak, percuma kamu kerja banting tulang, tanpa ahli waris, cari lah wanita yang dapat memberikanmu keturunan.” Perkataan Ibu barusan sudah biasa untukku, seorang Ibu yang harusnya menjadi perantara antara anak dan menantunya, malah menjadi boomerang. Apa itu yang pantas Ibu katakan? Aku terbiasa dengan semua ini, aku sudah terbiasa direndahkan dan dihancurkan. Aku juga sudah terbiasa melihat sikap Mas Fikram dan Ibu. Sesempurna apa mereka sehingga menyepelekan orang sepertiku? “Sudahlah, Bu. Kali ini maafin Syafa. Dia gak akan melakukan hal itu lagi.” Hanya suaraku yang memang agak keras ketika mengucap ‘tak bisa’ malah dianggap adalah bentakan? “Kamu itu sadar diri dong. Kamu itu udah jelek dan gak bisa diharepin lagi, tahunya hanya habisin uang suami. Jangan selalu menganggap dirimu benar, ya. Kamu tahu kan kekurangan kamu? Kekurangan kamu itu sangat fatal.” Ibu menunjukku dengan telunjuknya. Ya seperti itu lah Ibu mertuaku. “Bu, udah ya. Kenapa sih hanya kata-kata itu aja yang keluar dari mulutku, tapi Ibu udah kayak di caci aja. Aku hanya bilang gak bisa karena aku gak bisa ambil kan? Apa itu masalah juga, Bu? Kenapa sih setiap hari Ibu nyari masalah sama aku?” Aku sudah berusaha menahan diri untuk tidak melawan perkataan Ibu, tapi makin tak dilawan makin jadi. “Nah lihat istrimu, setiap hari mengatakan itu ke Ibu. Kamu mau Ibu disalahin kayak gitu?” Ibu selalu saja berlindung dibawah ketek Mas Fikram. Sungguh terlalu, sudah tua bukannya sadar dan makin memperat ibadah, malah seperti itu. Fitnah sana sini. Aku tak pernah marah meskipun Ibu bercerita tentangku yang katanya pemalas, habisin uang suami beserta kekuranganku yang belum memberikan Mas Fikram anak, semua itu Ibu ceritakan ke tetangga rumah kami, selalu berkumpul dan menceritakan keburukan dan kekuranganku. Aku tidak mau ada di sini, aku berusaha menghindar karena ini tidak akan selesai sampai Ibu mendengar kata maaf dari mulutku, setiap hari harus minta maaf? Minta maaf yang bukan kesalahanku? “Tuh kan dia pergi. Nak, jangan biarin harga diri ibumu ini diinjak oleh istrimu.” Aku mendengarnya dengan jelas, apa yang Ibu katakan. Setiap hari menghasut Mas Fikram untuk menceraikanku. Selalu ikut campur setiap ada masalah antara aku dan Mas Fikram, dan yang lebih parahnya Mas Fikram membela ibunya, padahal semua itu tidak benar. Aku masuk ke kamar dan membanting pintu kamar, entah apa lagi yang Ibu katakan setelah aku pergi. Entah kapan Mas Fikram itu membawaku pergi dari sini, Ibu juga tidak tinggal sendiri, dia tinggal bersama Ayah, dan Mbak Mila—kakak Mas Fikram yang masih perawan tua. Jadi sudah sepantasnya Mas Fikram hidup mandiri bersamaku, bukan terus menerus tinggal di rumah ini dan mendengar semua keluhan Ibu tentangku. Seharusnya Mas Fikram mau adil antara aku dan Ibu, aku tidak pernah mengeluh meskipun Mas Fikram hanya memberikanku 300k setiap bulannya, aku tidak masalah jika keuangan Mas Fikram merosot, aku tidak masalah di anggap sebagai orang boros. Aku juga tidak pernah mempermasalahkan jika Mas Fikram lebih membela ibunya, tapi setidaknya Mas Fikram bisa memikirkan masa depan kami. Dan selalu saja kekuranganku yang tidak bisa memberikan Mas Fikram anak yang selalu dibahas di rumah ini. Selalu aku yang dianggap tak mampu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
202.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
115.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.3K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook